****
Suasana rumah minimalis berlantai dua yang dihuni oleh Aruna dan Bian terasa begitu sepi pada pagi dini hari. Aruna yang baru saja mematikan alarm-nya yang terus berbunyi, dengan setengah sadar mulai membangunkan dirinya.
Jam sudah menunjukkan pukul 04.45 pagi, yang berarti Aruna harus segera menyiapkan sarapan dan bekal untuk sang suami. Usai membasuh wajah dan menyikat gigi, Aruna memasuki walk-in closet miliknya dan Bian untuk menyiapkan setelan jas dan dasi yang akan dipakai pria itu.
Setelah menyiapkan pakaian Bian, Aruna yang hendak melangkahkan kakinya keluar dari kamar, melirik sekilas ke arah Bian yang masih tertidur dengan nyenyak. "Bisa telat nanti," pikir Aruna.
Tanpa membangunkan Bian sama sekali, Aruna mengambil ponsel miliknya yang terletak di nakas samping tempat tidur. Wanita tersebut lalu membuka aplikasi Clock dan menyetel alarm pada pukul 05.15 sebelum akhirnya menaruh ponselnya di kasur, dekat Bian yang masih tertidur. Setidaknya pria itu akan terbangun karena merasa terganggu oleh alarm yang terus berbunyi, bukan karena Aruna yang membangunkannya. Dengan begitu, Aruna tidak perlu susah-susah membangunkan suaminya.
Tepat setelah Aruna selesai memasak dan siap untuk menyajikan sarapan buatannya, wanita tersebut mendengar suara langkah kaki Bian yang menuruni tangga. Dengan cepat, Aruna melepaskan celemek yang dipakainya dan menaruh piring serta segelas teh dan air putih di meja makan. Ia lalu duduk di kursi di seberang tempat yang akan Bian duduki, menunggu pria tersebut datang.
Masih dengan muka bantal dan rambutnya yang dicepol sembarangan, Aruna menatap ke arah Bian yang melangkah mendekat. Bian sudah terlihat rapi dengan pakaian yang Aruna pilih dan dengan bau wangi parfum khas milik pria itu. Dan jika boleh jujur, Aruna selalu menyukai wangi parfum yang Bian pakai.
"Kamu nggak makan, Aruna?" tanya Bian setelah mengambil kursi yang berada di hadapan Aruna. Pria tersebut lalu mengambil suapan pertama nasi goreng di depannya dan mulai mengunyah, terlihat menikmati sarapan yang dibuat oleh sang istri. "Aruna?"
Aruna, yang sejak tadi tengah menahan rasa kantuk dan dengan mata yang sudah setengah tertutup, langsung terkejut saat Bian memanggilnya. "Iya, Mas?"
Aruna tersenyum kecil dan mengangguk. Ia lalu mengambil segelas air putih yang Bian sodorkan dan meneguknya sampai habis. Setelah itu, Aruna bangkit dari kursinya untuk mengambil segelas air putih yang baru. Tidak lama kemudian, ia kembali dan menaruh segelas air putih itu di atas meja makan untuk Bian. "Ini, Mas, air putihnya."
"Kenapa pakai gelas yang baru?" tanya Bian saat menyadari gelas yang ada di atas meja makan berbeda dengan gelas yang sebelumnya.
"Yang tadi kan aku yang pakai, Mas. Makannya aku ganti."
Bian menelan suapan terakhir nasi gorengnya sebelum akhirnya berkata, "Kamu tahu aku tidak keberatan memakai gelas yang kamu pakai, kan, Aruna?"
Aruna yang tidak mengerti arah pembicaraan ini, memandang Bian dengan tatapan bingung. "Maaf?"
Bian yang merasa bahwa ia telah salah berbicara, mengalihkan pandangannya dari sang istri dan langsung berdiri dari kursinya. "Never mind. Ini sudah jam enam, aku harus berangkat ke kantor sekarang sepertinya." Aruna mengangguk lalu melangkahkan kakinya mengikuti Bian yang berjalan menuju pintu depan.
Sebelum berangkat, Bian mengambil jas yang tersampir di sofa dan langsung memakainya. Ia juga tidak lupa untuk mengambil tas kerja serta beberapa map yang berisi lembaran kertas pekerjaannya. "Makasih untuk sarapan dan bekalnya. Masakan kamu enak, seperti biasa. Aku kerja dulu, ya. Kamu jangan lupa sarapan juga. Kabari aku kalau ada apa-apa. Aku pamit dulu, Aruna."
Bian lalu memberi satu kecupan di dahi dan pipi Aruna. Sementara itu, Aruna menyalami tangan pria tersebut sebelum Bian pergi.
Sebelum mobil Bian benar-benar pergi dari pekarangan rumah, Aruna seperti biasa berdiri di ambang pintu sambil melambaikan tangannya ke arah mobil yang mulai menjauh. Tidak lama kemudian, senyuman wanita tersebut mulai menghilang saat pagar otomatis mulai menutup kembali. Kini, senyumannya tergantikan dengan tatapan kosong.
Jika dilihat dari sini, Bian dan Aruna tampak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Namun, pada kenyataannya, jika Aruna membongkar satu per satu perkataan manis yang Bian sampaikan dengan detail, kalian akan langsung mengubah pikiran setelah mengetahui kebenaran mengenai hubungan rumah tangga mereka.
1. "Makasih untuk sarapan dan bekalnya, masakan kamu enak, seperti biasa." Memang benar, masakan Aruna tidak perlu diragukan lagi. Meskipun Bian besar dengan seorang private chef semasa tinggal dengan kedua orang tua serta tante dan om-nya saat di New York, Aruna memang sangat pandai memasak. Memasak bisa dibilang salah satu hobi wanita tersebut.
Namun, ada satu hal yang menarik: bekal yang selalu Aruna bawakan untuk suaminya biasanya justru diberikan Bian kepada sekretarisnya, Tommy. Dari mana Aruna mengetahui hal itu? Anggap saja wanita tersebut memiliki mata dan telinga di mana-mana.
2. "Aku kerja dulu, kamu jangan lupa sarapan juga." Tidak. Bian mengatakan itu bukan karena ia peduli terhadap Aruna. Sebaliknya, Bian sudah kapok dan tidak ingin Aruna membebani dirinya lagi.
Saat Aruna pertama kali masuk rumah sakit sejak pernikahan mereka, Bian harus absen dari pekerjaan kantor selama satu minggu untuk menemani wanita itu—sebagai tuntutan dari Bapak dan Ibu Bian. Akibatnya, Bian tertinggal jauh dalam pekerjaan, sehingga beberapa proyek besar terpaksa diambil alih oleh Tama, kakaknya.
3. "Kabari aku kalau ada apa-apa." Bohong, pria tersebut sebenarnya tidak sungguh-sungguh saat mengatakan itu. Kata-kata itu hanyalah omong kosong belaka. Bian tidak pernah dan tidak akan pernah membalas atau mengangkat panggilan telepon atau pesan dari siapapun, kecuali jika berhubungan dengan masalah pekerjaan atau kedua orang tuanya.
Apakah Aruna pernah mencobanya? Tentu saja, iya. Apakah Aruna mendapat balasan dari Bian? Tentu saja, tidak.
4. "Aku pamit ya, Aruna." Aruna sangat amat menyukai kalimat ini. Saat Bian mengatakannya, sebenarnya yang pria itu maksud adalah, "Aku akan menghabiskan seluruh waktu di kantor hingga larut malam dan kembali ke rumah saat kamu sudah tertidur lelap di kamar." Dan tentunya Aruna tidak keberatan sama sekali.
Ia menyukai waktu sendirinya, tanpa Bian yang berkeliaran di sekelilingnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Bian dan Aruna jarang sekali berinteraksi. Hanya pada pagi hari saja mereka bertukar satu atau dua kalimat. Selebihnya, mereka menghabiskan hari-hari mereka tanpa kehadiran satu sama lain.
Usai merapikan rumah dan mencuci seluruh piring serta alat masak yang digunakan, Aruna melangkahkan kakinya menuju kamar mandi di lantai dua. Hari ini, ia memiliki agenda untuk mengunjungi toko baju miliknya yang baru saja dibuka di salah satu mall megah di Jakarta Pusat. Tidak hanya itu, Aruna juga merencanakan untuk bertemu dan makan siang bersama beberapa istri kerabat Bian, menghabiskan waktu bersama para wanita yang memiliki nasib serupa dengannya.
Hidup begitu menyenangkan, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Yang Tak Kunjung Berlalu
Roman d'amourAruna dan Bian seharusnya tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aruna dan Bian seharusnya tidak pernah dipertemukan dari awal. Dengan hubungan yang dibangun oleh campur tangan kedua orang tua mereka, kini Aruna dan Bian mau tak mau harus mengikat...