21.15
Sore hari, Yechan melihat tak biasanya restorannya sepi.
Jam segini seharusnya masih ramai. Sebelum ini, ia sering melihat karyawannya keteteran.
Makanya hari ini ia datang. Ingin membantu lebih tepatnya. Namun, ternyata hanya satu dua orang saja yang datang. Itu pun jeda lama sebelum akhirnya datang yang lainnya. Yang memesan lewat aplikasi online pun tak sebanyak biasanya.
Ada apa, ya?
"Tumben sepi ya, hyung ..." ujar Yechan pada salah satu karyawan yang sedang mengelap meja di sebelahnya.
"Iya, Bos. Kayanya orang-orang lagi pada milih buat masak di rumah daripada jajan."
Apalagi masa pandemi gini. Ya, walaupun sudah lepas dari zona merah, tetap saja masih ragu untuk sering keluar rumah.
Bahkan abang goput pun hanya satu dua saja yang datang mengantri.
"Kayanya iya. Ya udah kalau gitu Hyung pulang cepet aja. Hari ini kita tutup lebih awal."
Pikir Yechan, mungkin memang hari ini ia disuruh beristirahat.
Apalagi waktu melihat banyak dari karyawan cukup senang dengan keputusannya.
Memang ya, seenak apapun kerja, tetap saja libur dan tak kerja lembur akan menjadi hal yang paling menghibur.
Yah, tak apalah. Tak setiap hari juga begini.
**
"Bos ga apa-apa nih ditinggalin sendirian?"
Yechan mengangguk. Ia belum mau pulang, jadi walaupun restoran sudah dibersihkan, Yechan memutuskan untuk tetap tinggal.
Papan bertuliskan "open" di depan pintu pun belum dia balik. Malas.
Nanti ia meminta tolong Sebin saja.
"Ntar ketakutan lagi ditemenin setan."
Yechan tertawa atas candaan pria yang lima tahun lebih tua darinya, lalu menyuruh agar Sebin cepat pulang. Lagi pula, mana ada yang namanya setan?
"Beneran nih ga apa-apa?" tanya Sebin lagi.
"Iya, ga apa-apa. Bentar lagi juga aku pulang, hyung."
"Oh, ya udah. Kita pulang duluan ya, Bos. Makasih bonusnya hari ini." Iya, ga ada lembur tuh bagaikan bonus buat Sebin.
Seperginya Sebin, Yechan duduk di depan meja kasir, hanya duduk dan bermain game ditemani secangkir kopi yang dibuatkan oleh salah satu karyawannya tadi. Sudah mulai dingin, tapi tak apa, masih nikmat kok rasanya.
Cukup lama hening menyelimuti, Yechan tenggelam dalam permainan, tak sadar jika hari mulai malam. Suara kendaraan di jalanan depan masih ditangkap oleh indera pendengaran. Sampai Yechan mendengar lonceng pintu restoran berbunyi nyaring menyita perhatian.
Mendongak, ia tak mendapati pintunya terbuka. Bahkan loncengnya sama sekali tak bergerak di sana.
Mengangkat bahu, Yechan berusaha mengabaikan walaupun rasa dingin menjalar hingga ke tengkuknya.
Tenanglah, Shin Yechan ...
Mungkin tadi hanya perasaan. Ya, pasti hanya perasaan. Akan tetapi,
"Uhm, maaf-"
"Astaga!" Yechan melonjak kaget saat melihat ada pria yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat meja. Sejak kapan? Yechan bahkan tak melihat ada yang masuk ke restorannya.
Sementara Yechan masih menetralkan detak jantungnya, pria itu justru mengusap tengkuk, jelas merasa malu.
"Maaf, apa aku bisa melihat buku menu?"
Oh, pelanggan rupanya ...
Masih dikuasai keterkejutan, Yechan mempersilakan pria itu duduk sementara ia membawakan apa yang dipinta. Buku berisikan banyak daftar menu makanan.
Ya, sebenarnya kedainya sudah tutup, tapi Yechan tak tega untuk mengatakan.
"Jadi, mau pesan apa?"
"Hm, apa yang paling enak di sini? Rasanya bingung juga mau pesan apa ...."