35 - Dia yang Baru

374 44 31
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

🌷

Tiga bulan kemudian ...

Hamparan langit biru tanpa arakan awan itu masih menjadi teman favoritnya untuk menemani setiap paginya. Jarum jam belum menunjukkan pukul tujuh, namun ia sudah terlihat cantik dalam balutan gamis hijau army plus khimar panjang warna senada.

Hari ini, jadwalnya untuk mengunjungi keluarganya di pesantren. Setelah menjemput anak-anaknya di sekolah nanti, ia akan mampir ke sana dan juga menghabiskan siangnya di rumah yang sudah cukup lama tidak ia tinggali.

Semenjak keluar dari rumah sakit waktu itu, ia sudah diputuskan untuk tinggal di rumah papanya, dengan alasan demi mempermudah kesembuhannya. Padahal, berada di sekitar keluarga Abiyyu membuat hatinya selalu tenang dan nyaman. Apalagi ada santri-santri yang selalu menemaninya di sana.

Namun, dia tidak bisa menentang keinginan papanya untuk membawa dirinya dan anak-anaknya pulang ke rumah lama mereka. Terlebih sang Abah dan ummahnya sudah menyetujui, meski berat perasaan mereka ketika membiarkan dirinya pergi.

"Sayang, nanti perginya sama Papa, ya?" beo seseorang yang baru saja masuk membawa nampan berisi susu hangat juga beberapa potong roti bakar. Dia adalah Zahra.

Sang Oma memutuskan untuk tinggal cukup lama di Bogor demi menemani cucunya menjalani terapi. Selain itu, Zahra ingin menjadi teman setia cucunya menjalani hari-harinya, memastikan dia baik-baik saja, dan tetap tersenyum seperti biasa.

Apalagi sekarang, cucu kesayangannya itu ikut tinggal dengannya di rumah David, tidak lagi di pesantren membuat Zahra lebih mudah mengawasi dan menjaganya.

"Ara nyetir sendiri aja, Ma," balasnya setelah mengambil tempat di samping omanya. Kini, ia tengah memakaikan kaos kaki di jemari imut bayinya agar tetap hangat.

Zahra menolak dengan gelengan kepala. "Oma nggak izinin kamu pergi sendiri, Nak."

"Papa, kan, masih di kantor sampai siang, Ma." Perempuan itu masih mencari alasan untuk membenarkan argumennya. "Kalau nunggu Papa pulang, kasihan anak-anak nunggu lama juga di sekolah."

"Aisyahra ..." panggil Zahra menyentuh lengan cucunya. "Oma mohon, dengerin Oma kali ini. Oma nggak mau kamu kenapa-kenapa."

Ara paham dengan kekhawatiran yang nampak jelas dari wajah neneknya itu. Bukan hanya neneknya, semua orang yang ada di rumah ini selalu mengkhawatirkan dirinya padahal ia baik-baik saja. Sungguh, ia sudah benar-benar sembuh kali ini. Terkecuali hatinya.

Hatinya masih terbelah. Hilang sekeping bersama sosok yang selama ini dinanti. Semakin Ara menunggu dan berharap pada keajaiban, semakin lebar luka itu menggoreskan kesakitan.

Sudah tiga bulan lamanya, tapi sosok itu belum juga diketahui tempat beradanya. Beragam perspektif orang telah ia dengar, tapi hatinya masih tidak percaya. Bahkan, Wildan sudah kembali sebulan lalu, tanpa membawa hasil apa-apa, hanya kabar dan sesal yang menambah lara.

Rihlah Cinta Hasyra [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang