41

157 24 5
                                    

Takut. Tentu. Itu adalah satu-satunya perasaan yang Yechan rasakan saat ini.

Ia takut kehilangan Jaehan. Akan tetapi, pikiran warasnya terus menamparnya. Bertahun-tahun Jaehan tak bisa tenang di tempatnya yang seharusnya, dan dia adalah salah satu penyebabnya. Salah satu alasannya. Jadi, apakah sekarang ia akan menahan Jaehan lebih lama dari seharusnya?

Yechan terus menunduk, sesekali memukuli kepalanya dengan keras agar ia tetap sadar. Agar ia tak kembali menggila atau dua pria di luar sana akan mengikatnya.

Kembali, tangis membanjiri sebagai ganti.

Namun, hanya sesaat sebelum hangat melingkupi. Yechan mengangkat kepalanya sebelum menoleh ke belakang dan mendapati Jaehan sudah ada di sini. Memeluknya sembari berkata, "Maafin aku, ya. Aku udah bohongin kamu selama ini."

Tidak tahu kenapa ia merasa gamang, padahal ini yang diharapkannya. Namun, bukannya senang karena Jaehan datang, Yechan justru melepas pelukan dan turun dari ranjang. Pria itu  duduk di ujung ruangan, menekuk lutut serta menunduk dalam. Bukan hal lain yang ia harap selain pengampunan. Maaf karena pernah menjadi bodoh dan tak berguna.

Di depannya Jaehan menggeleng. Bukan ini yang ingin ia lihat.

"Aku memang pernah semarah itu, tapi sekarang udah engga, Yechan ... Aku udah ga apa-apa."

Semakin lama pun Jaehan memahami, bahwa usia mereka saat itu belum matang. Yechan pun masih terlalu muda untuk mengambil keputusan yang mungkin akan berakhir merugikan.

Lagi pula, daripada Yechan, ia jauh lebih marah pada orang-orang yang sudah merundung dan melecehkannya. Membuatnya berpikir bahwa tak akan ada lagi masa depan untuk dirinya.

Semua semakin buruk, saat Yechan memutuskan hubungan. Rasanya itu adalah pukulan terbesar yang Jaehan dapatkan.

Jaehan juga tahu ia begitu mudah memaafkan karena cinta buta yang ia miliki. Tapi, ia sungguh sudah memaafkan pria yang kini tengah terisak sendiri.

"Sungguh, aku cuma marah sama mereka, bukan sama kamu ...."

Bagaimana pun juga, dulu Yechan adalah yang selalu melindunginya. Walau saat tragedi, dan saat ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri, Yechan tak ada di sisinya lagi, bahkan mungkin namanya tak lagi ada di dalam hati. Meski begitu, Jaehan sadar ... Jaehan mengerti. Yechan pantas mendapatkan yang lebih baik.

Siapa yang tidak jijik dengan orang yang sudah dikotori?

Sekarang pun rasanya Jaehan harus bersyukur karena Yechan melupakannya. Jadi, saat pertama melihat, pria itu tak lari karena masa lalu mereka berdua.

Jujur, Jaehan juga merasa sakit, namun saat ia terus mengikuti sampai akhirnya menampakkan diri. Ia menyadari bahwa Yechan masih menjadi seseorang seperti yang selalu dikenalnya dulu, Jaehan tahu itu ...

"Ga ada alasan buat aku benci kamu."

Bahkan meski ia tak suka dengan hubungan Yechan dan mantan  pacarnya, Jaehan tak bisa membenci hanya karena itu semua.

"Aku tau dendam itu bukan hal yang baik. Tapi, yang aku mau cuma liat mereka minta maaf sama aku. Aku mau mereka nyesel karena udah perlakuin aku kaya binatang waktu itu."

Yechan mendongak saat Jaehan menangkup kedua pipinya, bisa ia lihat Jaehan memandangnya dengan penuh kesedihan. Yechan tak suka melihatnya.

"Yechan ..."

"Iya. Aku bakal bikin mereka nyesel. Tapi, setelah itu kamu bisa kan janji sama aku? Janji bakal terus di sini? Janji bakal nemenin aku terus sampai nanti aku mati?"

Jaehan mengerjap, namun tak mengatakan apa-apa sebagai jawabannya. Ia tak bisa menjanjikan apa-apa.

Yechan sendiri juga tak peduli jika ia egois. Meski awalnya ia yakin harus bisa melepaskan Jaehan, nyatanya hatinya tak bisa.

Rasa takut akan kehilangan untuk yang kedua kalinya, ia tak yakin mampu menghadapinya.

Jaehan harus tetap bersamanya.


My Jae✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang