Tiga Puluh Tujuh

12.5K 770 43
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Seminggu telah berlalu sejak Aruna memutuskan untuk meninggalkan rumah. Bian telah mencoba menghubungi beberapa orang, termasuk orang tuanya, namun kedua mertuanya tidak kunjung membalas pesan atau panggilan teleponnya, sehingga Bian kesulitan mendapatkan informasi apa pun mengenai Aruna.

Ketika situasi semakin tegang, kehidupan Bian sendiri ikut mulai merosot. Pekerjaannya terbengkalai dengan dirinya yang absen beberapa kali dalam seminggu, dan akhirnya hal itu menjadi perhatian Dikta dan Tommy. Mereka memutuskan untuk menemui Bian di rumahnya, harapannya bisa memberikan  sedikit dukungan dan mencari cara untuk membantunya.

Langkah pertama mereka ke dalam rumah Bian menunjukkan sesuatu yang jauh dari apa yang mereka harapkan. Biasanya rumah ini terjaga dengan rapi, nuansa elegan dan estetika modernnya terpancar dari setiap sudut. Namun, kali ini suasana berbeda. Saat mereka memasuki ruang tamu, aroma alkohol menyengat dari botol-botol yang berserakan di lantai. Dapur, yang biasanya menjadi tempat Bian dan Aruna menghabiskan waktu bersama untuk sekadar makan bersama, kini penuh dengan bekas-bekas makanan dan piring kotor yang tidak tersusun.

Tommy selaku sekretaris Bian yang selalu percaya bahwa rumah itu adalah citra kestabilan dan ketertiban Bian, tercengang melihat keadaan ini. Dia menatap ke sekeliling dengan penuh kebingungan, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Dikta, yang biasanya lebih tajam dalam menghadapi situasi-situasi genting, segera menarik Tommy ke samping untuk merencanakan langkah selanjutnya.

"Ji," ucap Dikta, mencoba membangunkan sahabatnya yang terlihat terpuruk di sofa. "Lo harus bangun, kita harus bicara."

Bian menggeliat pelan, matanya terlihat sayu dan letih. Namun, setelah beberapa saat, dia menatap Dikta dan Tommy dengan tatapan kosong yang seakan-akan tidak mengenali mereka.

"Udah seminggu, Ji," lanjut Dikta. "Lo kalau mau cari Aruna dan mulai memperbaiki semuanya nggak dengan cara seperti ini. Drowning yourself by drinking and skipping work won't help you fixed things up with Aruna."

Dikta lalu menyikut Tommy untuk melanjutkan kata-katanya. "Iya, Pak. Benar kata Pradikta." Tommy menambahkan.

Bian masih terdiam, mencoba untuk memproses kata-kata mereka dengan lambat. Dia menatap lantai yang dengan tatapan hampa, seolah mencari jawaban di antara jejak-jejak kekacauan di sekitarnya. Akhirnya, dia mengangguk pelan, pertanda bahwa mungkin, hanya mungkin, dia mulai memahami betapa pentingnya untuk kembali membenahi diri dan kehidupannya. Termasuk memperbaiki hubungan rumah tangganya dengan Aruna.

Tommy lalu mendekati meja makan yang berserakan dan mengambil beberapa botol kosong dan mencoba merapikan sedikit kekacauan di sekitar mereka. "Saya bisa menghubungi orang kantor Bu Aruna. Beberapa saat yang lalu asistennya Bu Aruna menghubungi saya, mungkin kita mulai dari situ, Pak." katanya sambil mencoba menyemangati atasannya tersebut.

Bian memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk meredakan kekacauan yang melanda pikirannya. Dalam keheningan itu, suara-suara dari masa lalu dan bayangan Aruna saat wanita tersebut meninggalkannya terus menghantuinya. Dikta dan Tommy menunggu dengan sabar, memberi waktu bagi Bian untuk merangkai kekuatan yang tersisa.

Badai Yang Tak Kunjung BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang