***
Di gedung kantor yang sudah mulai sepi dan ditinggalkan oleh satu per satu karyawannya, Bian dengan setia masih duduk di hadapan meja kerjanya yang dipenuhi dengan tumpukan dokumen dan laptop. Lampu langit-langit yang redup menerangi ruangan, memancarkan cahaya samar yang memantul dari layar komputernya.
Dengan perlahan, Bian melepaskan kacamatanya yang telah menemani matanya sepanjang hari. Ketika ia menyingkirkan kacamatanya ke atas meja, pandangannya langsung tertuju pada sebuah foto berukuran 5x6 yang terletak tepat di samping lampu meja.
Sebuah foto pernikahan yang menunjukkan dirinya dan Aruna yang sedang mengenakan pakaian adat Jawa. Keduanya tampak tersenyum lebar saat sang fotografer menghitung hingga angka 3, menghasilkan foto yang terlihat begitu manis. Namun, ironisnya, keberadaan foto itu tidak sepenuhnya didasari oleh keinginan Aruna, apalagi Bian. Kartika lah yang justru meminta Bian untuk menaruh foto tersebut di tempat yang dapat terlihat dengan jelas olehnya.
Kata Kartika, foto tersebut dapat menjadi pengingat akan kebahagiaan yang pernah dirasakan dulu olehnya—meskipun hanya sesaat, di tengah kesibukan pekerjaan yang tak ada ujungnya. Tidak bisa membantah permintaan sang Ibu, Bian akhirnya hanya dapat menuruti permintaan tersebut dan meletakkan foto pernikahannya itu di meja kerjanya. Meskipun terkadang setiap Bian melihatnya, ada rasa getir yang terus timbul di dalam dirinya.
Suara notifikasi ponsel yang cukup lantang akhirnya mengalihkan perhatian Bian dari foto pernikahan tersebut ke layar ponselnya yang terus menyala, menandakan adanya pesan yang masuk. Setelah melihat nama 'Aruna' yang terpampang, Bian memutuskan untuk tidak menghiraukan notifikasi tersebut dan kembali mengerjakan tumpukan dokumen yang telah menunggu untuk dikerjakan.
Sesekali, ia melempar pandang singkat ke arah ponsel, seolah-olah menunggu pesan selanjutnya dari sang istri. Tidak sadar bahwa dengan setiap pesan yang diabaikannya, sedikit demi sedikit, Bian mungkin juga mengabaikan sebagian dari hubungan mereka, yang mungkin memang sudah ia lakukan sejak awal dibangunnya hubungan ini.
Sebut saja Bian jahat, namun menurutnya tindakannya bukanlah hal yang kejam, melainkan akumulasi dari ketidakinginannya untuk jatuh lebih dalam pada Aruna. Karena bagi Bian, mengabaikan Aruna lebih mudah dilakukan dibandingkan menghadapi realita bahwa dirinya suatu hari akan jatuh pada tatapan dan perlakuan hangat wanita itu.
Lagipula, keduanya sudah sepakat untuk tidak melakukan tindakan gegabah, seperti mengajukan perceraian jika terjadi hal yang tidak sesuai dengan rencana mereka.
Karena pada dasarnya, pernikahan ini dibangun berdasarkan reputasi kedua keluarga mereka. Jika salah satu dari mereka berani untuk berulah, keduanya pun akan ikut terjerumus ke dalam jurang. Anggaplah seperti itu.
Tidak lama kemudian, suara langkah sepatu high heels wanita yang memecah keheningan koridor kantor membuat Bian yang sedang fokus menyusuri satu per satu dokumen di mejanya mengernyit. Karyawan divisi mana yang lembur hingga pukul sepuluh malam? Itulah pertanyaan yang melintas di pikiran Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Yang Tak Kunjung Berlalu
RomanceAruna dan Bian seharusnya tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aruna dan Bian seharusnya tidak pernah dipertemukan dari awal. Dengan hubungan yang dibangun oleh campur tangan kedua orang tua mereka, kini Aruna dan Bian mau tak mau harus mengikat...