***
Setelah pertemuan yang tidak terduga di antara keduanya, Dikta dan Aruna kini telah duduk di dalam mobil Aruna. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, merasakan beratnya beban yang menghimpit. Dikta memandang lurus ke depan, sementara Aruna menundukkan kepala, mencoba menenangkan perasaannya yang masih kacau.
Setelah beberapa saat dalam keheningan yang mencekam, Dikta akhirnya memecah kebisuan, suaranya lembut namun penuh perhatian. "Is there anyone I can call for you? Atau lo mau kemana habis ini? Apa mau gue bantuin telepon Bian?"
Aruna menggeleng pelan, kemudian menatap Dikta dengan mata yang masih basah oleh air mata. "Jangan. Jangan sampai Bian tahu tentang ini. Janji sama gue, lo nggak bakal kasih dia."
Dikta terlihat ragu untuk sesaat, namun akhirnya pria itu mengangguk dengan pemahaman mendalam. "Baiklah, gue janji nggak akan bilang apa-apa ke Bian. Jadi...sekarang, apa lo mau gue anterin ke rumah? Atau?"
"Gue bakal ke rumah orang tua gue," jawab Aruna dengan suara yang hampir berbisik. "Lo bisa balik aja. Gue udah nggak apa-apa, kok. Gue juga mau bilang maaf dan terima kasih. For what you did.."
Dikta tersenyum tipis, meskipun hatinya juga penuh kekhawatiran terhadap kondisi istri dari sahabatnya tersebut. "Nggak usah dipikirin lagi, Aruna. I'm just glad you're safe now. Dan buat ke rumah orang tua lo, gue bisa kok anterin. I'll just leave my car here."
Aruna menatap Dikta dengan mata yang terlihat kelelahan. "Nggak, Dikta. Gue nggak mau ngerepotin lo lagi. Lo udah banyak bantuin gue. Please, gue bisa pergi sendiri."
Namun, Dikta tampak ragu. Dia menggeleng pelan, tatapannya serius dan penuh kekhawatiran. "Aruna, gue nggak bisa ninggalin lo sendirian dalam kondisi kayak gini. Gue khawatir lo kenapa-kenapa di jalan. Setidaknya, izinkan gue buat ngejaga mobil lo dari belakang, gimana? Dan gue mohon, telpon seseorang buat bantuin lo nyetir. Gue nggak mau lo nyetir sendiri dengan kondisi kayak gini."
Aruna tahu bahwa Dikta ada benarnya. Dia sekarang merasa terlalu lelah secara emosional dan fisik untuk dapat mengemudi sendiri. Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk menelpon Elliot, sahabatnya yang selalu siap membantunya. "Baiklah kalau gitu, gue akan telpon Elliot."
Dikta mengangguk mendengar jawaban Aruna, namun sejenak ada perasaan tidak enak hati yang menyelinap di benaknya. Dia tahu, sebagai sahabat Bian, bahwa Bian, mungkin akan geram jika mengetahui bahwa Aruna lebih memilih Elliot, dibandingkan dirinya dalam situasi seperti ini. Namun, mengingat bahwa mungkin Bian-lah yang menjadi alasan wanita tersebut berada di posisi ini. Maka yang paling penting saat ini adalah keselamatan dan kenyamanan Aruna.
"Kalau gitu, biar gue yang aja yang bantu ngomong sama Elliot. You don't need to explain it to him, kalau lo belum siap."
Aruna mengangguk pelan, merasa sedikit lega karena tidak harus menjelaskan semuanya kepada Elliot untuk saat ini. Ia lalu menyerahkan ponselnya kepada Dikta, yang segera menghubungi Elliot. Dan tidak butuh waktu lama pun bagi Elliot untuk mengangkat panggilan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Yang Tak Kunjung Berlalu
RomanceAruna dan Bian seharusnya tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aruna dan Bian seharusnya tidak pernah dipertemukan dari awal. Dengan hubungan yang dibangun oleh campur tangan kedua orang tua mereka, kini Aruna dan Bian mau tak mau harus mengikat...