Delapan

13.4K 930 19
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Pagi hari itu, sinar matahari lembut menerobos melalui jendela dapur yang setengah terbuka, menciptakan suasana hangat yang menyenangkan. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara, bercampur dengan harum roti panggang yang baru saja dibuat Aruna.

Di meja makan, Aruna duduk dengan tenang, menikmati sarapan paginya. Sepiring roti panggang dengan selai stroberi terletak di depannya, ditemani secangkir teh hangat. Senyum tipis terlihat di wajahnya saat ia mendapat kabar bahwa brand pakaian miliknya telah meraih penghargaan sebagai 'the fastest growing local brand in Indonesia'.

Sementara itu, dari lantai dua terdengar langkah-langkah ringan. Bian muncul, tampak baru bangun dengan rambut yang sedikit berantakan dan piyama yang masih dikenakannya. Dia menuruni tangga menuju dapur, dan segera matanya menangkap sosok istrinya yang duduk di meja makan dengan pakaian olahraga.

Setelah kejadian semalam, Bian memutuskan untuk pulang lebih awal dari acara ulang tahun salah satu rekannya. Merasa tidak enak karena telah sembarangan menuduh Aruna, Bian merasa perlu untuk menunjukkan permintaan maafnya dengan pulang lebih awal. Dia lalu mengambil secangkir kopi yang telah diseduh Aruna dan duduk di sampingnya. "Pergi ke mana hari ini?"

Aruna mengabaikan pertanyaan Bian, seolah dia tidak mendengar. Dia bangkit dari duduknya dan menaruh piring serta gelasnya ke dalam wastafel. Setelah membersihkan sisa peralatan masak, Aruna melangkahkan kakinya menjauh dari dapur, tidak ingin menghabiskan satu detik lagi di dekat Bian. Sambil mengambil sepatu olahraganya, Aruna fokus pada layar ponsel di tangannya, jarinya bergerak lincah menelusuri media sosial tanpa melirik ke arah Bian.

"I'm sorry, Aruna,"

Kata "maaf" jarang sekali keluar dari mulut Bian. Selama satu tahun Aruna mengenal Bian, bisa dihitung dengan jari berapa kali pria itu mengatakan 'maaf'. Aruna mengangkat kepalanya dan menatap Bian yang memandangnya dengan tatapan lembut yang tidak biasa. Aruna merasakan detak jantungnya semakin cepat saat mata mereka bertemu. "Aku tidak pernah meminta permintaan maafmu. Aku akan pulang telat, silakan pesan makan sendiri sebelum ke acara Yohanes. Aku akan nyusul dengan taksi."

"Aruna, tunggu-"

Namun, belum sempat Aruna menjejakkan kakinya keluar rumah, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya dengan lembut. Wanita itu berbalik, berusaha melepaskan diri dari genggaman itu. Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Bian menariknya lebih dekat, merapatkan jarak di antara mereka. Dengan gerakan yang tiba-tiba namun penuh kelembutan, sang suami mendekatkan wajahnya dan mencium bibirnya.

Keheningan mengisi ruang di antara keduanya, Aruna yang masih terkejut dengan perlakuan Bian yang tidak dapat ditebak, akhirnya melepaskan ciumannya. Masih dengan jantungnya yang berdetak dengan cepat, wanita tersebut lalu menjauhkan dirinya dan melangkahkan kakinya keluar.

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang