**
Yechan itu bisa dibilang jarang pulang. Pulang ke rumah orang tuanya -maksudnya.
Sejak ia memutuskan untuk mandiri, ia hanya akan datang jika ada acara yang melibatkan keluarga besar saja.
Orang tuanya juga tak keberatan.
Akan tetapi, hari ini ia dengan perasaan yang campur aduk langsung turun setelah memarkirkan mobilnya di halaman.
Tak peduli dengan sapaan para pelayan, Yechan menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya.
Orang tuanya tak terlihat di manapun, dan Yechan berasumsi jika mereka semua tengah pergi.
Entah kemana, ia juga tak mau memikirkan itu. Ada hal yang menurutnya jauh lebih penting.
Memori.
Mengacak-acak kamar, Yechan tak menemukan satupun petunjuk mengenai ia dan Jaehan yang pernah menjalin hubungan.
Tidak satu pun.
Yechan berdiri, menendang meja, dan bertolak pinggang saking putus asanya.
Namun, beberapa saat lamanya ia terdiam, mencoba menenangkan diri sembari mengingat kiranya dimana orang tuanya menyimpan barang-barang lama.
Manik karamelnya bergulir, sesekali ia mengatupkan kelopaknya saat pusing mendera. Lalu, setelah hampir lima menit menerka, Yechan memutuskan untuk berlari ke arah gudang belakang.
Bagian yang jelas jarang -hampir tak pernah Yechan datangi setiap kali ia pulang.
Mungkin ada di sana. Walaupun hanya satu lembar foto,Yechan berharap itu masih ada.
Tahun itu mereka masih menggunakan kamera yang lumayan jadul. Tapi, Yechan rasa itu cukup. Tidak mungkin kan jika mereka tidak pernah mengambil gambar diri mereka bersama?
Kembali, ia mengacak-acak.
Satu jam, dua jam ... dan ia mulai kelelahan. Semakin pusing walaupun hangat di sekelilingnya membuatnya nyaman.
Ia tahu, ia merasakannya -walau tak mampu melihatnya. Jaehan di sana, mengamatinya, mungkin juga menunggunya mengingat segala yang pernah terjadi diantara mereka, meski tak semua, minimal satu hal kecil saja.
Kembali Yechan mencari, tak peduli kotor, tak peduli debu, dan tak peduli jika peluh mulai membanjiri dahi, ia terus membongkar semua kardus-kardus yang sudah ditumpuk tinggi.
Yechan hanya tak bisa menyerah hingga menemukan apa yang cari.
Yang tentu saja, usaha tak pernah ada yang sia-sia. Ya, di tumpukan kardus terakhir, sebuah album foto, sebuah saksi bisu yang akhirnya membuat Yechan mengingat kembali kenangan masa lalu. Siang itu, dengan satu lembar foto di tangan, Yechan menangis tersedu-sedu.
Tak ada nama yang ia sebut kecuali satu, "Jaehan ..."