✦ ✦ ✦
Matahari Belanda bersinar lembut, menyinari jalanan Amsterdam yang dipenuhi bangunan bersejarah dengan kanal-kanal yang mengalir tenang. Aruna, Bian, dan putri kecil mereka, Ayara, kini tengah menikmati waktu bersama dalam perjalanan liburan keluarga.
Begitu Ayara dilepas dari stroller, bocah berusia tiga tahun itu langsung berlari dengan penuh semangat, meninggalkan kedua orang tuanya yang sibuk dengan barang belanjaan.
"Ayara, jangan lari-lari, sayang!" seru Aruna, matanya mengawasi putrinya yang semakin jauh. Ia kemudian menoleh ke arah Bian yang tengah membereskan belanjaan mereka ke dalam tas. "Mas, tolong kejar Ayara dong," tambahnya dengan nada khawatir.
Bian tersenyum kecil, lalu dengan cepat menyusul putri kecilnya yang lincah itu. Setelah beberapa langkah cepat, ia berhasil menangkap Ayara yang kini tertawa ceria dalam pelukannya. "Nggak boleh lari-lari, sayang. Tungguin Mama Papa, nanti kamu dimarahin Mama loh," bisik Bian lembut ke telinga Ayara, sambil mengecup pipi putrinya yang merah merona.
Ayara yang mendengar itu hanya tersenyum polos, menggemaskan dengan pipinya yang tembam, lalu memeluk leher Bian erat-erat. Setelah Bian memastikan Ayara aman dalam gendongannya, mereka bertiga kembali melanjutkan jalan-jalan di sekitar kota Amsterdam, menikmati pemandangan indah dan udara sejuk yang segar.
Kali ini, Aruna yang mengambil alih tugas menggendong Ayara, sementara Bian mendorong stroller kosong sambil sesekali melirik istri dan putrinya yang tampak sangat menikmati momen kebersamaan ini.
Di tengah perjalanan, ponsel Bian berdering, mengalihkan perhatiannya. Ia merogoh saku celana dan langsung menjawab panggilan tersebut setelah melihat nama ibunya tertera di layar. "Halo, Bu?"
Suaranya terdengar hangat saat ibunya memberi tahu bahwa beberapa furnitur baru yang mereka pesan untuk rumah di Jakarta telah tiba. Selesai berbicara, Bian menoleh ke Aruna dan menceritakan kabar tersebut lalu menyerahkan ponselnya ke Aruna, membiarkan sang istri berbincang sejenak dengan ibunya.
Setelah Ayara berumur dua tahun, mereka memutuskan untuk kembali menetap di Jakarta, meskipun keputusan itu memerlukan diskusi panjang. Awalnya, Bian ragu, takut jika kembali ke Jakarta akan memunculkan kenangan buruk yang pernah menghantui Aruna, kenangan akan masa lalu mereka yang pahit. Namun, Aruna, akhirnya berhasil meyakinkan Bian bahwa dia sudah berdamai dengan masa lalu.
Baginya, kembali ke Jakarta bukan hanya tentang menghadapi masa lalu, tetapi juga tentang memberikan kesempatan kepada Ayara untuk tumbuh di negara asalnya.
Kehidupan di Jakarta membawa berbagai momen baru bagi Aruna. Ia kembali bertemu dengan Hanenda, merajut kembali hubungan yang sempat terputus oleh waktu dan keadaan. Meski demikian, hubungannya dengan Wulan tetap rumit. Sang ibu masih menjalani hukuman 15 tahun penjara. Dan Aruna sempat hanya sekali mengunjunginya setelah kembali, mengungkapkan bahwa dia sudah memaafkan dan bahwa kini dia hidup bahagia bersama Bian dan Ayara. Bagi Aruna, itu adalah penutup bab lama dan pembukaan bab baru dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Yang Tak Kunjung Berlalu
RomanceAruna dan Bian seharusnya tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aruna dan Bian seharusnya tidak pernah dipertemukan dari awal. Dengan hubungan yang dibangun oleh campur tangan kedua orang tua mereka, kini Aruna dan Bian mau tak mau harus mengikat...