Tiga Puluh Enam

12.6K 713 52
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

2010
Suatu hari di musim gugur di kota New York, suasana sekolah dipenuhi oleh daun-daun kering yang berguguran dari pohon-pohon yang berjajar di sepanjang halaman. Udara yang sejuk dan angin yang berhembus lembut membawa aroma khas dedaunan yang basah. Cahaya matahari menerobos melalui celah-celah pepohonan, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di atas tanah. Gedung-gedung tinggi di sekeliling sekolah tampak kontras dengan keindahan alam yang tengah bertransisi dari musim panas ke musim gugur.

Saat itu, sekolah Bian sedang mengadakan field trip ke New York, dan salah satu tempat yang mereka kunjungi adalah sebuah sekolah menengah pertama di kota tersebut. Ketika rombongan siswa dari Jakarta mengunjungi sekolah itu untuk acara kunjungan pelajar, suasana sekolah tampak lebih hidup dari biasanya.

Hari itu, Bian yang sudah mulai jenuh dengan rangkaian acara memutuskan untuk kabur dari rombongannya. Dia tidak tertarik dengan jadwal resmi yang disusun oleh sekolahnya. Dengan langkah penuh rasa ingin tahu, dia menyelinap pergi dari kelompoknya dan mencari tempat-tempat menarik di sekitar sekolah.

Di sisi lain, seorang siswi yang baru saja selesai membaca buku di perpustakaan berjalan keluar dengan tenang. Matanya masih sibuk membaca isi buku yang baru saja ia pinjam. Saat melangkah keluar menuju halaman, pandangannya tertumbuk pada seorang anak laki-laki yang tampak kebingungan di dekat pintu keluar. Anak laki-laki itu mengenakan seragam yang berbeda dari seragam sekolahnya. Rambutnya yang hitam sedikit acak, matanya yang tajam berkeliling dengan ekspresi ingin tahu namun bingung.

Aruna mendekat, rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk segera kembali ke kelas. "Pardon me, are you looking for someone?" tanyanya sambil memperhatikan anak laki-laki itu lebih dekat. "You don't look like you go to this school. Are you new?"

Anak laki-laki itu, yang ternyata adalah Bian, tersenyum kecil, merasa lega ada yang menghampirinya. "Ah, yes. I'm one of the students visiting from Jakarta, Indonesia," jawabnya dengan jujur. "I wanted to look around alone, don't tattle tell, okay?"

"You're Indonesian too? Well I am too, but I was raised here in New York," Aruna lalu terdiam sejenak, menimbang permintaan anak laki-laki asing ini. "Oke, aku nggak akan kasih tahu," katanya akhirnya dengan senyum. "How about i show you around the school? Would that be okay? Kalau kamu nggak mau, it's totally fine too."

Bian mengangguk dengan senyum lebar, "I would love to." ucapnya dengan tulus.

Mereka berdua kemudian berjalan bersama, berkeliling sekolah Aruna. Daun-daun kering yang tersebar di sepanjang jalan berderak di bawah kaki mereka. Aruna menunjukkan taman sekolah yang indah dengan patung-patung kecil dan bangku kayu yang tersembunyi di antara semak-semak. Mereka juga mengunjungi ruang seni, di mana karya-karya kreatif siswa dipajang dengan bangga di dinding. Bian terkesan dengan kantin yang penuh dengan makanan enak dan aroma yang menggoda.

Sepanjang perjalanan, mereka berbagi cerita dan tawa, meski mereka belum tahu nama satu sama lain. Hanya dua anak yang menikmati kebebasan dan kegembiraan sesaat di musim gugur yang indah ini.

Saat akhirnya bel sekolah berbunyi, Bian dan Aruna harus berpisah. "Aku harus balik ke rombongan sebelum mereka sadar aku hilang," kata Bian dengan nada sedikit menyesal. "Makasih udah nemenin aku hari ini."

Aruna tersenyum, "Sama-sama. Hati-hati ya, jangan sampai ketahuan. You can take the hall from the left."

Bian mengangguk, dan dengan cepat kembali bergabung dengan kelompoknya. Aruna berdiri di sana, menatap punggung anak laki-laki itu yang semakin menjauh, merasa terhibur dengan kehadiran Bian yang singkat. Meski mereka belum saling mengenal saat itu, namun pertemuan singkat tersebut secara tak sadar tersebut akan menjadi tali takdir yang mempertemukan mereka kembali.

===

2023
Di sebuah bar di tengah kota Jakarta, malam terasa lebih panjang dari biasanya. Cahaya lampu neon yang redup memantul di permukaan meja kayu yang licin, menciptakan suasana yang tenang namun sarat akan percakapan berat. Di sudut bar, duduk dua sahabat lama, Bian dan Dikta. Gelas-gelas berisi minuman keras setengah penuh di depan mereka seolah menjadi saksi bisu dari diskusi yang tengah berlangsung.

Dikta, dengan ekspresi serius, menatap Bian yang duduk di depannya. Dia mengaduk-aduk minumannya perlahan, mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kekhawatirannya. "Lo benaran yakin mau ngelakuin ini, Ji? Gue tahu lo punya tujuan, tapi lo juga harus berhati-hati. Jangan sampai nanti lo sendiri malah kebawa perasaan. Kalau lo beneran jatuh cinta sama Aruna, apa yang bakal lo lakuin?"

Bian menarik nafas dalam-dalam, menatap ke arah gelas birnya yang berputar pelan di tangannya. "Mau lo ngasih gue wejangan sebanyak apapun, gue tetap bakal nikah besok, Dik. Dan untuk masalah Aruna, gue nggak akan jatuh cinta sama dia," jawabnya dengan tegas. "My heart is still and always be for Gia, dan nggak akan ada yang bisa mengubah itu. Lo tahu apa tujuan utama dari pernikahan, dan itu cuma untuk cara mendapatkan bukti kalau Wulan adalah dalang dari kematian Gina."

Dikta menghela napas panjang, menatap sahabatnya dengan mata penuh keraguan. "Tapi, Ji, lo mana bisa memprediksi perasaan manusia. Kalau misalnya suatu saat nanti perasaan lo sama Aruna berubah gimana? Kalau lo beneran jatuh cinta sama Aruna, apa lo siap untuk menghadapi konsekuensinya?"

Bian mengangkat bahu, pandangannya masih tertuju pada gelas birnya. "Dik, lo tahu kan ini semua itu hanya formalitas. Kalau akhirnya Aruna mau cerai, ya sudah. Gue nggak akan terlalu mempedulikan and I'll 100% understand if she wants to. Yang penting gue tetap bisa dapat bukti yang selama ini gue cari. Nothing besides that matters to me."

Dikta mengangguk pelan, merasa tidak ada gunanya lagi untuk memberi petuah kepada Bian yang terlalu keras kepala. "Gue mengerti, Ji. Tapi lo juga harus ingat, Aruna tug juga manusia. Dia punya perasaan. Jangan sampai lo melukainya lebih dari yang lo perlu. Don't let her be your biggest karma for being the asshole that you are, Sangaji."

Bian menggeleng perlahan sambil tersenyum getir.  "If she's my biggest karma then I'll gladly take it. Now stop acting like you're my mom for God sake, Pradikta"

"Yaudah terserah lo, gue cuma berharap lo sadar sama apa yang akan lo lakuin. Jangan sampai lo menyesal di kemudian hari."

Bian menatap sahabatnya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. "Won't regret a single thing, unless gue nggak dapat bukti apapun. Baru gue nyesel."

Ketika mereka beranjak pergi dari bar itu, suasana tetap tenang, tetapi percakapan mereka yang berat masih menggantung di udara. Bar kecil di tengah kota Jakarta itu, dengan lampu-lampu neon yang redup dan suara bising musik latar, menjadi saksi bisu dari keputusan besar yang akan mengubah hidup Bian dan, Aruna selamanya. Di balik keremangan bar, dua sahabat itu melangkah keluar, membawa beban pikiran dan ketidakpastian akan masa depan yang belum mereka sadari sepenuhnya.

———————

A.N:
Maaf untuk late updatenya, super sibuk kemarin so i haven't had the time to write
:(

Semoga habis ini bisa up lagi, karena bab ini memang agak pendek. Wish me luck :))

Also, ini road to ending, alias apakah kalian udah siap untuk say goodbye to Aruna & Bian? :")

Till next time!
Xoxo, Di <3

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang