(S3) Chapter 47

76 15 20
                                    

Minho, Thomas, dan Newt yang akhirnya sampai bergegas keluar dari pesawat. Betapa terkejutnya mereka saat melihat bangunan megah yang dikunjunginya beberapa bulan lalu telah berubah menjadi tumpukan bongkahan.

"Itu batu besarnya!" ucap Newt.

Ketiganya berlari ke arah batu besar itu dan mendorongnya bersama-sama hingga terlihatlah sebuah pintu yang menuju ruang bawah tanah. Mereka masuk ke sana dan mulai melakukan penelusuran.

"Ini aneh. Untuk apa ruangan ini dibuat jika pintu keluarnya saja seperti tadi," celetuk Newt.

"Sepertinya mereka punya pintu keluar lainnya," jawab Thomas.

"Benar. Tidak mungkin mereka hanya membuat satu pintu keluar yang tak masuk akal itu," timpal Minho.

Di ujung ruang bawah tanah itu, terlihat siluet seseorang yang tergelatak di bawah. Ketiganya semakin mempercepat langkahnya untuk mendekati siluet tersebut.

"Cassy?!"

Terkejut. Hanya satu kata itulah yang mewakili perasaan ketiganya. Kondisi gadis di hadapannya sangat membuat mereka terkejut sampai tak bisa berkata-kata. Tubuh yang kotor, pakaian sobek, luka di mana-mana, dan pergelangan kaki yang terus mengeluarkan darah segar.

Tanpa banyak bicara, ketiganya langsung membawa sang gadis ke rumah sakit terbesar mengingat luka yang dimilikinya adalah luka besar. Beruntung mereka mengendarai pesawat hingga bisa sampai di rumah sakit dalam waktu singkat.

"Nona Cassy?!" Sang perawat yang melihat pasien darurat itu sangat terkejut. "Mengapa Nona Cassy terluka parah seperti ini?"

"Astaga, tadi Tuan Eric yang dibawa ke sini dengan kondisi yang parah. Sekarang adiknya juga menyusul dengan kondisi yang lebih parah lagi." Dokter segera memasang alat-alat medis ke tubuh Cassy.

"Tuan, tolong keluarlah karena dokter akan mulai menanganinya," ucap perawat itu.

Ketiganya keluar dengan patuh dan menunggu.

Setelah berjam-jam lamanya, akhirnya dokter dan perawat keluar dari ruangan. Ketiga pria yang dari tadi menunggu dengan resah langsung menghampiri dan menghujaninya banyak pertanyaan.

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menanganinya, tapi luka yang cukup parah itu membuatnya kehilangan banyak darah dan juga asap yang terhirup olehnya tidaklah sedikit. Hal tersebut membuat Nona tak bisa segera bangun. Jadi...yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah menunggu," jelas sang dokter.

"Apakah tidak ada perkiraan kapan dia akan bangun?" tanya Minho.

Dengan raut wajah kecewa, dokter itu menjawab, "Maaf, Tuan. Saya tak bisa memperkirakan hal tersebut. Saya permisi."

Minho terduduk lemas ketika mendengar jawaban dari sang dokter.

Pertanyaan-pertanyaan mulai terputar di otaknya. Mengapa gadisnya itu selalu berada di situasi berbahaya? Mengapa dia selalu saja terluka parah? Mengapa bahaya tak pernah berhenti mendekati gadisnya? Namun di balik semua itu, ada satu hal yang patut disyukuri. Setidaknya kali ini gadisnya tak pergi jauh darinya.

Sejak hari itu, orang-orang mulai secara sukarela bergantian untuk menjaga Cassy. Bahkan Eric yang sudah sembuh pun ikut berjaga.

2 minggu kemudian...

Brenda yang kebetulan bertugas menjaga Cassy tengah sibuk mengupas sebuah buat untuk dirinya makan sambil berbincang-bincang. Walaupun ceritanya tak pernah direspon oleh lawan bicaranya, tapi dia tak mempermasalahkannya dan tetap berbicara. Dia yakin kalau Cassy tetap bisa mendengar ceritanya dari alam bawah sadarnya.

"Di mana ini?"

Pertanyaan yang terdengar begitu lemahnya mampu membuat Brenda berhenti bicara. Dia langsung mengalihkan pandangannya untuk melihat asal suara tersebut.

"Cassy?!"

Brenda segera meletakkan pisau dan buah di tangannya ke atas meja dan membantu gadis itu untuk bangun.

"Brenda? Kenapa kamu menangis?" tanya Cassy.

"Aku senang karena akhirnya kamu bangun." Brenda bangkit dari kursinya dengan senyum sumringah. "Tunggu sebentar ya. Aku akan memanggil dokter."

Cassy menganggukkan kepalanya dan menunggu dalam diam.

Apa yang telah terjadi sampai aku ada di rumah sakit? Tanyanya dalam hati.

Gadis itu mencoba mengingat-ingat, tapi malah rasa sakit di kepalanya yang muncul. Alhasil dia memilih untuk berhenti mengingatnya dan tetap diam. Namun, buah yang terlihat lezat di meja dekat tempat tidurnya membuat dirinya ingin memakannya.

"Aku ingat buah itu punya Brenda, tapi sepertinya tidak masalah kalau aku memakannya."

Cassy mencoba menggerakkan kakinya agar dirinya bisa lebih dekat dengan meja tersebut, tapi anehnya kaki itu tak bergerak sama sekali. Dia mencoba menggerakkannya lagi dengan tenaga yang lebih besar, tapi hasilnya masih sama.

"Kenapa kakiku tak bisa digerakkan?" Gadis itu mencoba memukul kakinya dengan keras. "Bahkan aku tak bisa merasakannya."

Pikiran negatif mulai memenuhi otaknya. Dengan tangan yang masih mengepal kuat, dia mencoba memukulnya berkali-kali dengan harapan rasa sakit terasa di kakinya.

"Cassy?!" Seseorang yang baru saja tiba langsung berlari dan menahan tangan gadis itu. "Hei, apa yang kau lakukan?"

"Brenda, aku tak bisa menggerakkan kakiku. Bahkan aku juga tak bisa merasakannya," adu Cassy.

"Dokter, tolong diperiksa," pinta Brenda.

Sang dokter segera memeriksanya dan melakukan beberapa hal.

"Bagaimana, Dokter? Kakiku baik-baik saja, kan?" tanya Cassy tak sabar.

"Maaf, Nona. Anda mengalami kelumpuhan karena kaki Anda sempat kehilangan banyak darah dalam beberapa waktu," jawab sang dokter.

"Dokter bercanda, kan? Tak mungkin kakiku lumpuh!" Cassy terus berteriak sambil menarik jas putih dokter itu. "Aku tidak akan marah. Jadi, katakanlah kalau Dokter berbohong."

"Maaf, Nona, tapi saya tidak berbohong sama sekali," jawabnya.

Minho, Thomas, Newt, Eric, dan Rose yang baru saja tiba segera menjauhkan keduanya.

"Apa yang terjadi? Kenapa Cassy mengamuk?" tanya Newt.

"Kakinya...lumpuh," jawab Brenda.

"Tidak! Aku tidak mungkin lumpuh!" racau Cassy.

Melihat adiknya yang semakin tak terkendali membuat Eric memegang wajah gadis itu agar fokus ke arahnya. "Cassy, tenanglah!"

"Aku lumpuh, Eric! Kau pikir aku bisa tenang setelah mendengar hal itu?!" bentaknya.

"Dokter, apakah kelumpuhannya bersifat permanen?" tanya Rose.

Dengan berat hati, sang dokter menganggukkan kepalanya.

"Tidak mungkin..." Rose menutup mulutnya tak percaya. Betapa malang nasib nonanya itu. Dulu kehilangan ingatannya dan sekarang kehilangan fungsi kakinya.

"Cassy, tenanglah! Kau akan menyakiti dirimu sendiri!" ucap Minho dengan nada tinggi.

"Minho, kamu...kamu menggunakan nada tinggi padaku?" Cassy terdiam sambil menatap ke arah pria itu. "Kamu tak pernah membentakku sebelumnya, tapi sekarang..."

"Maaf, Sayang. Aku benar-benar tak sengaja. Aku tak bermaksud membentakmu," sesal Minho.

"Kalian semua pergi dari sini," usir Cassy.

"Tapi—"

"Aku bilang pergi!" teriak Cassy.

Melihat pasiennya yang kembali mengamuk membuat sang dokter segera menyuntikkan obat penenang padanya. Perlahan mata Cassy mulai menutup dan tubuhnya terjatuh begitu saja ke tempat tidur.

"Saya mohon untuk tidak memancing emosi pasien karena hal tersebut tak baik untuk pemulihannya," ujar dokter.

"Apakah benar-benar tak ada cara untuk menyembuhkan kelumpuhannya?" tanya Newt.

"Tidak ada," jawab dokter itu.

The Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang