"Mm, ada yang mau kamu tanyain lagi ga ke aku?"
Perihal harapan yang tadi Yechan sebutkan, Jae tak menjawab, malah mengalihkan pembicaraan. Mereka kembali mengarungi waktu, ke saat di mana Jae memutuskan untuk menjadi berani mendekati Yechan hingga saat ini.
Ya, malam itu. Saat Yechan sendirian di dalam restoran dan ternyata Yechan memiliki aura yang begitu hangat dan menyenangkan. Tanpa Jae pungkiri pria ini juga memberikan rasa aman selain kenyamanan dan kebaikan yang memang Yechan suguhkan.
Mereka bahkan baru mengenal, tapi Yechan tanpa sungkan memberikan keramahan. Orang seperti ini sangat jarang ditemukan bukan?
"Kalau bukan kamu, kayanya aku juga ga bakal kaya gitu." Kata Yechan tadi. Jae tersipu, sedikit malu. Nyatanya, hatinya merasa senang bukan kepalang.
"Ya, masih ada yang mau aku tanyain ke kamu, Jae."
"Apa?" Jae bertanya dengan penuh rasa penasaran.
"Karena kamu udah ngasih tau aku siapa kamu, ga akan terjadi sesuatu sama hubungan kita, 'kan?"
Bahkan meski itu hanya sebuah pertemanan semata.
Jae terdiam. Cukup lama sampai Jae berkata, "Jujur aja aku juga ga tau. Tapi, aku harap kamu ga lupa sama kehidupan nyata hanya karena temenan sama aku. Anggep aja aku sebagai pelarian dari hidup kamu yang mungkin kesepian. Kalau mau ketemu, kamu tinggal manggil aku. Kita ... pasti bakal ketemu."
Karena Jae masih cukup tau diri. Siapa dia, dan siapa Yechan. Ia paham sekali tentang hal ini.
"Jae ..."
Jae tersenyum, lalu menutup mata Yechan dengan kedua tangan halusnya, "Sekarang ... kamu bangun, ya. Maaf karena udah nyita waktu kamu cukup lama."
Yechan kebingungan, ia tak mengerti apa maksud Jae pada awalnya. Namun, saat Yechan tak lagi merasakan halusnya tangan Jae, ia pun membuka mata, dan mendapati dirinya sudah terbaring di rumah sakit dengan sang ibu yang tertidur di sisinya.