40

765 132 9
                                    

"Lo kenapa, bro?"

Mendengar gue sakit, tentu aja karena kejadian semalam, pagi ini Osta udah sampai ke rumah sambil cengar cengir nista lihat kondisi gue pagi ini. Walau badan gue enggak ada yang luka, tapi kalau diperhatikan secara detail ada luka memar, oleh-oleh atas kelakuan ibunya si Kendi semalam, dibeberapa bagian badan gue.

"Sakit? Apa disakitin?"

"Mending lo diem deh, bacot banget sumpah!"

"Hahaha, galak. Takut ikh ... jangan galak-galak dong. Nanti enggak ada cewek yang mau sama lo. Secara lo kan sekarang jomblo? Mending gue ingetin deh, baik-baik dalam bersikap, jangan ...."

"BACOT! Gue enggak minta lo ke sini, ya!"

"Gue yang berinisiatif, ya. Lo bilang enggak bisa ketemu klien pagi ini, jadi sebagai sahabat gue khawatir dong. Makanya gue langsung ke sini. Ternyata lo enggak sakit-sakit banget, buktinya masih bisa emosi sekarang."

Tanpa rasa bersalah si Osta terus aja cengar cengir lihat tampilan gue sekarang. Dibilang mengenaskan karena putus cinta, enggak juga. Tapi yang gue rasain kenapa jauh lebih buruk dari sekedar diputusin Shella?

Mungkin karena semalam gue diteriakin pembunuh sama ibunya si Kendi yang jujur aja gue enggak paham apa maksudnya? Dia teriak-teriak kesetanan waktu lihat gue. Jangan bilang dia kenal sama gue? Tapi masalahnya gue ingat sedikitpun soal ibunya si Kendi.

Yaelah, kalau boleh dibilang, mungkin gue pertama kali datangi perumahan kampung itu. Terus kalau emang dia kenal sama gue, kenal dimana kira-kira? Dan kenapa gue dibilang pembunuh sama dia?

"Woi ... ngelamun aja! Meratapi nasib atau gimana nih? Perlu kedukun lagi sih kalau gue lihat-lihat!"

Enggak gue gubris kalimatnya Osta, gue malah balik tanya ke dia, soal kebingungan yang ada diotak gue saat ini.

"Bir ..."

"Hm, kenapa lo? Mau ngajakin gue mabok atau gimana?" cengengasan seperti biasa, Osta sepertinya enggak sadar masalah gue jauh lebih besar dari pada putus cinta.

"Gue mau tanya sama lo, kalau misalkan ada orang yang ngenalin lo, tapi lo enggak kenal sama dia, gimana tanggapan lo?"

"Ah ... gimana? Gimana? Orang kenal sama gue, tapi gue enggak kenal sama tuh orang?"

"Iya, kira-kira gitu. Respon lo gimana?"

"Ya, biasa aja. Lagian tumben banget lo mikirin orang, biasanya juga ditegur rekanan bisnis dijalan, terus lo lupa, sikap lo biasa aja. Ini kenapa jadi mikirin banget? Lo lupa sama cewek ons lo? Atau gimana sih? Panik banget gue lihat-lihat. Jangan bilang, cewek ons lo ngaku hamil anak dari lo, ya? Ngaku deh lo mendingan. Biar gue langsung kontak pengacara untuk ngurusin ini."

"Bukan," gue jawab pelan. Gimana ya ceritain masalah ini ke Osta? Secara juga gue enggak begitu jelas masalah yang terjadi apa, cuma dari emosi mereka, rasanya gue punya salah besar banget. Kayak pernah bunuh orang.

BUNUH ORANG?

NABRAK ORANG?

"Sialan! Jangan-jangan ...."

"Eh, ape ... ape? Kenapa sial-sial segala?"

"Ya ampun, ya ampun. Gue harus gimana? Aish, gue konfirmasi ke siapa ini? Brengsek, kenapa gue bisa lupa kejadian fatal itu sih?"

"Eh, APE? Jangan bikin gue penasaran, brengsek."

Ekspresi Osta mulai ikutan panik waktu gue panik saat inget kejadian tabrakan itu. Sebenarnya bukan karena kejadian 5 tahun lalu, gue mendadak sepanik ini. Tapi waktu gue sambungin, dan sadar apa maksud dari kata-kata pembunuh, serta siapa yang teriak ke gue, jelas gue panik.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang