Tiga

17.2K 974 7
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

December 2nd 2022

Seharusnya aku tidak kembali ke Indonesia.

Aruna memutuskan untuk mengurung diri di dalam kamar setelah mendapat kabar bahwa dirinya akan dijodohkan dengan salah satu anak kerabat kedua orang tuanya.

Bukannya merayakan kembalinya anak satu-satunya yang telah menghabiskan setengah hidupnya menetap di luar negeri. Kedua orang tuanya justru memutuskan untuk menjodohkan Aruna dengan orang asing—yang bahkan tidak ia kenal sama sekali. Baru dua hari Aruna kembali ke tanah air, dan orang tuanya sudah membuatnya ingin membeli tiket pesawat ke New York secepatnya.

Lagipula, kenapa tiba-tiba kedua orang tuanya begitu mendesak dirinya untuk menikah dengan pria itu? Apakah kedua orang tuanya memiliki hutang yang sangat besar? Atau mereka ingin berbalas budi kepada orang tua pria tersebut?

Penasaran dengan sosok yang sejak tadi disinggung oleh kedua orang tuanya, Aruna akhirnya memutuskan untuk menyelidiki pria yang mungkin akan menjadi 'calonnya' di internet. Setelah nama 'Biantara Marsudi' muncul di halaman utama laptopnya, Aruna mulai menyusuri beberapa artikel yang mencantumkan nama pria tersebut.

Tidak banyak informasi yang tersedia, tetapi cukup bagi Aruna untuk mengetahui sedikit tentang sosok Biantara ini. Pria tersebut sepertinya sangat menjaga privasi kehidupan pribadinya dari sorotan media. "Shit, akun Instagram-nya private."

Tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyelidiki orang tersebut, Aruna menutup laptopnya dan membaringkan badannya di atas kasur. Beberapa pertanyaan mengisi pikirannya mengenai perjodohan ini. Jika kedua orang tuanya memang menginginkan dirinya untuk segera menikah dan memberikan keturunan, bisakah mereka menunggu sedikit lebih lama?

Aruna sejak dulu tidak pernah menentang untuk menikah atau memiliki anak. Bahkan, dirinya sempat berpikir untuk menikah di usia muda jika kedua orang tuanya mengizinkan. Namun, tentunya tidak seperti ini caranya.

Aruna ingin jatuh cinta seperti pemeran utama dalam film-film yang pernah ia tonton. Ia ingin menjalani kisah cinta seperti mendiang Pak Habibie dan Ibu Ainun atau seperti kisah cinta Noah dan Allie di film The Notebook. "Bagaimanague harus meyakinkan dia biar nggak menikahsama gue? Apa gue harus ketemu orangnya langsung?"

===

Satu minggu kemudian

"Tommy, siapa orang yang telah mengisi waktu makan siang saya hari ini?" Bian, yang baru saja selesai menandatangani beberapa dokumen, menoleh ke arah Tommy yang berdiri dengan kikuk. Pria tersebut lalu melihat jam tangannya; waktu sudah menunjukkan pukul 13:05, seharusnya dia sudah dapat menyantap makan siang. "Tommy, did you hear me?"

Tommy mendongak dan menatap atasannya. Ia lalu mengangguk dan memberikan Bian sebuah amplop berwarna coklat tua. "Aruna Ismawan, putri dari Pak Hanenda Ismawan. Beliau bersikeras memotong waktu makan siang Anda. Tadinya saya sudah minta alihkan ke hari—"

"Baik, silakan tinggalkan ruangan saya sekarang. Beritahu Aruna Ismawan untuk masuk ke ruangan saya segera setelah dia tiba di sini" potong Bian. Tanpa penjelasan panjang dari Tommy, Bian sudah dapat menebak alasan wanita tersebut mendatangi kantornya.

15 menit berlalu, dan sosok yang sudah Bian tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan pakaian yang tidak terlalu mencolok dan tas yang Bian dapat tebak berharga ratusan juta, wanita tersebut melangkah mendekati meja Bian.

Aruna kemudian melepaskan kacamata hitam yang ia pakai dan menunjuk amplop coklat yang Bian pegang. "Cepat baca isinya dan tanda tangani. Gue nggak mau membuang waktu banyak lagi di sini."

Selama beberapa menit, Bian tidak berkutik dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pria tersebut terlalu fokus memperhatikan setiap inci wajah wanita itu. Benar apa yang dikatakan ibunya, Aruna sangat cantik jika dilihat secara langsung. Bahkan foto tidak dapat menangkap kecantikan wanita itu secara keseluruhan.

Bian patut mengapresiasi kedua orang tuanya atas pilihan dan selera mereka dalam menjodohkannya dengan wanita seperti Aruna. Tanpa mengulur waktu lebih lama, Bian merobek amplop yang ia pegang dan membuangnya ke tempat sampah. "I don't just sign papers easily like that, Ms. Ismawan."

Tidak rela diperlakukan sedemikian rupa, Aruna melangkahkan kakinya mendekati Bian. Wanita itu kemudian memungut kembali kertas yang telah Bian robek dari tempat sampah dan meletakkannya ke dada bidang pria itu. "Itu bukan permintaan, cepat tandatanganinya, Marsudi."

Selama beberapa detik mereka beradu tatapan, sampai akhirnya Bian memutuskan kontak matanya terlebih dahulu. Pria itu lalu menyingkirkan tangan Aruna hingga potongan kertas terjatuh ke lantai. "Silakan keluar dari ruangan saya. Anda tahu jalan menuju pintu. You've wasted my time, Ms. Ismawan."

Aruna berdecak mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Bian. Sepertinya, ia terlalu meremehkan Bian, yang tampaknya terlihat kalem dan cupu. Tidak ingin kalah dengan Bian, Aruna dengan cepat mengambil ponsel pria tersebut sebelum Bian dapat meraihnya. "Seberapa banyak duit yang orang tua gue tawarkan? Atau seberapa banyak duit yang orang tua gue hutangi? Jawab!"

"Zero and zero. Puas? Sekarang keluarlah, saya tidak akan bersikap baik kali ini."

Aruna membuang mukanya, tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Bian. "Bohong. Mana mungkin lo mau dijodohin sama gue tanpa alasan atau benefit apapun? Apa yang lo cari dari gue? Uang? Nggak. Cinta? Apalagi. So what is it? Apa yang ditawarkan oleh orang tua gue sama orang tua lo sampai lo setuju sama perjodohan ini? Gue yakin lo punya cewek, apa lo merasa nggak terbebani sama perjodohan ini? Gue aja terbebani, so tell me what's your deal, Sangaji."

Bian menggaruk telinganya yang tidak gatal sama sekali dan kembali menatap Aruna. Wanita tersebut tidak sama sekali seperti apa yang Ia bayangkan. Bian kira Aruna adalah perempuan yang lemah lembut dan akan mengikuti apapun yang diminta oleh kedua orang tuanya. Namun ternyata Ia salah besar; Aruna ternyata cukup cerewet dan keras kepala.

"Pertama, jangan panggil saya Sangaji. Saya benci dipanggil dengan nama depan saya. Kedua, tidak ada alasan tertentu atau keuntungan apapun yang saya dapatkan dari perjodohan ini. Saya rasa saya sudah berada di usia yang cukup untuk mulai membangun sebuah rumah tangga. Ketiga, saya tidak memiliki banyak waktu untuk mencari wanita, apalagi berkencan, jadi pilihan orang tua saya adalah yang terbaik menurut saya. Dan saya tahu kamu tidak berasal dari keluarga sembarangan. Apakah alasan saya sudah cukup, Aruna?"

Aruna menggigit bibirnya mendengar jawaban Bian. Alasan pria tersebut terdengar masuk akal, namun masih ada yang menjanggal di pikirannya. "Nothing that comes from you will ever be enough. Jangan harap gue akan terima perjodohan yang tidak masuk akal ini. Gue kembali ke Indonesia untuk meneruskan jejak ayah gue, bukan untuk menjadi istri mendadak seseorang. Semoga kita tidak bertemu lagi. Have a lovely day, Sangaji."

Biantara Marsudi
Selamat siang, Ibu
Jadi, kapan kita akan berkunjung ke kediaman keluarga Pak Hanenda Ismawan?


===

A.N: This is just the beginning! Nggak sabar untuk nulis chapter-chapter berikutnya, terima kasih telah membaca dan support cerita ini! Sampai jumpa di bab berikutnya!

Xoxo, Di <3

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang