Jae tersenyum, "Karena aku kangen sama kamu."
Kangen?
Yechan bahkan lebih tak mempercayai jawaban ini.
Lalu, senyum itu berubah menjadi kekehan kecil. "Aku denger dari Hwichan, katanya tadi pagi kamu ke rumah lagi buat nyariin aku. Pasti banyak banget yang pengen kamu tanyain, 'kan?"
Saat itu juga entah mengapa, Yechan langsung menoleh ke arah kasir, ingin memberitahu Sebin bahwa Jae ada di sini. Namun, saat itu bukannya Sebin, justru kosong lah yang ia dapati.
Tak hanya meja kasir, tapi juga seluruh ruangan di restorannya. Cahaya yang tadi menyapa dari lampu jalan juga dari dalam restoran mendadak temaram. Redup menggantikan.
Yechan tak bisa mencegah, tubuhnya mendadak gemetar, namun saat menoleh Jae masih sama. Tersenyum manis seperti yang selalu ia puja.
"J-Jae?"
Jae mengangguk, sekali lagi ia bertanya, "Kamu ... mau ikut aku jalan-jalan?"
Yechan menatap uluran tangan. Bimbang jelas mendera, tapi dalam hatinya berkata ia harus menerima. Agar ia tahu, ia yakin Jae akan memberi tahu.
Semua kebingungan yang ia alami ini, Jae akan memberinya jawaban pasti.
"Shin Yechan ..."
Yechan terhenyak atas panggilan tak biasa yang Jae layangkan, dan meski rasa ragu masih menggelayuti hati, ia berusaha untuk berani.
"Jae, sebenarnya kamu itu manusia atau bukan? Atau kamu itu sebenarnya cuma ada di kepalaku aja?"
Masih dengan tangan bertautan, mereka yang sudah keluar dari restoran berjalan beriringan.
Ini adalah pertanyaan pertama Yechan -Jae mengatakan jika Yechan boleh mengajukan pertanyaan apapun selama perjalanan.
Jawaban Jae tak mengejutkan karena sesuai tebakan, namun raut yang Yechan tunjukkan cukup untuk menghilangkan senyuman.
"Maaf, ya. Aku ga maksud buat bohongin kamu, tapi aku cuma ga mau kamu takut sama aku."
"K-kalau gitu, alasan kamu nemuin aku apa? Juga ... gimana kamu bisa tau nama aku?"
Jae mengeratkan genggaman, tak mengijinkan Yechan untuk melepaskan tautan.
"Udah jelas, 'kan? Itu karena aku suka sama kamu ...."
