Prolog

26.6K 1.4K 15
                                    

——————

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

——————

Satu momen yang akan selalu Aruna ingat seumur hidupnya adalah hari di mana ia menikah dengan sosok Sangaji Biantara.

Tidak, Aruna terus mengingatnya bukan karena hari itu merupakan hari spesial atau hari bahagianya. Namun, entah mengapa, Aruna dapat mengingat dengan jelas bagaimana hari pernikahannya berjalan.

Semua detail kecil tercetak dengan jelas di memorinya, seolah-olah otaknya sengaja membuatnya mengingat. Dan Aruna membenci fakta bahwa dirinya mampu mengingat hari pernikahannya dengan begitu rinci.

Setiap tawa dan canda yang mereka lontarkan, setiap senyuman palsu yang Aruna dan Bian berikan kepada para tamu undangan dan kedua orang tua mereka, seolah-olah menyatakan bahwa mereka adalah pasangan suami-istri yang sangat bahagia. Semua itu mampu membuat Aruna tersenyum dengan pedih setiap kali ia mengingatnya.

Pagi itu, sekitar pukul 3 dini hari, saat Aruna sedang dirias oleh makeup artist pilihan ibunya. Tiba-tiba, calon ibu mertuanya, Kartika, datang berkunjung. Wanita paruh baya itu mendampingi Aruna sepanjang persiapan, memberikan pujian bahwa Aruna terlihat sangat cantik, dan sebagainya.

Di tengah-tengah percakapan mereka, Kartika mengucapkan sesuatu yang membuat Aruna sedikit mengurangi rasa bencinya terhadap pernikahan ini. Ucapan sederhana itu menjadi salah satu alasan mendasar yang membuatnya bertahan selama satu tahun terakhir ini dalam pernikahan ini—alasan yang sederhana, namun cukup kuat untuk membuat Aruna bertahan sejauh ini.

Aruna masih mengingat dengan jelas saat ia meminta semua orang yang berada di kamar hotelnya untuk keluar, meninggalkan dirinya berdua dengan Kartika sejenak. Aruna mengingat bagaimana Kartika menangis sambil mengucapkan terima kasih kepadanya, berterima kasih karena Aruna telah menerima permintaannya untuk menikahi Bian. Ia juga mengingat bagaimana Kartika memohon maaf karena Aruna harus berada dalam posisinya sekarang. Karena, kenyataannya, Aruna memang secara terang-terangan menolak perjodohan yang telah diatur ini.

Aruna telah melewati argumen panjang dengan kedua orang tuanya saat ia pertama kali menolak perjodohan tersebut. Tiada hari tanpa pertengkaran dengan mereka, hingga akhirnya Aruna memutuskan untuk menyetujui permintaan kedua orang tuanya.

Sejak saat itu, Aruna terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa baik orang tuanya maupun orang tua Bian memiliki maksud yang baik. Kartika, misalnya, hanya ingin Bian mendapatkan sosok pasangan yang mampu merangkul dan membangkitkan semangatnya di tengah kesibukan dan kesendirian pria itu.

Setelah melihat latar belakang Bian, Aruna pun menyimpulkan bahwa Bian bukanlah tipe pria yang memiliki sejarah dengan banyak wanita. Bisa dibilang, pria tersebut adalah orang yang baik, setidaknya pada saat itu. Lagipula, Aruna sejak dulu sempat bermimpi untuk menikah di usia muda. Mengingat dirinya adalah anak tunggal, ibu dan ayahnya sudah lama menginginkan Aruna untuk menikah. Saat itu, Aruna pikir pernikahan ini bukanlah hal yang buruk.

Berbeda dengan Aruna yang membutuhkan waktu tiga minggu untuk memantapkan pilihannya, Bian justru langsung menyetujuinya. Hingga hari ini, Aruna masih tidak mengerti mengapa pria tersebut tidak pernah sekalipun menentang perjodohan ini.

Padahal, jika dilihat-lihat, Bian tampak sangat tidak tertarik pada perjodohan yang telah diatur oleh kedua orang tuanya. Selama proses perencanaan acara pertunangan hingga pernikahan, jumlah keterlibatan Bian dapat dihitung dengan jari.

Bian dan alasan "kerja"-nya selalu menjadi pemicu pertengkaran antara Aruna dan Bian. Bahkan ketika Aruna sudah mulai terbiasa dengan situasi yang dihadapinya dan merasa yakin dengan keputusannya untuk menikah dengan Bian, pria tersebut justru membuatnya kembali meragukan semuanya.

"Kalau kamu tidak tertarik dengan pernikahan ini, lebih baik kamu akhiri saja, Bian. You know what, aku akan menelepon orang tuaku sekarang juga kalau kamu mau." Aruna, yang saat itu sudah geram dengan perlakuan dan sikap Bian, datang dengan amarah yang membara ke kantor pria tersebut untuk menghadapinya.

Namun, meski dengan ancaman dan suaranya yang sudah meninggi, Aruna tetap tidak bisa membuat Bian berpaling dari pekerjaan dan lembaran-lembaran kertas yang berada di tangannya.

Tidak tahan lagi dengan sikap acuh Bian, Aruna dengan nekat melemparkan tas mahal miliknya, yang bernilai ratusan juta, ke arah dinding dekat Bian. Bian, yang sejak tadi fokus berkutat dengan kertas dan laptopnya, akhirnya menoleh ke arah Aruna. Ia menatap mata wanita tersebut yang sudah memerah dan penuh dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Bian menghela napas sebelum akhirnya beranjak dari duduknya, melangkah menuju tas yang tergeletak di lantai marmer, dan mengambilnya. Pria itu kemudian mendekat ke arah Aruna dan menyerahkan kembali tas tersebut.

"Tas ini mahal, jangan sembarang dilempar, Aruna," katanya. Setelah itu, Bian mengambil tisu dari meja kerjanya dan menghapus air mata yang masih mengalir di pipi Aruna. "Hentikan tangisanmu, kamu akan kehilangan kecantikanmu jika terus menangis. Aku harus ikut hadir untuk apa hari ini? Biar aku minta Tommy mengosongkan jadwalku hingga sore. Sekarang keluar dulu dari kantorku. Aku akan menemuimu di lobi. Kamu sudah cukup membuat keributan hari ini."

Dan sejak hari itu,  Aruna dapat menebak bahwa pernikahan ini merupakan awal dari kehancurannya.

——————————

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang