Jaehan bertanya penasaran karena melihat Yechan yang sudah merapikan penampilan.
Jeans abu-abu dengan kemeja berwarna biru. Memanjakan mata Jaehan sudah tentu. Hantu itu bahkan terus menatapnya tanpa ragu.
"Iya. Kamu mau ikut?"
Jaehan mengangguk. Walau tak bisa menemani Yechan seharian, tapi pagi ini ia bisa menemani pria itu sampai ke restoran.
Yechan yang sudah selesai dengan rambutnya pun duduk di sebelah Jaehan. Ingin mengungkapkan perasaan juga keinginan agar Jaehan mau menerimanya sebagai pasangan.
Perasaan mereka sama, 'kan? Jadi, tak ada lagi yang perlu diragukan.
Ia ... tidak terburu-buru, 'kan?
"Tapi, menciptakan ikatan bakal numbuhin harapan. Kamu paham kan kalau kita itu ga mungkin sama-sama terus?" Jaehan tahu jika suatu hari nanti, saat ia sudah menemukan tujuannya di sini, ia pasti akan pergi.
Sayangnya, Yechan lebih keras kepala dibanding dirinya. Siapa peduli jika mereka berbeda? Yang penting hati mereka memiliki satu rasa yang sama.
Mereka juga mungkin tak bisa terus bersama, tapi masa yang belum pasti itu biarlah mereka pikirkan nanti.
Tak ada yang tahu hari esok akan bagaimana, jadi kenapa tidak melakukan yang terbaik saja?
"Kamu ga mungkin terus sama aku. Kamu pasti bakal nikah juga suatu hari nanti. Aku yakin kamu bakal lupain aku kalau udah punya istri. Lalu, saat itu ... gimana sama aku?" Sengaja Jaehan tak mengungkit tentang dirinya yang mungkin akan sirna. Lagipula, persoalan ini juga sama mengganggunya. Kata Hwichan padanya, Yechan sudah mempunyai garis takdirnya, dan Jaehan tak ada di dalam masa depannya.
"Jae ..."
Jaehan mendesah, ia hanya tak ingin sakit sendiri nantinya.
Sementara Yechan yang melihat kebimbangan di wajah Jaehan pun ikut berat hatinya.
"Seharusnya kamu ga pernah nemuin aku kalau pemikiran kamu kaya gitu, Jae."
Bukan mau Yechan yang pada akhirnya ia terjatuh dalam perasaan yang semakin dalam pada pria ini.
Seandainya Jaehan tak memutuskan untuk masuk ke dalam restoran dan menunjukkan dirinya, Yechan mungkin tak akan pernah mengenalnya. Yechan tak mungkin tahu apa dan siapa itu Jaehan.
Begitupun perasaannya, jika tak tahu, rasa itu pun tak mungkin membelenggu.
Bukannya menyalahkan, tapi Yechan berharap Jaehan mengenyahkan segala keraguan. Resiko biarlah ditanggung Yechan sendiri. Urusan nanti, tak perlu mereka takuti.
"Kamu kenal sama aku, 'kan? Jadi, kamu pasti juga tau kalau aku ga mungkin ninggalin kamu padahal jelas kalau sekarang yang ada dipikiran aku tuh cuma kamu."
Jaehan mendongak. Manik jati yang terbingkai sempurna itu mengerjap, menatap Yechan tak percaya.
Namun tak lama, Jaehan kembali menunduk dan bergumam, berkata maaf yang Yechan sendiri tak mampu menangkap apa maksudnya. Maaf kenapa? Bukan salah Jaehan jika mereka saling suka pada akhirnya.
"Jae ..."
Sial sekali karena saat ini bibir Jaehan lah yang paling mengusik Yechan.
Ia merasa menjadi laki-laki paling brengsek yang pernah ada karena memikirkan bagaimana rasanya.
Namun, ia tak lantas mencuri ciuman tanpa izin pemlliknya. Yechan mengulurkan tangan, mengangkat dagu Jaehan dan memiringkan kepala sebelum memanggil nama Jaehan dengan pelan, "Jae-"
Jaehan yakin jika dirinya ini sudah mati. Jantungnya tak mungkin bisa lagi beroperasi. Akan tetapi, Jaehan bisa merasakan cepatnya detakan di jantungnya saat Yechan membisikinya.
"Yechan ..."
"Kalau ga boleh, bilang aja. Aku beneran ga apa-apa." Walau pasti agak kecewa. Yechan hanya ingin menunjukkan kasihnya.
"B-boleh kok. Tapi, jangan diledek ya kalau aku ga bisa."
Mendengar syaratnya, Yechan sempat terkekeh sebelum mengangguk dan berjanji akan menepati.
Merasa sudah diijinkan, Yechan pun mendekat.
Karena tahu Jaehan masih ragu, ia pun mengerti dan hanya memberi kecupan ringan di dahi.
Kembali, rona merah muda Yechan dapati saat ia sudah menjauhkan diri.
"Makasih, ya ..."
Jaehan mengangguk. Namun, ia berkata pada Yechan dengan sedikit merengut.
"Jangan terlalu banyak skinship sama aku."
"Kenapa?"
Jaehan mendesah, lalu berkata, "Aku ga mau kamu kenapa-kenapa."
Lagipula, bukankah Jaehan sudah pernah berkata, mereka sering bertemu saja sudah salah, apalagi sampai bersentuhan sedikit intim begini. Bukan lagi hanya tangan, namun hal yang mampu membuat keduanya berdebar.
Jaehan tahu itu tidak baik, entah untuk dirinya atau pun Yechan. Mereka harus bisa menahan.
Namun, bukannya takut, Yechan justru tersenyum sembari mencubit pipi si pencuri hati. "Aku ga apa-apa kok, kamu ga usah takut ya. Tapi, makasih karena udah khawatir sama aku ..."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.