Bel sekolah berbunyi, tanda istirahat pertama telah tiba, Chavi membereskan buku-bukunya yang berada diatas meja, setelah membereskan bukunya, perhatian Chavi tertuju pada Baim yang duduk disebelahnya sambil bermain ponsel.
Setelah kejadian orang tua mereka dipanggil, Baim jadi sedikit pendiam, walaupun mereka masih akrab, tapi sudah terhitung beberapa hari ini Baim dan Chavi tak membuat ulah, mungkin benar yang orang-orang katakan, Baim sebenarnya hanya terbawa lingkungan karena sikap Chavi biasanya, buktinya setelah Chavi ingin berubah dan berhenti membuat ulah, Baim juga terlihat mengikuti apa yang Chavi lakukan.
"lo ngga ke kantin?" tanya Chavi pada Baim.
"papi ada bawain bekal sih, kenapa? lo mau kekantin? gue temenin yuk" ujar Baim.
"ngga papa lo makan duluan aja, gue ada urusan sebentar" jawab Chavi dan mengecek ponselnya sebentar.
"urusan apaan? beneran ngga pengen gue temenin?" tanya Baim lagi.
"iya nggausah, bawel lo, gue pergi dulu" ujar Chavi lalu berdiri dari duduknya.
Baim yang melihat Chavi berjalan menjauh pun hanya mengedikan bahunya cuek, setelah itu Baim memakan bekal yang papinya bawakan itu, sementara itu Chavi berjalan kearah pos satpam didekat gerbang sekolah karena tadi dirinya mendapat pesan dari Grandpa-nya bahwa sepatu untuk pak Havian dititipkan di pos satpam, Chavi mengambil sepatu itu lalu berjalan lagi menuju ruangan BK seperti apa yang tadi pagi dirinya dan pak Havian bicarakan lewat chat.
Chavi ketuk pelan pintu itu, dan Havian dengan segera membukakan pintu itu, senyum Havian dan juga Chavi sama-sama mengembang saat mereka menatap satu sama lain, Havian mempersilahkan Chavi untuk masuk kedalam ruangannya dan duduk di kursi yang berada dihadapannya.
"saya kira kamu mau kekantin dulu, taunya langsung kesini, emang ngga laper?" tanya Havian khawatir.
"saya belum laper kok pak, oh iya ini ada sesuatu dari saya buat pak Havian, sebenarnya tuh saya kesini sekalian mau meminta maaf untuk kenakalan saya beberapa hari ini dan buat pak Havian kerepotan" ujar Chavi dengan sopan yang membuat Havian tersenyum dan menerima hadiah itu.
"kamu pake repot-tepot segala, saya udah maafin kamu kok, lagi pula sekarang kamu kan udah mau berubah, itu aja udah cukup kok" ujar Havian dengan suara lembutnya.
"semua juga berkat pak Havian, terimakasih ya pak" Chavi tersenyum.
"iya sama-sama Chavi, oh iya mengenai guru les untuk kamu, kira-kira kamu keberatan ngga kalau saya yang bakalan ajarin kamu?" ujar Havian memberi tawaran.
"memangnya kenapa pak? pak Havian belum nemuin guru les buat saya?" tanya Chavi.
"sebenarnya saya belum sempat cari, tapi saya pikir-pikir lagi kalau saya sendiri bisa kok jadi guru les kamu, kita kan udah kenal juga jadi proses belajarnya juga jadi ngga canggung, gimana menurut kamu?" tanya Havian pada Chavi.
"bener juga ya, apalagi saya termasuk orang yang susah akrab sama orang yang baru saya kenal" ucap Chavi menimbang.
"boleh deh pak, ngga papa pak Havian aja yang jadi guru les saya, oh iya, untuk biayanya nanti kita bicarain lagi ya pak, Soalnya saya belum bilang sama papa" ujar Chavi lagi.
"semua gimana baiknya kamu aja Chavi, nanti kamu pastiin lagi kapan mau mulai les-nya ya, soalnya saya perlu bikin jadwal biar lebih gampang atur semuanya" Havian menatap lekat kearah Chavi.
"ok pak Havian, sekali lagi terimakasihya pak, pak Havian udah mau banyak bantu saya" Chavi tersenyum.
"iya sama-sama Chavi" jawab Havian pelan.
"kalau begitu saya pemisi dulu ya pak Havian, saya mau kekantin soalnya 20 menit lagi udah bel masuk" pamit Chavi pada Havian.
"iya Chavi, terimakasih ya ini untuk hadiahnya" Havian berujar ramah.
Chavi tersenyum lembut, lalu berjalan keluar dari ruanganya, Havian segera mengambil hadiah yang Chavi beri tadi, Havian tersenyum saat mendapati sepasang sepatu berwarna putih, sama persis seperti sepatunya yang pernah Chavi rusak.
Havian lagi-lagi tersenyum, merasa hatinya menghangat karena Chavi benar-benar menunjukkan bahwa dirinya ingin berubah, sibuk memandang sepatu pemberian Chavi, Havian dikagetkan dengan kedatangan Nara karena Nara sedikit mengencangkan suaranya.
"senyam senyum aja kaya orang gila, lo kenapa sih??" tegur Nara sambil menatap Havian aneh.
"gue kaget tau dasar lo, lagian gue ngga kenapa-kenapa kok, lagi ngerasa happy aja" ujar Havian sambil senyum.
"wihh yang lagi bahagia haha, cerita dong sama gue, lo bahagia kenapa?" tanya Nara penasaran.
"Chavi tadi dari sini, dia minta maaf habis itu kasih gue sepatu, sepatunya persis kaya punya gue yang dia rusakin ra" ujar Havian bercerita.
"ohh gitu doang" Nara berujar cuek.
"ini tuh bukan cuma gitu doang Nara, gue seneng karena Chavi beneran ada niatan buat ngerubah hal buruk yang dia punya, gue sebagai gurunya seneng lah" ucap Havian menatap Nara malas.
"haha iya-iya gue ikut seneng deh" Nara terkekeh pelan.
"oh iya lo kan kemarin ada nanya soal guru les, lo udah nemu?" tanya Nara tiba-tiba.
"gue ngga nyari ra, gue ajuin diri buat jadi guru les Chavi, gue kan gini-gini juga pinter, gue yakin lah bisa ngajarin dia sampai uts nanti" Havian berbicara dengan percaya diri.
"lo beneran seniat itu anjir bantuin Chavi, gue sebagai sahabat lo salut deh sama kebaikan lo, karena sikap keperdulian lo ngga perlu diragukan lagi, gue tau banget itu nurun dari mami lo haha" Nara tertawa pelan.
"lo jadi muj-muji gue gini, makasih loh ya haha" tawa Havian renyah.
Keduanya tertawa renyah, ada yang Havian tak tau bahwa Nara diam-diam merasa iri karena Havian cepat sekali akrab dengan Chavi, dirinya bahkan tak pernah dianggap oleh Chavi padahal Nara adalah calon suami dari uncle Chavi sendiri, tak bermaksud buruk, iri yang Nara rasakan disini adalah karena Nara ingin seperti Havian, begitu friendly pada siapapun sampai membuatnya mudah dalam melakukan hal apapun, Nara ingin seperti sahabatnya itu.
Mungkin setelah ini Nara akan putar otak untuk mengakrabkan diri dengan Chavi, Nara ingin hubungannya dengan Jericho juga disetujui oleh calon ponakannya itu, biar nanti Nara meminta pendapat pada Havian mengenai hal ini.
TBC!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Affection (Markhyuck + Chenle)
FantasyHavian anak tunggal kaya raya yang tidak memiliki minat meneruskan perusahaan daddynya, memilih untuk menjadi guru disebuah sekolah, Awalnya Havian kira menjadi guru adalah sebuah pekerjaan yang menyenangkan, namun kesabarannya diuji ketika harus me...