***
Sejak pagi Aruna sudah merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Kepala terasa lebih berat seperti dipenuhi kabut, dan matanya sering kali kabur. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada beban yang menekan setiap gerakannya. Rasa pusing yang terus-menerus mengganggu konsentrasinya, dan rasa lelah yang tidak bisa dihilangkan dengan tidur atau istirahat biasa semakin membuatnya cemas.
Ketika berdiri untuk mengambil dokumen dari rak, perutnya tiba-tiba terasa nyeri hebat, seperti ada sesuatu yang mencengkeram kuat dari dalam. Dia berusaha menahan rasa sakit itu dengan mengerutkan dahi dan menarik napas dalam-dalam, namun tidak berhasil. Rasa nyeri itu semakin intens, membuatnya hampir terjatuh. Ketika melihat ke bawah, dia terkejut melihat darah mengalir di kakinya, bercampur dengan keringat dingin yang mulai mengalir di pelipisnya. Kepanikan langsung menyelimuti dirinya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
"Cindy!" panggil Aruna dengan suara yang bergetar, memanggil asistennya dengan nada mendesak. Cindy yang berada di dekatnya segera berlari mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Ada apa Mba? Ya Tuhan, Mba Aruna kenapa?" tanya Cindy dengan nada cemas, matanya menyapu seluruh tubuh Aruna yang tampak lemah. Terlebih juga, ketika darah segar yang mengalir di kaki wanita itu.
Namun sebelum Aruna sempat menjawab, pandangannya mulai mengabur, dunia di sekitarnya berputar, dan rasa sakit yang begitu intens membuatnya kehilangan keseimbangan. Tubuhnya melemas dan ia jatuh pingsan di lantai. Cindy, yang sudah dilanda panik, segera berteriak meminta bantuan, dan beberapa karyawan lain dengan cepat menghubungi ambulans.
Saat Aruna dibawa ke rumah sakit, perjalanan terasa seperti mimpi buruk yang panjang dan penuh kecemasan. Segala suara di sekitarnya terdengar samar dan jauh. Ketika akhirnya dia sadar, dia mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit, dengan perasaan berat yang tak bisa dijelaskan. Suara monitor dan bau antiseptik yang menyengat mengingatkannya bahwa dia berada di tempat yang tidak diinginkan oleh siapa pun.
Setelah dokter yang menangani Aruna membawa berita yang mampu menghancurkan hatinya, kata-katanya terasa seperti pukulan keras yang menghantam jiwa Aruna, menghancurkan semua harapan dan impiannya dalam sekejap. Berita itu datang seperti petir di siang bolong, menyapu bersih segala perasaan bahagia dan menggantinya dengan kehampaan yang dalam. Perasaan kehilangan itu begitu mendalam, menancap tajam di hatinya, meninggalkan luka yang tak akan mudah sembuh.
Di kamar rumah sakit, Aruna hanya duduk diam, merenung dengan tatapan kosong. Dunia seolah-olah berhenti berputar, dan semua yang ada di sekitarnya tampak tidak nyata. Cindy, yang setia menunggunya, duduk di kursi sebelah ranjang, memegang tangan Aruna dengan lembut, mencoba memberikan sedikit ketenangan di tengah badai yang melanda sang atasan.
"Mba Aruna, Mba mau aku tetap di sini selama Mba dirawat inap? Atau ada seseorang yang ingin Mba hubungi? Biar Cindy telepon." tanya Cindy dengan lembut, suaranya penuh perhatian dan kekhawatiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Yang Tak Kunjung Berlalu
RomantikAruna dan Bian seharusnya tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aruna dan Bian seharusnya tidak pernah dipertemukan dari awal. Dengan hubungan yang dibangun oleh campur tangan kedua orang tua mereka, kini Aruna dan Bian mau tak mau harus mengikat...