Tiga Puluh Dua

10.8K 765 107
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Di dalam gelapnya malam, Bian terdiam di dalam mobilnya yang terparkir di depan rumah. Lampu jalan yang remang-remang hanya sedikit menerangi wajahnya yang tampak muram dan penuh dengan keraguan. Di tangannya, ia memegang sebuah map cokelat yang kini sudah tampak kusut.

Bian menatap kosong ke arah map, pikirannya berkecamuk. Apa maksud Wulan saat mengatakan bahwa Gia 'tidak sebersih' yang dia kira? Apa wanita tersebut sedang berusaha untuk bermain dengan pikirannya?

Kenangan mengenai Gia kembali menghantui, memenuhi pikirannya dengan berbagai ingatan manis dan pahit yang pernah mereka lalui bersama. Ia merasa terbelah antara keinginan untuk mengetahui kebenaran yang tersembunyi di dalam map tersebut dan rasa takut akan apa yang mungkin ia temukan.

Suara jangkrik yang bersahutan di luar mobil menambah kesunyian malam itu, menegaskan ketegangan yang dirasakannya. Tangannya sedikit gemetar saat ia meraba-raba tepi map, mencoba memutuskan apakah ia siap untuk membuka dan menghadapi apa pun yang ada di dalamnya.

"God Gia, what were you hiding from me?"

Bian menghela napas panjang, matanya masih tertuju pada map yang ada di tangannya. Ia tahu bahwa di balik kertas cokelat itu terdapat jawaban yang mungkin akan mengubah pandangannya mengenai Gia. Dengan tangan yang gemetar, ia membuka map tersebut perlahan, suara kertas yang bergesekan terdengar begitu jelas di tengah keheningan malam.

Di dalamnya, terdapat beberapa foto dan selembar kertas yang terlipat rapi. Bian menarik napas dalam-dalam sekali lagi sebelum mulai melihat foto-foto tersebut satu per satu.

Foto pertama menunjukkan Gia bersama seorang pria di sebuah kafe, senyuman mereka tampak begitu akrab. Bian menyipitkan matanya saat menyadari pria di foto itu bukanlah orang asing baginya. Ia mengenali wajah itu dengan segera—Benedict Wiranata.

Mereka pernah bersekolah bersama di SMP dan SMA, dan istri lelaki itu pun merupakan salah satu teman arisan Aruna, kalau ia tidak salah. Tetapi Bian tidak pernah menyangka bahwa pria itu akan muncul dalam hidupnya dalam konteks seperti ini.

Bian memeriksa foto-foto berikutnya, yang menunjukkan lebih banyak momen kebersamaan Gia dan Benedict. Setiap foto adalah bukti perselingkuhan yang terjadi di belakang punggungnya. Perlahan, rasa kecewa dan marah mulai menguasainya.

Ia membuka kertas yang ada di dalam map itu, membaca setiap kata dengan hati-hati. Ternyata, perselingkuhan ini sudah berlangsung selama sekitar 7 bulan sebelum Gia meninggal. Pengkhianatan ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan dari wanita yang dulu pernah sangat ia cintai

Raut wajah Bian berubah, dari awalnya dipenuhi kebingungan dan keraguan, kini berubah menjadi kekecewaan yang mendalam. Matanya terasa panas, seolah air mata ingin mengalir namun ia menahannya. Malam yang sepi itu kini terasa begitu berat dan sunyi bagi Bian, seakan semua kenangan indah bersama Gia hancur berkeping-keping.

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang