Tujuh

13.6K 895 17
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Mengunjungi rumah Eyang Kakung dan Eyang Uti dari keluarga Bian telah menjadi ritual bulanan Aruna sejak menikahi pria itu. Sambil menunggu Eyang Kakung dan Eyang Uti yang belum juga selesai bersiap, Aruna memutuskan untuk menggunakan waktunya bermain dengan sang keponakan—Yohanes, putra sulung dari Tama dan Seruni--kedua kakak iparnya.

Yohanes, dengan pipinya yang kemerahan dan mata yang berbinar, menatap ke arah Aruna yang sedang menyusun beberapa bantal sofa menjadi tumpukan gunung. Melihat itu, Yohanes pun mencoba memanjat di sekitar sofa dan setiap kali dia berhasil mencapai puncak tumpukan bantal, dia akan tertawa riang bersama Aruna yang ikut tertawa dengannya.

Aruna dengan sabar dan penuh perhatian mengikuti permainan sang keponakan, terkadang membantu menata bantal yang jatuh atau menangkap Yohanes saat hampir tergelincir. Sesekali Aruna, yang gemas dengan tingkah sang keponakan, menggelitikinya, membuat keduanya tertawa di atas sofa.

Melihat itu, Andhira—kakak perempuan Bian—menyikut perut sang adik saat melihat pemandangan antara Aruna dan sang keponakan. Wanita tersebut lalu menoleh menatap Bian yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Lihat tuh, udah cocok jadi ibu si Aruna. Lo berdua nggak ada rencana buat punya anak dalam waktu dekat, kah?"

Mendengar ucapan Andhira, Bian mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arah Aruna yang duduk di sofa di seberangnya. Aruna memang sudah sangat luwes berhadapan dengan anak-anak. Setiap kali keduanya hadir dalam kegiatan sosial, seperti mengajar di sekolah-sekolah atau mengunjungi panti asuhan, Aruna selalu terlihat nyaman saat menghabiskan waktu berjam-jam dengan anak-anak.

Berbeda dengan Bian yang cenderung bingung dan kaku jika berurusan dengan anak kecil. "Nggak ada. Lagian kita berdua sibuk, anak bukan bagian agenda kita berdua saat ini." Atau selamanya mungkin, ucap Bian dalam hati.

Andhira terdiam sesaat mendengar jawaban dari sang adik. Ketika dirinya baru saja ingin mengatakan sesuatu, suara bunyi lift rumah mengalihkan perhatiannya. Tidak lama kemudian pintu lift terbuka dan pasangan lanjut usia muncul dengan senyum lebar di wajah mereka. Eyang Kakung dengan postur tegapnya berjalan mendekati keluarganya sambil melambaikan tangan. Di sampingnya, Eyang Uti dengan senyumnya yang hangat menyapa mereka dengan penuh kasih.

"Pasti kalian sudah lama menunggu, ya? Uti kebiasaan suka dandan lama," ujar Hadi sambil berjalan ke arah ruang keluarga. "Mana nih cicit kesayangan Eyang, Tama?"

Satu per satu anak, mantu, cucu, dan cicit mendekati Hadi dan Ratna, lalu secara bergilir menyalami keduanya. Hadi pun beralih menggendong Yohanes ketika mereka mulai berjalan menuju ruang makan utama untuk makan siang.

Di tengah-tengah kumpulan keluarga Marsudi yang sudah berada jauh di depan, Aruna justru berjalan sedikit pelan dari yang lain. Ia memilih untuk menikmati suasana rumah Eyang Kakung dan Eyang Uti sambil sesekali melihat-lihat foto-foto keluarga yang terpajang di dinding.

Ratna, yang menyadari bahwa Bian kini sedang asyik berbincang dengan Hadi tanpa Aruna di sampingnya, menoleh ke belakang. Dirinya melihat Aruna yang berjalan sendiri, tampak sedikit terpisah dari yang lain. Dengan senyum hangat, Ratna memutuskan untuk menghampiri Aruna. Dia melambatkan langkahnya, kemudian berbalik arah dan berjalan ke belakang untuk menemani cucunya. Aruna, yang terkejut melihat Ratna yang tengah mendekatinya, segera menyambut Ratna dengan senyumnya.

"Kenapa jalan sendiri di belakang, sayang?" tanya Ratna dengan suara lembut khasnya.

Aruna tersenyum saat mendengar pertanyaan sang nenek, wanita tersebut lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak ada apa-apa, Uti. Aku hanya sedang menikmati rumah Eyang dan beberapa foto-fotonya."

Eyang Uti tersenyum, lalu memegang tangan Aruna dengan lembut. "Mari kita jalan bersama. Eyang kasih lihat foto-foto Bian saat masih kecil. Banyak yang ingin Eyang ceritakan kepadamu."

Keduanya pun berjalan berdampingan, tangan Ratna yang menggenggam tangan Aruna dengan erat memberi rasa nyaman dan hangat. Sambil berjalan dengan langkah pelan, Ratna menjelaskan dan memperlihatkan setiap foto yang terdapat di koridor rumah menuju ruang makan.

Ratna dengan antusias menceritakan masa kecil Bian dan betapa susahnya menjaga pria itu saat kecil. "Kalau dulu Eyang yang jaga Bian saat masih kecil, sekarang ada Aruna yang gantian jaga Bian dan sebaliknya. Lain kali jangan jalan sendiri di belakang, ya, sayang? Kamu juga keluarga, loh. Kamu juga cucu Eyang, jadi jangan pernah merasa kalau kamu orang asing ketika di rumah ini."

Dengan menahan matanya yang berkaca-kaca, Aruna tersenyum mendengar ucapan dari Ratna. "Terima kasih, Eyang. Aku janji besok aku nggak akan jalan sendirian di belakang."

Ratna mengangguk dan kembali menggenggam tangan Aruna, "Nah, itu jawaban yang mau Eyang dengar. Mari, kita pasti sudah ditunggu oleh yang lain."

===

Senja telah beranjak menjadi malam, dan langit yang sebelumnya dipenuhi warna jingga senja kini berubah menjadi gelap. Di depan rumah minimalis milik Bian dan Aruna, sebuah mobil terparkir dengan lampu yang masih menyala. Aruna dan Bian, yang baru saja sampai di rumah, terlihat sedang berdiam diri sejenak di dalam mobil.

Sejak tadi, tidak ada yang tertarik untuk memulai percakapan selama perjalanan kembali dari rumah sang kakek dan nenek. Kini, Aruna yang berada di kursi pengemudi dengan wajah sedikit lelah, memandang ke depan dengan tatapan kosong, sementara ia melirik ke arah Bian yang duduk terdiam di sebelahnya.

"Aku akan membuka gerbangnya," kata Aruna saat hendak keluar dari mobil, namun dia dicekal oleh Bian yang tiba-tiba menarik pelan pergelangan tangannya. "Kenapa?"

Untuk sejenak, Bian tampak ragu untuk mengungkapkan apa yang ingin dia katakan. Akhirnya, dia melepas tangannya yang masih menggenggam pergelangan tangan Aruna. "Saat kamu tertinggal di belakang, apa yang kamu bicarakan dengan Uti?"

Aruna mengeluarkan tawa kecil yang terdengar sarkastik. Dia membalikkan badannya untuk menghadapi Bian yang menatapnya. "Kenapa kamu ingin tahu? Takut aku berbicara macam-macam dengan Uti? Takut Eyang tahu bagaimana cucu kesayangannya menjalani rumah tangganya? Jangan khawatir, aku tidak mengatakan apa pun yang dapat merusak citra kamu di depan Eyang."

Mendengar ucapan Aruna, Bian merasa tersinggung dan menatapnya dengan sikap menantang. "Memang benar aku khawatir kamu mengatakan hal-hal aneh yang bisa merusak citra aku di depan Eyang. Jadi, jangan bertindak seperti tadi, berusaha merebut perhatian Uti. Jangan sampai kamu melewati batas kamu. Keluarlah sekarang, aku ada acara yang harus dihadiri sebentar lagi."

AAruna kembali tertawa kecil. Dia menatap Bian yang kini mengalihkan pandangannya ke depan. Sebelum keluar dari mobil, Aruna mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi permen coklat dan memberikannya kepada Bian. "Eyang tadi cerita kamu suka sekali permen coklat ini, jadi aku ambil beberapa dari rumah mereka sebelum pergi. Aku tadinya akan memberikan ini ke kamu. Ngomong-ngomong, kalau kamu tidak ingin pulang malam ini, jangan pulang. Lagian, tidak ada orang yang akan menunggumu pulang."

Setelah Aruna keluar dari mobil, Bian menatap punggung sang istri yang semakin menjauh hingga akhirnya wanita tersebut terlihat telah masuk ke dalam rumah. Jika ia boleh jujur, sebenarnya apa yang ia katakan kepada Aruna mengenai warisan sang kakek dan nenek tidak sepenuhnya benar.

Bian sama sekali tidak peduli tentang pembagian warisan dari Eyang Kakung maupun Eyang Uti. Hanya saja, ada satu hal yang lebih mengkhawatirkannya. Eyang Uti, neneknya tersebut, terlalu banyak mengetahui rahasianya. Segala hal tentang Bian, dari A hingga Z, Ratna mengetahuinya. Setiap seluk-beluk kisah hidupnya sebelum ia mengenal Aruna, Ratna mengingatnya dengan baik.

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang