***
August 12th 2023
Sejak tadi, Biantara tidak dapat berkonsentrasi pada film yang sedang diputar di hadapannya; pikirannya terlalu berisik dan melayang ke mana-mana. Setelah menjalani serangkaian acara pernikahan selama tiga hari berturut-turut, kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa Aruna akan mulai tinggal dan hidup bersamanya.
Sambil menunggu Aruna yang sedang membersihkan diri, Biantara memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan beberapa pekerjaan. Meskipun sebenarnya tidak ada pekerjaan khusus yang harus dilakukan dan sang ayah pun telah memberinya cuti pernikahan selama dua minggu, tetap saja Biantara berusaha untuk mengusir sosok Aruna dari pikirannya. Lagi dan lagi, wanita itu terus menghantui pikirannya.
"Damn it, this isn't working," ucap Bian sambil menutup laptopnya dengan kasar dan meletakkannya di atas meja.
Pada saat yang sama, Bian yang hendak memasuki kamar bertemu dengan Aruna yang keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Lengkap dengan piyama dan rambut yang setengah basah, Aruna terdiam di ambang pintu sambil menatap Bian yang masih mengenakan kemeja putihnya. "Mau mandi juga, Mas?"
Bian terdiam sejenak, tidak menghiraukan pertanyaan Aruna. Tatapannya terlalu fokus memandang wajah Aruna yang kini sudah tidak tertutupi oleh riasan apa pun. Tidak, Bian tidak bermaksud mengatakan bahwa wanita itu tidak cantik saat mengenakan riasan. Tidak sama sekali. Hanya saja, Aruna dengan muka yang dipoles, seperti di saat acara resepsi tadi, terlihat sangat anggun dan dewasa, sedangkan Aruna yang sekarang sedang berdiri di hadapan Bian terlihat begitu cantik. Mungkin itulah kata-kata yang cocok untuk mendeskripsikan paras wanita itu.
"Tidak, ada beberapa hal yang harus saya kerjakan," kata Bian sambil mengalihkan pandangannya dari wajah Aruna. Pria tersebut lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur dan segera beranjak dari kamar tidur.
"Ini malam pernikahanmu. Aku ragu bapak sekejam itu dan menyuruhmu untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Cepatlah mandi dan segera istirahat, Bian. Kamu sama lelahnya seperti aku selama tiga hari terakhir ini."
Tanpa memperdulikan sepatah kata pun yang diucapkan Aruna, Bian duduk di sofa dan membuka kembali laptopnya. Pria tersebut lalu memakai kacamata bacanya, dan tidak lama kemudian terdengar suara ketikan pria itu.
Sementara itu, Aruna yang merasa tersinggung karena diabaikan oleh Bian, langsung meraih laptop Bian dari pangkuannya dengan paksa. "Aku akan menyimpan laptop kamu selama beberapa hari."
"Saya tebak anda ahli dalam mencuri barang yang bukan milik anda, Aruna?" sindir Bian. Di saat ia hendak bangkit dari duduknya untuk kembali ke kamar tidur, namun dengan cepat dicegat oleh Aruna yang tiba-tiba mendorong badannya hingga bokongnya kembali menyentuh permukaan sofa.
"Apa maksud kamu tadi, hm? Aku maumendengarmu sekali lagi, Biantara."
Bian menghembuskan napasnya dengan kasar. Sepertinya ia sudah salah berbicara. "Anda tahu saya tidak suka mengulang kata-kata saya dua kali, Aruna."
Aruna berdecak. Sebenarnya dirinya telah mendengar dengan sangat jelas apa yang tadi Bian katakan, namun ia hanya ingin mengetahui apakah pria itu berani untuk mengatakan kalimat itu lagi kepadanya. "Bullshit, kamu tidak di kantor dan aku bukan salah satu stafmu. Aku istrimu, jadi jika aku menyuruhmu mengulang kata-katamu, lakukan saja apa yang aku katakan, Bian."
"Kalau anda bicara sekali lagi, anda akan saya cium, Aruna."
Terdengar sebagai sebuah ancaman, namun tidak bagi Aruna. Lagipula pria yang berada di hadapannya itu merupakan suami sahnya, tidak ada salah jika Bian menciumnya. "Silakan, aku tidak takut. Lagipula kamu kan suamiku. Kenapa diam? Apa aku salah?"
Bian hanya diam setelah mendengar ucapan Aruna. Lalu, dengan sedikit menyingkirkan tubuh Aruna ke samping, pria itu beranjak dari duduknya. Aruna yang melihat itu pun ikut bergeming di tempat, entah kenapa kini suasana di antara keduanya pun menjadi tegang. Tidak lama kemudian, suara pintu kamar mandi yang tertutup terdengar oleh Aruna.
"Apa gue salah bicara sama Bian?"
Setengah jam berlalu, dan Aruna yang tidak ingin terlihat menunggu Bian, kini telah tertidur di kasur dengan badan yang membelakangi kamar mandi. Jaga-jaga kalau pria tersebut dapat melihat dirinya yang ternyata belum terlelap.
Tidak lama kemudian, suara pintu kamar mandi yang terbuka pun terdengar. Bian yang sudah siap untuk segera memejamkan matanya yang terasa begitu berat, merebahkan badannya di atas kasur.
Pria tersebut lalu menoleh ke arah punggung Aruna yang membelakanginya. "Saya setuju dengan perjodohan ini bukan berarti saya dapat memenuhi ekspektasi Anda mengenai pernikahan kita. Saya rasa kita berdua harus mengetahui batasan-batasan yang tidak boleh kita lewati. Cukup berlaku layaknya suami dan istri di hadapan Ibu, Bapak, Mama, dan Papa Anda. Selebihnya, akan saya bebaskan Anda dan sebaliknya. Saya tahu Anda belum tertidur, jadi cepatlah tidur. Besok sandiwara kita akan cukup panjang dan melelahkan, Aruna."
===
Benar kata Bian semalam. Hari ini merupakan hari yang panjang dan melelahkan, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Aruna dan Bian, yang sedari tadi sangat mahir dalam bersandiwara sebagai pasangan suami istri yang terlihat dimabuk asmara, terus-menerus bergandengan tangan sembari menyapa dan berbincang dengan beberapa anggota keluarga besar Ismawan dan Marsudi.
Hal ini membuat siapa pun yang melihat mereka tersenyum. Aruna dan Bian berhasil menipu semua orang di ruangan tersebut. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui kenyataan pahit yang mereka simpan di balik tawa dan senyum mereka.
Setelah pamit untuk pergi ke belakang sejenak, Aruna langsung menjauh dari beberapa sepupu keluarga Marsudi. Wanita tersebut kemudian keluar dari hotel menuju sebuah sudut kecil di luar hotel yang tampak seperti tempat istirahat para staf hotel.
Aruna mengeluarkan sebungkus rokok yang disembunyikannya di dalam tas, lalu menyalakan ujung rokok tersebut dan perlahan menghembuskan asap dari mulutnya, merasakan nikmat yang sudah lama tidak ia rasakan. Dirinya tidak menyangka bahwa karena sosok bernama Biantara tersebut, kini ia kembali memegang barang ini. Sosok yang seharusnya menjadi penawarnya, kini justru menjadi racun bagi dirinya.
Biantara, pria tersebut telah menjadi remidi sekaligus racun baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Yang Tak Kunjung Berlalu
RomanceAruna dan Bian seharusnya tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aruna dan Bian seharusnya tidak pernah dipertemukan dari awal. Dengan hubungan yang dibangun oleh campur tangan kedua orang tua mereka, kini Aruna dan Bian mau tak mau harus mengikat...