Setelah hari itu, Yechan jadi sering menyendiri, melamun, dan tak ingin diganggu sama sekali.
Ia juga jadi jarang datang ke restorannya.
Tentu Yechan masih merasa bingung. Ada apa dengan dirinya? Apakah ada yang salah dengan matanya? Hatinya?
Yechan bahkan masih berpikir bahwa Sebin hanya mengerjainya.
Masih terbersit satu pemikiran bahwa Jae sebenarnya nyata. Buktinya, Hwichan berkata agar mereka datang malam hari saja karena Jae tak ada saat siang. Mungkin saja kan jika Jae sedang bekerja?
Tak tahan lagi berdiam lama di rumahnya dengan segudang tanda tanya, hari itu Yechan memutuskan untuk kembali keluar setelah satu minggu lamanya.
Ia mandi, merapikan penampilan lusuhnya, dan siap untuk ke restoran. Tapi, sebelum itu ia dengan mobilnya pergi ke rumah Jae, yang tentu hanya ada Hwichan saja yang menemuinya.
"Ngomong-omong, Jae pulang jam berapa biasanya?" Niatnya Yechan ingin ke sini lagi nanti.
Hwichan hanya berkata hal yang pernah Yechan dengar sebelumnya, tak ada kejelasan waktu, dan hanya malam hari sebagai penandanya.
Yechan berterima kasih, tak bertanya apapun lagi, dan pada akhirnya pamit pergi.
"Yechan! Ke mana aja?! Kenapa di telepon ga pernah diangkat, sih? Di chat juga ga dibalas. Ngambek, ya?"
Sudah pasti, teriakan Sebin adalah yang menyambutnya pertama kali.
Yechan tersenyum dan hanya menepuk bahu pria yang lebih tua darinya itu sebelum pergi ke ruangannya sendiri. Tak lama, Yechan keluar lagi, duduk di balik meja kasir, dan bersikap seolah tak pernah ada yang terjadi.
Soal apa yang ia alami, Yechan memang hanya bercerita pada Sebin. Karyawannya mungkin hanya tahu jika ia tengah sibuk saja.
Yechan juga tak banyak berubah sikapnya, masih menjadi bos yang menyenangkan, juga masih menjadi pria yang menawan seperti sebelumnya. Daya pikatnya masih mampu menarik banyak pelanggan untuk mampir ke restoran.
Namun, meski banyak yang menaruh atensi, tatapan Yechan terus terarah ke satu sisi. Meja yang sering Jae duduki, kini kosong tak terisi.
"Hyung, tolong bikinin kopi, ya."
Tak banyak bertanya, Sebin segera membuatkannya. Yechan pun melepas apron yang tadi ia pakai dan berjalan menuju meja yang menarik hatinya sedari tadi.
Duduk di sana membuatnya melihat jalanan lebih jelas. Sebenarnya ini spot yang paling menarik, anehnya jarang yang memilih tempat ini. Hanya saat restoran sedang ramai saja meja ini terisi.
Kopi yang sudah siap pun Sebin antarkan, Yechan berterima kasih sebelum menyesapnya pelan.
Tak banyak yang ia lakukan, hanya menikmati pergantian dari senja ke malam. Menunggu waktu untuk bertemu, sampai ia ketiduran.
"Yechan?"
Yechan yang mendengar namanya disebut perlahan membuka mata. Suara familiar ini langsung membuatnya terjaga tanpa usaha. Yechan mendongak, namun sosok yang kini tersenyum itu seketika membuatnya terbelalak.
"J-Jae?"
"Kamu ga pernah dateng ke sini lagi, ya? Seminggu ini aku nunggu, tapi kayanya kamu lagi ngehindarin aku."
Yechan mengusap wajahnya, menegakkan punggungnya, dan menggeleng mencoba menjelaskan. Walaupun tentu tanggapan Jaehan tak banyak, hanya berkata maaf jika ada salah. Membuat Yechan semakin merasa tak enak.
Jika begini, Yechan hampir menyadari kalau Jae sungguhan ada dan bukan hanya di dalam kepalanya saja.
"Uhm, mau jalan-jalan? Kayanya banyak yang pengen kamu tanyain ke aku."
Yechan mengangguk, hanya saja ia takut juga. Bukan takut karena Jae itu hantu atau apa, tapi ia takut menyinggung pemuda yang eksistensinya sudah begitu membelenggu.
Karena begitu banyak yang ingin ia tanyakan.
Bagaimana Jae bisa tahu namanya?
Bagaimana Jae yang begitu mudah menarik perhatiannya?
Bagaimana Jae tak terlihat oleh siapapun selain dirinya?
Bagaimana Jae bisa berakhir di restoran malam itu hingga membuat mereka memiliki ikatan yang bahkan tak bisa dijelaskan?
Bagaimana ...
Terlalu banyak pertanyaan dalam kepalanya dan itu justru membuat Yechan berada dalam kebimbangan.
Jae tak akan pergi jika semua itu ia tanyakan, 'kan?
Itu adalah ketakutan terbesar Yechan. Padahal dirinya yang menghilang seminggu ini, tapi dia juga yang merasa rindu pada pemuda itu sampai seperti ini.
"Jae, kenapa nyariin aku?"
Walau pada akhirnya, hanya pertanyaan ini yang mampu terlontar dari bibirnya yang mendadak kelu.
