Dua Puluh Enam

9.4K 658 85
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Saat kelopak matanya mulai terbuka perlahan, diterangi oleh cahaya matahari yang menyusup melalui celah-celah tirai, Aruna merasakan kehampaan di sisi tempat tidurnya. Kesadarannya mulai merayap masuk, dan ia membalikkan badan menghadap tempat di mana Bian biasanya terbaring. Tak ada kehangatan yang tertinggal, hanya dingin yang menyelimuti sprai. Ia lalu mendongakkan kepala, menatap jam di meja nakas. Jarum jam kini sudah menunjuk ke angka delapan.

"Oh, udah berangkat kerja pasti dia," gumam Aruna dan kembali membaringkan badannya di atas kasur. Kepalanya kini kembali berdenyut-denyut dan rasa pening pun menyerang dirinya. Sisa-sisa ketegangan dari pertengkaran semalam dengan Bian masih membekas sehingga membuat Aruna sempat sulit tidur semalam. Pikirannya terus berputar, mengulang setiap kata dan argumen yang mereka lampiaskan.

Semalam, ia memutuskan untuk mengambil beberapa pil tidur agar dapat dengan cepat jatuh tidur. Namun, mungkin karena terlalu banyak, efeknya masih terasa hingga pagi ini. Dengan pandangan yang sedikit kabur dan tubuh yang lemas, Aruna menatap langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari tempat tidur. Mengingat ada banyak hal yang harus diselesaikan hari ini meski tubuhnya menolak untuk bekerja sama. Tetapi untungnya, hari ini ia tidak perlu pergi ke kantor sehingga dapat mengerjakan pekerjaannya dari rumah.

Setelah menghabiskan waktu sejenak di atas kasur, Aruna memutuskan untuk turun ke lantai bawah menuju dapur untuk untuk menyiapkan sarapan. Saat melangkah masuk, Aruna dikejutkan dengan adanya beberapa hidangan sedap yang menyambutnya. Seulas senyum tipis terlintas di wajahnya saat ia mendekat untuk mengambil segelas teh hangat yang sudah disiapkan, dan beberapa piring yang tertata rapi di atas kitchen island.

Saat hendak duduk di bar stool, perhatian Aruna tertarik oleh sebuah catatan yang tertempel di pintu kulkas. Sebuah sticky note berwarna hijau dengan tulisan tangan Bian menarik perhatiannya. Tulisannya terbaca, "maafkan aku, i know this isn't much dan mungkin tidak seenak buatanmu, but please do enjoy the breakfast i made. i love you, a."

Katakanlah Aruna lemah, namun pada kenyataannya memang wanita tersebut gampang untuk diluluhkan hatinya, terkecuali untuk Elliot. Aruna mengambil sticky note itu, berniat mengirim pesan kepada Bian untuk mengucapkan terima kasih atas sarapan pagi ini yang telah pria itu buatkan. Namun, terlintasnya rasa keraguan yang masih menghantuinya, menghentikan wanita tersebut untuk menekankan tombol 'send'. Aruna lalu menutup kembali room chat-nya dengan Bian dan menaruh ponselnya ke dalam kantong celana piayamanya.

Tidak ada yang istimewa dari rangkaian kegiatan yang dilakukan Aruna hari ini. Agenda Aruna hanya diisi dengan membalas beberapa email, mengikuti rapat melalui panggilan video, membuat beberapa sketsa untuk koleksi terbarunya, dan sisanya ia habiskan untuk merapikan rumah serta menikmati waktu untuk dirinya sendiri, yang jarang dia dapatkan.

Beberapa jam berlalu dan kini Aruna yang sudah rapi dengan pakaian dan wajahnya yang dirias dengan tipis. Aruna menggerutu dalam hati saat melihat banjiran notifikasi dari kelima teman arisannya. Meskipun sebagian hatinya ingin berlama-lama di rumah, dia tahu dia harus pergi. Entah kenapa, sejak tadi ia merasa bahwa pertemuan kali ini dengan mereka tidak akan berakhir dengan menyenangkan. Dengan langkah yang berat, Aruna mengambil tas jinjing miliknya dan lanjut mengeluarkan mobil, melaju pergi ke tempat tujuannya.

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang