"Jelasin sama Papi juga Mami. Kamu ini kenapa? Tiba-tiba kaya gitu ke temen yang jadi partner bisnis kamu. Jehyun juga kamu usir gitu aja. Dia ngadu ke Papanya dan sekarang usaha yang mau dibangun bareng sama Papi kamu jadi berantakan semua. Jelasin, Yechan ... kamu ini kenapa?"
Yechan diam dan hanya terus mendengar omelan Maminya tanpa membantah ataupun menjawab. Papinya tajam menatap -justru ini bagian paling mengerikan. Tapi, Yechan sedang dalam keadaan pikiran yang tak biasa. Kepalanya penuh dengan Jaehan, Jaehan, dan Jaehan.
Bahkan saat Maminya selesai bicara, bukannya menanggapi apa yang membuat orang tuanya kebingungan, Yechan justru menyebut satu nama, "Jaehan."
Tak ayal, orang tuanya langsung bereaksi. Terkejut sudah pasti.
Bagaimana tidak?
Mereka dulu juga mengenal Jaehan. Anak baik yang sebenarnya sudah mereka restui. Namun, siapa sangka malah terjadi tragedi. Kejadian yang akhirnya membuat anaknya depresi dan karena itu juga mereka terpaksa menghapus ingatan menyakitkan yang Yechan miliki.
Tentu agar anaknya itu lupa akan luka yang masih menjadi ganjalan di hatinya.
"Siapa tadi kamu bilang?" tanya Papinya mencoba meyakinkan dirinya. Berharap apa yang ia dengar bukanlah apa yang sesungguhnya Yechan katakan.
"Kim Jaehan. Yechan udah inget semua. Yechan juga ga akan nyalahin Papi sama Mami, tapi Yechan punya banyak hutang sama Jaehan sekarang. Kalau Yechan masih punya hubungan sama orang-orang itu, apa kata Jaehan nanti?"
Kedua orang tuanya terdiam. Cukup lama sampai helaan panjang terdengar. "Tapi, kapan kamu ingat semuanya? Kamu ga apa-apa?"
Suara yang tadi meninggi, dan tatapan yang semula tajam sekali, kini berubah lembut. Bahkan kedua orang tuanya mengubah raut. Tadi tampak keras, kini justru kekhawatiran lah yang jelas kentara di sana.
"Apanya yang ga apa-apa?! Jaehan belum tenang, dan selama ini Yechan justru enak-enakan seolah ga pernah ngelakuin kesalahan!"
Bahkan kata malu saja tak cukup untuk menggambarkan.
Yechan yang mulai menjambaki rambutnya sendiri merasakan kehangatan. Ia pun berhenti, dan mendapati di sisinya Jaehan sudah datang dengan senyuman yang selalu ia nantikan.
Tangannya yang digenggam membuat Yechan memandangi tangan berjemari lentik itu penuh kepiluan.
Segera ia kembali bicara pada ibunya, "Berhenti ngejodohin Yechan lagi, Mi. Yechan ga berhak buat bahagia setelah apa yang Yechan lakuin ke Jaehan selama ini."
Yang tentu saja, keputusannya ditanggapi dengan ketidaksetujuan.
Sayangnya, untuk saat ini, itulah keputusan yang bisa Yechan berikan.
