"Kenapa cuma aku yang bisa liat kamu?"
Jaehan menggeleng, "Ada yang bisa, kok ... tapi, dia diem aja. Pura-pura ga liat, atau emang ga pedulian aja orangnya, aku ga tau juga."
Yechan membolakan matanya, tertarik dengan jawaban kekasih hantunya, "Oh, ya? Siapa? Kasih tau dong. Yang bantuin aku, atau pelanggan-pelangganku?"
Tapi, Jaehan hanya mengangkat bahu, tak mau memberi tahu. Sepertinya juga orang itu tidak mau diketahui kalau memiliki bakat mampu melihat hal-hal yang tak kasat begitu.
"Kenapa, sih? Pelit banget deh sama aku." Yechan cukup penasaran dibuatnya.
"Bukannya pelit, tapi aku ga berhak. Itu privasi dan keputusannya. Takutnya dia emang ga mau semua orang tau. Banyak yang malu lho karena takut dikira gila bisa bicara sama hantu kaya aku."
Yechan pun menunjuk dirinya sendiri. "Berarti aku juga dong? Banyak yang ngira aku gila emang?"
"Lho, emang kamu tuh ga sadar, ya? Dari tadi aja karyawan di kasir itu ngeliatin ke arah kita terus. Dia mau ngadu lho sama manajer restoran. Kamu ga takut dilaporin ke Mami nanti?"
Yechan pun menoleh dan benar saja, Sebin sudah serius menatapnya. Tapi, Yechan malah balas senyum dan melambaikan tangan, meminta tambah kopinya yang sudah tandas.
"Dia kan pernah ikut aku ke rumah kamu. Jadi, dia udah tau." Ya, walaupun Yechan paham sekali jika Sebin tak akan mempercayai Jaehan itu ada dan mungkin juga berpikir bahwa Jaehan hanya sekedar fantasi gilanya saja.
Jaehan diam. Agaknya sudah paham.
"Kalau gitu, kamu tahu ga kenapa aku juga cuma bisa liat kamu?"
Ya, selama hidupnya sepertinya baru Jaehan saja hantu yang mampu dilihatnya. Karena itu juga sejak pertama, Yechan mengira bahwa pemuda di hadapannya ini adalah manusia biasa.
"Karena aku maksa."
"Maksa?"
Jaehan mengangguk. Ia memaksakan energinya yang tak seberapa ini demi bisa dilihat oleh Yechan.
"Tapi, kamu ga apa-apa, 'kan?"
Tapi, bukannya penjelasan, Jaehan hanya memberikan senyum sebagai jawaban.