48

708 147 3
                                    

Gue enggak boleh mundur lagi. Kalimat itu terus gue ulang-ulang biar terdoktrin dalam otak gue supaya enggak berpikiran yang aneh-aneh soal dugaan kehamilan si Kendi sekarang ini. Yah, sekalipun belum ada kalimat fakta yang Kendi bilang mengenai kondisinya, tetapi berdasarkan jawaban Osta, dan juga beberapa hari ini menyelami jawaban di internet, bisa dipastikan si Kendi sedang hamil saat ini. Sedangkan untuk ayah biologis dari anak itu, atas dasar video yang ada di hp gue, bisa dipastikan 90% bayi itu adalah anak gue. Meski dalam lubuk hati terdalam sulit banget buat terima fakta ini, cuma mau gimana lagi? Mengelak pun gue enggak akan tega. Masa iya gue kalah sama nyokap gue! Nyokap tiri gue aja bisa sesayang dan sebaik itu sama gue, dimana posisinya gue adalah anak dari selingkuhan suaminya, sedangkan ini ... bayi yang ada dalam perutnya si Kendi, murni anak gue. Darah daging gue, jadi enggak mungkin aja gue sia-siain. Karena gue tahu, dan kali ini gue SADAR, bayi itu ada di dalam sana bukan karena keinginannya. Melainkan dia ada di sana akibat dari perbuatan bodoh gue.

"Pak Ganta, kita udah sampai," ucap pak Slamet yang negur gue karena terlalu sibuk tenggelam dalam lamunan gue sendiri.

Diawali dengan tarikan napas dalam, gue buru-buru masukin hp ke dalam saku celana, sebelum keluar dari mobil.

Mulai memandang ke sekitar, lama kelamaan gue berasa akamsi karena bolak balik rumah si Kendi terus. Walau bentuk perumahannya lebih cenderung dengan lingkungan perkampungan, namun entah mengapa gue merasa lebih nyaman. Mungkin karena tingkat bersosialisasi lebih tinggi di tempat ini, sehingga kehidupan gue jadi lebih hidup dan berwarna.

"Pak, mau ditungguin atau ditinggal?"

Gue diem, ngelirik pak Slamet sebentar, sebelum akhirnya menggeleng dengan cepat. Ya, kali, gue ditungguin. Kan mau ngobrol panjang lebar sama si Kendi.

"Baik, Pak."

Langsung pergi begitu saja setelah mendengar arahan dari gue, lagi dan lagi, gue hanya bisa diam sembari menarik napas dalam kemudian mengembuskannya dengan sangat brutal. Demi apapun juga, rasa sesak di dada ini sulit sekali gue lepasin. Karena jujur aja saat ini gue ngerasa takut banget. Takut menghadapi fakta kalau ada nyawa baru yang gue titip di dalam perutnya Kendi.

"Ayo, semangat!!!" Seru gue kencang.

Gue berusaha ngeluarin suara dengan lantang biar semangat balik lagi. Dan enggak terus-terusan takut kayak gini. Gue berusaha nenangin diri dengan jalan mondar-mandir di sekitar area rumah Kendi. Langkah-langkah kecil ini gue harap bisa ngebantu gue ngendalin perasaan. Yah, setidaknya gue bisa mengulur waktu sejenak sebelum nemuin tuh cewek lagi.

Sambil celingukan ke sekitar, gue lihat tetangga-tetangga Kendi yang lagi ngobrol sambil ketawa, anak-anak kecil yang main bola di gang sempit, dan ibu-ibu yang belanja di warung. Semua itu bikin gue merasa lebih rileks. Inilah kenapa gue bilang hidup gue bisa lebih hidup lagi dan lebih berwarna. Karena enggak mungkin hal-hal remeh seperti ini bisa ditemui dalam perumahan tempat gue tinggal. Yang ada semua fokus pada kehidupan masing-masing, bahkan kalau ada yang mendadak meninggal di rumahnya, belum tentu para tetangga akan tahu dengan cepat. Bisa jadi sampai membusuk mereka semua baru tahu, jika ada mayat di sekitar mereka.

Gue tarik napas lagi, kali ini lebih pelan. Gue harus ingat alasan gue di sini. Gue datang untuk Kendi dan calon bayi kami. Gue enggak boleh kalah sama rasa takut. Gue bayangin wajah Kendi yang selalu tersenyum meski dalam situasi sulit. Kendi selalu jadi sumber kenyamanan buat gue akhir-akhir ini, jadi sekarang giliran gue harus lebih aktif buat membentuk kehidupan nyaman kami untuk kedepannya.

"Ayo, Ganta, lo bisa," bisik gue pelan, ngebatin kata-kata itu sambil terus berjalan. Gue coba ngerasain setiap langkah, setiap napas, biar pikiran gue lebih jernih. Gue harus fokus sama yang ada di depan mata, bukan hal-hal yang bikin gue takut.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang