Empat

15.5K 990 53
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Bagi Aruna, tidak ada sensasi yang lebih menyenangkan daripada menyambut hari Sabtu. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, dan Aruna sudah siap dengan pakaian olahraga untuk kelas pilates hari ini. Berbeda dengan rutinitas di hari kerja, hari Sabtu dan Minggu adalah hari-hari di mana Aruna sepenuhnya bebas dari segala pekerjaan rumah tangga, termasuk menghidangkan sarapan untuk Bian.

Sejak awal pernikahan Bian dan Aruna, keduanya telah sepakat untuk tidak melakukan kegiatan domestik apa pun pada akhir pekan. Bahkan, Bian pun dari awal telah mempersiapkan seorang chef pribadi, pembelanja pribadi, dan asisten rumah tangga untuk melakukan segala pekerjaan rumah agar keduanya dapat menikmati waktu mereka di akhir pekan.

Meskipun demikian, bukan berarti mereka menghabiskan waktu bersama selama akhir pekan. Tidak berbeda dengan hari kerja, baik Aruna maupun Bian bak dua orang asing yang tidak mengenali satu sama lain. Keduanya terlalu sibuk dengan aktivitas dan acara mereka masing-masing sehingga tidak pernah menghabiskan waktu berdua.

Seperti Aruna yang sudah siap untuk pergi ke kelas pilates, Bian juga telah siap dengan pakaian olahraganya untuk pergi ke driving range pagi ini. Aruna, yang sejak tadi sibuk membuat green smoothie, tidak menyadari kehadiran Bian yang hendak membuat secangkir kopi.

Pria tersebut kemudian berjalan melewati Aruna dan mengambil cangkir yang akan digunakan. Sementara itu, Aruna menoleh sekilas ke arah Bian dan kembali mengalihkan tatapannya ke minumannya. Keheningan mengisi area dapur, dengan keduanya tidak terlihat tertarik untuk memulai percakapan. Bahkan untuk mengatakan sekadar 'selamat pagi', keduanya pun tampak enggan.

"Kamu nggak boleh minum terlalu banyak kopi pas perut lagi kosong, Mas," kata Aruna akhirnya bersuara, membuat Bian yang sedang menunggu kopinya menoleh ke arah sang istri. Pria tersebut mengangguk dan kembali menatap mesin kopi di hadapannya.

"Thanks for the reminder. Kamu juga jangan lupa makan nasi, Aruna."

Aruna mengangguk mendengar ucapan Bian dan kemudian menuangkan minuman yang telah ia buat ke dalam sebuah tumbler. Ia melangkah untuk meninggalkan dapur. Sebelum benar-benar keluar, Aruna berjinjit sejenak untuk menyamakan tingginya dengan Bian dan mencium pipi pria tersebut, membuat Bian semakin terpaku di tempatnya. "I'll see you tonight when I'm home."

Tanpa menunggu balasan dari Bian, Aruna langsung meninggalkan rumah. Wanita tersebut menyalakan mobilnya dan melesat dari pekarangan rumah. Selama di jalan, Aruna mengutuk dirinya sendiri karena merasa telah bertindak gegabah. Pasti pria tersebut berpikir bahwa Aruna telah kehilangan akalnya. "Lagian apa salahnya kalau gue cium pipi suami gue sendiri?" Aruna berkata pada dirinya sendiri, mencoba menghilangkan rasa malu yang kini menghantui pikirannya.

===

"Lo kenapa sih Ji, hari ini? You missed most of the balls. Kerja lagi? Kakak lo lagi?" Dikta berkata sambil meletakkan stik golf yang dipegangnya dan duduk di samping Bian, yang kini hanya diam menatap ke arah lapangan hijau yang luas. "Jawab, Sangaji."

Bian menggelengkan kepalanya lalu meneguk botol plastik yang berada di meja sampingnya. "Nggak, cuman lagi nggak mood aja."

"Gue tahu nih muka-muka begini, sering banget liat di kantor. Lo mau diceraiin istri lo kan? Jujur!"

Mendengar ucapan Dikta, Bian langsung mendelik dan menyembur temannya tersebut dengan sisa air dari botol plastiknya. "Ngaco lo. Nggak ada yang cerai. Gue sama Aruna baik-baik aja."

Dikta berdecak kesal dan mengambil handuk kecil yang tergantung di belakang kursi untuk melap badannya yang terkena air. "Baik-baik aja apaan, gue kasih tahu ya nih, Bi. Mana ada pasangan suami istri yang setiap akhir pekan bukannya jalan-jalan berdua malah pergi sendiri-sendiri. Aneh tahu nggak lo berdua tuh. Lagian Aruna mau aja ya sama modelan kayak lo yang belum move on sama—ANJING SAKIT!" Dikta tiba-tiba mengutuk saat Bian menghantam kepalanya dengan botol plastik. "Apa-apaan sih lo!"

"Berani lo selesaiin kalimat lo tadi, hah?" Ancam Bian dengan tangan yang masih memegang botol plastik yang sudah kosong.

"Iya, iya." Dikta mengangkat kedua tangannya seolah-olah menyerah, tidak ingin terkena pukulan botol plastik lagi dari Bian, dan kembali duduk di tempatnya. "Tapi kalau suatu saat Aruna tahu, bagaimana lo bakal jelasin ke dia? She's going to resent you for the rest of her life, I believe, man."

"Dia nggak bakal tahu, dan gue akan memastikan itu. Lagian ceraiin dia itu adalah hal terakhir yang gue mau. Gue nggak bisa mempermalukan nama keluarga gue. Menurut lo, bagaimana pandangan bokap gue kalau tahu gue sekadar pertahanin pernikahan aja nggak bisa? Bagaimana bokap gue bisa mempercayai gue dengan sesuatu yang lebih besar, kayak perusahaannya?"

===

Usai kelas pilates, Aruna memutuskan untuk pergi ke taman terdekat dan menikmati sarapannya sambil menikmati pemandangan pepohonan di tengah ibu kota. Aruna menatap setiap orang yang melewatinya, mengamati satu per satu sambil mengunyahkan makanannya.

Bahkan di tengah keramaian taman, rasa kesepian tersebut tidak dapat Aruna hilangkan. Aruna lalu melihat sebuah keluarga kecil yang berada tidak jauh dari tempat duduknya—sepasang suami istri bersama kedua anak mereka, seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan usia berkisar antara 5 hingga 7 tahun.

Keluarga kecil tersebut terlihat begitu manis di mata Aruna, membuat wanita tersebut tersenyum. Berbagai macam pertanyaan 'bagaimana jika' terlintas dalam pikiran Aruna. Bagaimana jika ia tidak menikahi Bian? Bagaimana jika ia dijodohkan dengan sosok yang benar-benar mencintainya? Bagaimana jika ia bertemu dengan pria yang seromantis dan semanis pria yang bersama keluarga kecil itu? Bagaimana jika Bian mencintainya kembali?

Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di taman, Aruna merapikan barang-barangnya dan melangkahkan kakinya menuju parkiran. Sesampainya di mobil, Aruna menyalakan ponselnya dan membuka aplikasi kalender. Aruna menghembuskan napasnya dengan kasar saat melihat tidak ada satupun kegiatan atau acara yang harus ia hadiri.

Sejujurnya, setelah memutuskan untuk meninggalkan segalanya di New York, sulit bagi Aruna untuk mendapatkan teman dekat saat kembali ke Jakarta. Bahkan sedekat-dekatnya dengan kedua orang tuanya, mereka pun memiliki urusan masing-masing sehingga sulit untuk Aruna ajak bertemu.

Selama hampir satu tahun, Aruna berpura-pura memiliki agenda yang padat pada akhir pekan. Tidak ingin terlihat menyedihkan di mata Bian, Aruna kerap mengatakan bahwa dirinya sedang menghabiskan waktu bersama teman-temannya hingga malam hari. Namun pada kenyataannya, Aruna ternyata menghabiskan waktunya seorang diri.

"I wonder how long this is going to last? Apa suatu saat nanti ada alasan kuat yang bisa bikin gue nggak cinta lagi sama Bian?" Ujar Aruna sambil menatap langit-langit mobil. Tidak lama kemudian, suara notifikasi ponsel pun berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Wanita tersebut pun tersenyum kecil saat mendapatkan pesan dari sosok yang sempat Ia pikirkan tadi.

Biantara Marsudi
Cepat pulang.
Ada acara mendadak yang harus kita hadiri.

——

A.N: Another update! Lagi enjoy-enjoy nulis cerita ini, hoping to have at least 10 chapters by the beginning of May!

Thank you for reading & supporting this story! See you in the next one! 🖤

Xoxo, Di <3

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang