Dua Puluh Satu

9.1K 544 52
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Gianna Hasana Nawamsi from grade 8," nama Gia diumumkan di aula utama gedung sekolah saat Kepala Sekolah memanggil nama-nama pelajar penerima beasiswa dari Yayasan Pendidikan Harmoni. Sebuah yayasan yang dibentuk pada tahun 2000 oleh keluarga Marsudi untuk mendukung pendidikan pelajar Indonesia. "Gold Medalist in the National Mathematics Olympiad and perfect A+ honour roll student with an average score of 97%."

Suara tepukan tangan riuh pun terdengar di aula saat Gia melangkahkan kakinya menuju podium, melewati barisan kursi yang dipenuhi oleh teman-temannya yang memberikan sorotan senyuman penuh semangat. Di podium, Gia dengan lembut menyalami tangan kepala sekolah yang memberikan senyum hangat kepadanya, serta ketua yayasan dan salah satu guru yang telah menuntunnya selama satu tahun menuntut ilmu di Global Harmony International School.

Di tengah-tengah para murid yang sedang duduk, terdapat Bian yang sejak tadi memandang Gia dengan tatapan kagum yang tidak tersembunyi. Sorot mata Bian tidak lepas dari Gia saat gadis itu menyalami tangan kepala sekolah serta ketua yayasan—yang merupakan kakeknya—dan seorang guru. Tatapan mata anak remaja tersebut tak henti-hentinya mengikuti setiap gerakan Gia, penuh kekaguman akan pencapaian dan paras Gia.

Saat Gia berbalik untuk melihat ke arah teman-temannya, pandangannya bertemu dengan Bian. Gadis tersebut lalu tersenyum ringan, memberikan tatapan singkat yang hangat. Setelah mereka bertukar tatapan secara singkat, Bian dengan cepat memalingkan wajahnya, merasa malu ketahuan sedang memandang Gia. Dengan wajahnya yang memerah sedikit, Bian menundukkan pandangannya ke bawah, mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dari Gia.

"Gia tuh di atas podium bukan di bawah lantai. Lo ngapain liat ke bawah, Aji," Dikta yang berada di samping Bian menyikut lengan temannya tersebut dan menunjuk ke arah Gia dengan dagunya. "Pinter banget ya dia. Dikasih makan apa ya kira-kira? Kok lo diem aja sih?"

Bian menyandarkan punggungnya ke belakang lalu melipatkan kedua tangannya di depan dada. Meskipun sorot matanya menunjukkan sebuah rasa kekaguman kepada Gia, namun wajah Bian justru menampilkan sebaliknya. Dengan wajah datarnya Bian mengatakan, "Biasa aja. Masih pinteran gue."

Dikta memutarkan bola matanya saat mendengar tanggapan Bian yang berlagak seolah-olah tidak peduli. Sebenarnya, dirinya sudah dapat menebak bahwa Bian memiliki rasa tertarik terhadap Gia, namun Bian terlalu gengsi untuk mengutarakan perasaannya. "Nggak usah sok cool gitu lo, Ji! Padahal natap Gia kayak udah natap apaan aja. Gue tau lo suka dia, keliatan banget dari tatapan lo."

"Bodo. She doesn't need to know anyways. Jadi lo diem aja, awas kalau lo ember!"

"Aman, Ji." Dikta berkata sambil menyinggungkan sebuah senyuman.

Dan benar saja, seminggu setelah itu Gia tidak mengetahui fakta bahwa Bian menyukainya, namun malah satu angkatan yang mengetahuinya. Bian yang saat itu sedang berlatih piano di ruang musik, tiba-tiba mendapat pesan sebuah dari salah satu teman sekelasnya yang menanyakan apakah dirinya menyukai Gia atau tidak. Membaca pesan tersebut, Bian pun langsung menaruh rasa curiganya kepada sang sahabat, Dikta.

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang