Sinar matahari menyengat mata Yechan. Ia mengerjap pelan, kembali selimut ia eratkan. Namun, ada sesuatu yang hilang dalam pelukan.
"Jaehan?!"
Yechan yang tadinya masih enggan, kini membuka matanya begitu lebar. Menyibak selimut, tak ia dapati kecuali dirinya sendiri. Juga ... sebuah kertas kecil yang tergeletak di atas meja.
Tulisan kecil itu rapi, indah, mampu Yechan baca dengan mudah.
Tak banyak, hanya beberapa baris kalimat, namun itu cukup menyayat.
Yechan, makasih ya ...
Kamu tahu kan aku cinta banget sama kamu?
Bahagia terus, ya. Inget, jangan lupain aku lagi, atau aku bakal sedih lagi nanti.
Ia bahkan belum berpakaian, berharap pagi ini masih memeluk kehangatan. Namun, bukannya disapa senyuman, Yechan justru harus menangis sendirian.
"Jaehan, kamu pergi gitu aja? Kamu cuma ninggalin ini buat aku? Jae?! Jaehan!!!"
Isakannya cukup memilukan. Yechan menyembunyikan wajah dan masih terus menangis berharap Jaehan akan kembali ke pelukan.
Panggilan lirih dari bibir keringnya berharap bisa meluluhkan.
Bahkan jika itu hanya karena kasihan, Yechan akan meletakkan harapan.
Akan tetapi, apa yang ia harapkan?
Setelah semua hal yang sudah mereka berdua lalui, ia masih berharap Jaehan tetap di sini.
Pagi itu sungguh awal hari yang begitu kelabu. Seakan menghilang, dan sekali lagi ... tak ada warna di hidup Yechan untuk kedua kali.
Ia hidup, namun rasanya sudah mati.
Ia ingin mati, tapi selalu urung saat mengingat janji yang harus ia tepati.
Jaehan ... apa kamu ga kangen sama aku?
Karena rasa rindu yang Yechan rasa sungguh membelenggu. Sesak napasnya, hangat matanya, sedih hatinya ...
Tapi, apa Jaehan masih bisa merasakannya?
Jika iya, kenapa tidak kembali saja?