(S3) Chapter 34

48 5 0
                                    

7 tahun kemudian...

Setelah hari-hari yang begitu memuakkan telah berlalu, Minho perlahan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Tubuhnya yang telah kembali seperti semula, aura wajahnya yang mulai membaik, dan sifatnya yang telah melembut pada orang-orang. Pria itu juga tak lagi mengurung diri di kamarnya dan memilih membantu orang-orang saat pekerjaan telah selesai. Namun, sifat lembutnya itu tak berlaku pada seseorang yang menghabiskan seluruh emosi dan tenaganya beberapa tahun lalu. Apapun yang terjadi, pria itu tak akan pernah melupakan rasa amarahnya hari itu.

Flashback On

Seorang gadis dengan rambut cokelat sepanjang pinggang berjalan mendekat. Gadis itu berbicara dengan suara yang begitu lirih seakan menyimpan banyak rasa penyesalan di sana.

"Minho, aku benar-benar minta maaf," ucapnya.

"Untuk apa?" tanya Minho tanpa menoleh.

"Untuk ucapanku beberapa hari lalu. Aku...aku kelepasan mengatakan hal itu padamu yang masih berduka," jelasnya.

"Aku benar-benar tak mengerti dengan sikapmu saat itu, Teresa," ujar Minho.

"Maaf...aku tak sengaja melakukannya karena perasaan iri yang begitu besar terhadapnya," aku Teresa.

Kalimat tersebut sukses membuat pria itu membalikkan tubuhnya dan memfokuskan pandangannya pada gadis di hadapannya. "Iri? Apa maksudmu?"

"Cassy selalu mendapatkan kasih sayang yang besar di manapun dia berada. Di Wicked, di labirin, di Scorch, dan bahkan di sini saat dirinya sudah tak ada." Teresa menjeda ucapannya sejenak. "Aku...aku merasa iri padanya yang selalu mendapatkan kasih sayang sebesar itu."

Dengan emosi yang masih dapat ditahan, Minho mencoba bertanya, "Bukankah kau mendapatkan kasih sayang penuh dari Cassy? Kau jelas tahu kalau dia bukanlah seseorang yang bisa memberikan kasih sayangnya secara penuh pada sembarang orang."

Teresa mengangguk membenarkan ucapan tersebut. "Tetapi, aku ingin mendapatkan kasih sayang lebih besar dari yang dia dapatkan."

Ada yang putus, tapi bukan tali. Amarah yang begitu besar mulai memenuhi Minho saat mendengar omongan tak masuk akal dari gadis di hadapannya. Pria itu berjalan mendekati Teresa dan langsung menampar pipi gadis di hadapannya dengan sangat keras. Sebenarnya dia memiliki prinsip tak mau memukul seorang perempuan, tapi yang kali ini berada di luar batas kesabarannya.

"Bagaimana bisa kamu memiliki perasaan menjijikkan seperti itu pada Cassy?!" bentak Minho.

"Apakah aku salah? Perasaan itu datang tanpa aku minta!" balas Teresa.

Beberapa orang yang kebetulan sedang lewat segera menghampiri dan menengahi pertengkaran keduanya.

"Hei, apa yang sedang terjadi? Kenapa kalian bertengkar?"

Thomas, Newt, dan Brenda mencoba menahan dan menjauhkan kedua orang itu.

"Tak bisakah kau menahan perasaan menjijikan itu?!" Minho memijat pelipisnya yang terasa sangat sakit. "Aku benar-benar merasa kasihan pada Cassy karena telah memberikan kasih sayang pada orang yang salah."

"Apa? Perasaan apa?" tanya Brenda tak mengerti.

"Gadis itu merasa iri dengan Cassy yang mendapatkan kasih sayang dari siapapun dan di manapun Cassy berada," adu Minho.

Thomas, Newt, dan Brenda menatap tak percaya ke arah gadis itu. Betapa terkejutnya mereka saat mengetahui ada seseorang yang mempunyai perasaan tercela seperti itu.

"Aku bahkan lebih pantas mendapatkan kasih sayang daripada dia! Berkat aku, kita bisa menemukan obatnya dan bisa menyelamatkan Newt. Sadarlah akan hal itu! Aku lebih berguna darinya," ucap Teresa.

"Cukup!" marah Thomas.

"Seberguna apapun dirimu, tetap saja kau pernah mengkhianati kami!" tegas Newt.

"Aku terpaksa melakukannya. Tidakkah kalian mengerti kalau aku melakukannya demi dunia? Demi masa depan yang damai tanpa cranks," balas Teresa.

"Tetapi, kau menghancurkan masa depan seseorang!" hardik Brenda.

"Lagi pula yang kau lakukan sekarang sia-sia karena obatnya telah pergi untuk selamanya," sambar Gally yang baru saja tiba.

"Jadi, berhentilah merasa sebagai seorang pahlawan, Teresa!" timpal Brenda.

"Lebih baik kau pergi dari sini sebelum aku melakukan sesuatu yang lebih jauh," usir Minho.

"Min—"

"Aku bilang pergi!" bentaknya.

Flashback Off

Semuanya sempat mendiami Teresa selama beberapa minggu. Gadis itu yang menyadari kesalahannya pun meminta maaf untuk kesekian kalinya pada mereka semua. Yang lain memutuskan untuk memaafkannya, tapi tidak dengan seseorang yang tak akan pernah bisa memaafkannya sama sekali.

Memang sulit untuk tidak berhubungan sama sekali dengannya mengingat mereka tinggal di satu wilayah yang sama. Namun sebisa mungkin, dirinya tak berhubungan dengan gadis itu. Dia hanya akan berbicara padanya saat benar-benar penting saja.

Seperti saat ini di mana Teresa memanggil Minho karena seseorang meminta pria itu untuk menemuinya di markas. Minho yang telah mendapatkan informasi langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak.

"Kau memanggilku, Vince?" tanya Minho yang sudah berada di markas.

Pria itu menganggukkan kepalanya. "Ke marilah, Minho."

Di dalam markas ternyata sudah berisi beberapa orang seperti Thomas, Newt, dan Gally. Hal tersebut sukses membuat Minho semakin penasaran.

"Apakah ada suatu hal buruk yang terjadi?" tanyanya.

"Tidak terlalu buruk, tapi memang ada yang terjadi." Pria berambut panjang itu menjeda ucapannya sejenak. "Safe Heaven kehabisan bahan makanan yang artinya kita harus pergi keluar untuk mencari sesuatu."

"Kau gila?! Bagaimana kalau kita bertemu cranks di sana?" tanya Newt.

"Kita tak akan pergi terlalu jauh. Lagi pula persediaan senjata kita banyak. Jadi, tak perlu khawatirkan hal itu," jelas Vince.

"Apakah persediaan makanan kita benar-benar sudah habis?" tanya Minho.

Vince menganggukkan kepalanya. "Kita sudah berada di tempat ini selama tujuh tahun tanpa keluar. Jadi, hal yang wajar kalau masalah seperti ini terjadi."

"Baiklah. Aku ikut saja," sahut Minho.

"Kau tak takut mati, Minho?" ledek Gally.

"Tidak. Lagi pula alasanku hidup sudah lama tak ada. Aku bertahan hanya karena kalian yang memaksa." Pria itu melenggang pergi saat dirasa perundingannya telah selesai.

"Seharusnya kau tak bercanda dengannya, Gally," tegur Thomas.

"Aku tak tahu dia masih sensitif," jawabnya.

"Kematian gadis itu benar-benar memberikan guncangan besar baginya," tutur Vince.

"Tentu saja. Bagaimana pun Cassy adalah cinta matinya," balas Thomas.

"Dan kekasihmu selalu memancing emosinya dengan hal itu," timpal Gally.

Thomas memutar bola matanya jengah mendengar hal tersebut. "Teresa bukan kekasihku."

"Benarkah? Jadi, kekhawatiranmu padanya saat itu hanyalah kebohongan?" tanya Gally.

Thomas yang tak tahu harus menjawab apa langsung pergi dari sana tanpa berpamitan.

The Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang