***
CW // 🔞August 23rd 2023
"Not fair, aku mau pilih film-nya, Mas. Tontonan kamu selalu membosankan, tahu nggak?" Aruna yang kalah cepat mengambil remote televisi pun menggerutu setelah melihat remote televisi berada di tangan Bian dan karena wanita tersebut harus menonton film pilihan pria itu hari ini.
Berdasarkan pengalaman Aruna, tontonan apapun yang menjadi pilihan pria itu selalu berhasil membuat Aruna tertidur atau menguap sepanjang film.
Bian tersenyum geli saat melihat reaksi sang istri. Pria tersebut lalu menarik kembali Aruna yang hendak beranjak pergi ke sampingnya, tangan kirinya merangkul pinggang Aruna. "Hanya untuk hari ini saja, kita seperti ini, ya?"
Aruna mengerutkan keningnya, berusaha mencerna ucapan Bian dan menetralisir jantungnya yang kini berdetak cepat karena rangkulan pria tersebut di pinggangnya. Tidak ingin terlihat gugup di hadapan Bian, Aruna pun mencoba meraih kembali remote yang berada di tangan suaminya, namun Bian dengan cepat mengangkatnya ke atas, menjauhkannya dari jangkauan Aruna. "Biantara!"
"Yes, love?" Dengan satu tarikan ringan, Bian menarik Aruna ke pangkuannya dan merangkul kembali pinggang wanita tersebut dengan kedua tangannya. Aruna memekik pelan, berusaha mengendalikan rasa gugupnya. Masih dengan Aruna berada di pangkuannya, keduanya terdiam canggung sesaat.
Suasana tegang yang sebelumnya terasa di udara pun tergantikan setelah Bian mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecilnya. "Bagaimana kalau kita kesampingkan dulu filmnya dan lakukan hal lain, hm? Would you like that, Aruna?"
Aruna terdiam sejenak, tidak menjawab pertanyaan Bian, membiarkan keduanya larut dalam keheningan yang hangat. Dengan detak jantungnya semakin cepat, mata Aruna bertemu dengan mata Bian yang entah kenapa terlihat penuh kelembutan dan kehangatan. Melihat itu, Aruna pun seolah terhipnotis dan luluh akan ajakan Bian. "Tawaran yang menarik, go ahead."
Bian mengangguk setelah mendapat persetujuan dari Aruna. Tanpa sepatah kata pun, Bian dengan lembut mendekatkan bibirnya ke bibir Aruna, memberikan sentuhan penuh kasih sayang. Aruna mematung sejenak saat bibir Bian menyentuh bibirnya, sebelum akhirnya ia membalas ciuman. Rasa gugupnya kini berubah menjadi gejolak kehangatan yang meluap. Aruna merasakan denyutan getaran di sekujur tubuhnya, membanjiri dirinya dengan sensasi yang tak terlukiskan.
Bian menjelajahi setiap sudut bibir Aruna dengan lembut, sementara tangan-tangannya menyusuri tubuh wanita itu dengan perlahan. Sensasi yang muncul membuatnya merapatkan tubuhnya lebih erat lagi kepada Bian. Dengan gerakan lembut, Bian membantu Aruna melepaskan diri dari pakaian yang wanita itu kenakan dan kemudian melepaskan pakaiannya sendiri. Setiap sentuhan, tiap ciuman, membakar api yang semakin membara di antara mereka. Mereka menjadi satu dalam ekstasi cinta yang tak terungkapkan dengan kata-kata.
===
Setelah kegiatan panas di antara keduanya, Aruna dan Bian terbaring di dalam kamar dengan cahaya yang remang-remang. Aruna yang masih terjaga dapat merasakan tangan Bian semakin mengeratkan pelukannya. Suara desiran angin di luar jendela menciptakan irama yang berlawanan dengan keheningan di dalam kamar.
Kondisi kamar yang sudah tampak berantakan karena ulah keduanya membuat Aruna mengutuk dirinya. "Kamu bisa pergi sekarang, Bi," bisik Aruna, mencoba memecah kesunyian yang menyiksa.
Bian yang sedari tadi berusaha terlelap hanya dapat menghembuskan napas panjang setelah mendengar ucapan Aruna, suara hembusan yang menghiasi kesunyian di antara mereka. Pria tersebut lalu memandang punggung Aruna yang tak dibaluti pakaian, pikirannya kini terbang kemana-mana, membuatnya pusing seketika.
"Apakah kamu tidak akan mengatakan sesuatu?" Aruna membalikkan badannya, membuat pandangan keduanya bertemu. Dari tatapan Bian, Aruna dapat melihat bahwa kilatan mata pria itu sudah tak sehangat dan selembut tadi. Tatapan pria tersebut kini terlihat kosong dan hampa, membuat Aruna merasa asing dengan sosok di hadapannya. "Pergilah sekarang seperti yang selalu kamu lakukan, Bian. Kadang-kadang gue pikir setelah semua yang kita lakukan, lo bakal berubah, ternyata nggak. Mungkin gue terlalu bodoh karena mengharapkan hal seperti itu."
"Aku selalu benci setiap kali kamu pakai 'gue-lo'." Bian lalu menyusuri wajah Aruna dengan perlahan sebelum akhirnya tangannya disingkirkan oleh Aruna.
"Kau tidak akan pernah berubah, bukan? Bahkan sedikit pun," ucap Aruna dengan suara yang penuh dengan kekecewaan.
Tatapan Bian pun beralih dan terpaku pada langit-langit kamar, seakan mencari jawaban di sana. Keheningan kembali menyelimuti mereka, memperdalam jurang yang memisahkan hati keduanya yang tak pernah satu. Dalam keheningan itu, mereka merasakan betapa jauhnya mereka berdua, dalam kamar dan kasur yang sama namun tak pernah merasa saling terhubung.
Aruna mengangguk pelan dan mengubah posisi tidur menjadi terlentang. Terdengar tawa kecil yang keluar dari mulut wanita itu. Tatapannya yang kosong kini menatap ke arah langit-langit kamar yang menjadi saksi bisu segala kejadian yang telah terjadi di antara mereka. Wanita tersebut lalu bangkit dari kasur, mengambil selimut tipis yang terletak di ujung kasur, dan melangkahkan kakinya keluar kamar.
===
"Aruna, sayang?"
Suara mertua yang memanggilnya menyadarkan Aruna yang sejak tadi hanya melamun sambil menatap halaman belakang rumah Kartika dan Rudy. Wanita tersebut lalu berdehem dan memberikan senyuman tipis. "Iya, Bu? Maaf, Aruna lagi nggak fokus."
"Pasti lagi banyak kerjaan ya kamu? Sini biar sisanya Ibu saja yang buat, kamu istirahat saja di atas. Nanti kalau makanannya sudah jadi, Ibu panggil."
Aruna tersenyum tipis dan mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada ibu mertuanya. Sesampainya di kamar tamu, Aruna menjatuhkan dirinya di atas kasur dan menutupi kedua matanya dengan tangannya. Bayangan-bayangan mengenai dirinya dan Bian seringkali menghantuinya di waktu yang tidak tepat. "Gosh, why am I like this? Why is it so hard to hate him even though he's the biggest asshole I've ever met in my entire life?"
"I'm the biggest what?"
Suara yang terdengar begitu familiar di telinga Aruna membuat wanita itu menoleh ke arah sumber suara. Di sana terdapat Bian yang tengah menyandarkan badannya di ambang pintu, sembari melipatkan tangannya di depan dada. Melihat itu, Aruna bangkit dari tiduran, mengambil posisi duduk, dan menatap Bian dengan tatapan penuh tanda tanya. "Kenapa kamu di sini?"
"Ini rumah kedua orang tuaku," jawab pria tersebut.
Aruna lagi-lagi mengerutkan dahinya. "Kamu nggak kerja?"
"Meliburkan diri."
"Bukannya kata kam-"
Sudah tidak sabar lagi dengan Aruna, Bian meraih lengan istrinya dan menuntunnya keluar dari kamar tamu menuju ruang makan utama. "Kamu banyak tanya, Ibu sudah menunggu kita untuk makan siang bersama. Beliau menyuruhku untuk memanggilmu. Kata Ibu, kamu sejak tadi tidak fokus. Apa kamu sedang sakit, Aruna?"
"Apa?"
"Lupakan saja. Tidak usah dijawab."
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Yang Tak Kunjung Berlalu
RomanceAruna dan Bian seharusnya tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aruna dan Bian seharusnya tidak pernah dipertemukan dari awal. Dengan hubungan yang dibangun oleh campur tangan kedua orang tua mereka, kini Aruna dan Bian mau tak mau harus mengikat...