***
"Mba Aruna nggak makan siang kah?" Suara Cindy memutuskan perhatian Aruna yang sejak tadi sedang fokus membaca email. Wanita berumur 24 tahun tersebut lalu memasuki ruang kerja sang atasan setelah mendapat izin dari Aruna yang kini sedang berada di depan laptopnya, dengan kacamata yang tersampir di hidung wanita itu.
"Masih banyak email yang harus aku baca, Cin. Anyways, what brings you here during lunch hours? Apakah ada kerjaan yang mau kamu tanya?" Aruna melepaskan kacamata baca yang ia kenakan dan memperkenankan Cindy untuk mengambil duduk di kursi di hadapannya.
Tidak menjawab pertanyaan Aruna, Cindy justru menaruh sebuah paper bag yang terisi oleh dua poke bowl dan green juice.
Wanita tersebut lalu mengeluarkan menu makanan dan minuman yang telah ia pesan dan menaruhnya di atas meja kerja Aruna. "Mba, nggak semua hal itu harus dikaitin sama pekerjaan loh. Ayo, makan siang bareng aku sebelum jam makan siang habis. Aku tahu Mba lagi jaga makan, so i got poke bowls, kesukaan Mba Aruna. Kerja itu boleh, tapi jangan sampai lupa makan juga. Itu kata-kata yang Ibu aku pesankan ke aku setiap hari sebelum aku berangkat kerja. Silahkan dimakan, Mba."
Aruna menatap ke arah Cindy yang kini tengah menyodorkan makanan dan minuman yang wanita itu beli dengan tatapan haru. Anggap dirinya dramatis, namun dari sekian banyak orang yang dekat dengannya, justru malah asistennya yang menaruh perhatian ke dia.
Bahkan Ibunya sendiri saja tidak pernah menanyakan apakah dirinya sudah makan makan. Apalagi membuatnya atau sekadar membelinya makan siang. "Makasih Cindy, you really didn't have to."
"Mba Aruna kan sering traktir Cindy sama karyawan lainnya, sekali-kali sekarang Cindy yang gantian traktir Mba Aruna. Harusnya Mba Aruna seneng dong, artinya kan karyawan Mba Aruna sejahtera bekerja sama Mba,"
Aruna tertawa kecil mendengar ucapan Cindy. Sembari membuka tutupan tempat makan, tangan Aruna mengambil kalender yang terletak di atas meja kerjanya dan menyerahkannya ke hadapan asistennya tersebut. "Pilih tanggal, Cindy."
Cindy yang baru saja ingin menyesap minumannya, memberhentikan gerakannya. Wanita tersebut lalu memandang Aruna dengan kerutan di dahinya. "Pilih tanggal buat apa, Mba?"
"Cuti seminggu. Terserah pilih tanggal berapa aja, kalau kamu masih bingung mau tanggal berapa bisa dipikirkan nanti habis itu kasih tahu aku tanggal berapa sampai berapa," Aruna berkata lalu menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya. "Kenapa?"
"Wah, makasih banyak loh, Mba. Tapi maksud aku beliin dan ngajak Mba makan siang bareng pure dari hati kok, Mba. Aku beneran nggak minta apapun kok, Mba, sumpah." Mendengar tawaran dari sang atasan, Cindy jadi merasa tidak enak hati. Niat awalnya kan hanya berinisiatif untuk mengajak Aruna makan siang, kalau jadi seperti ini dirinya malah terlihat seperti sedang menjilat Aruna agar berada di sisi baik wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Yang Tak Kunjung Berlalu
RomanceAruna dan Bian seharusnya tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aruna dan Bian seharusnya tidak pernah dipertemukan dari awal. Dengan hubungan yang dibangun oleh campur tangan kedua orang tua mereka, kini Aruna dan Bian mau tak mau harus mengikat...