Malam itu, Yechan tak tahu apakah Sebin dan sepupunya sudah pulang atau belum. Ia tak keluar bahkan tak makan malam dan hanya berbaring di ranjang dengan hantu kesayangan.
Yechan mencoba mengingat apakah kehangatan yang sama pernah ia rasakan saat Jaehan masih bernyawa. Hanya saja, itu sudah terlalu lama. Lagipula, hal-hal bahagia pun sudah tertutup oleh rasa benci pada diri sendiri.
Siapa yang menyangka jika ternyata dirinya sebrengsek dan sepengecut ini?
Bahkan Yechan dengan tak tahu malu terlalu memandang tinggi dirinya sendiri selama ini.
Yechan mengeratkan pelukan, berharap perasaan terdalamnya mampu Jaehan rasakan.
Tak ada detakan yang terdengar, tak ada desah napas yang menerpa lehernya. Cukup menyesakkan. Membuatnya ingin menangis. Lagi ...
Lagi dan lagi, perasaan menyesakkan ini datang lagi. Namun, rematan di kaosnya membuatnya tersadar, Jaehan tak ingin melihatnya terus begini.
Menyesal juga tak ada guna. Semua sudah terlambat dan sia-sia jika hanya terus menyalahkan dirinya.
"Uhm, Yechan ... aku harus pergi."
Anehnya, walau tahu Yechan enggan, namun Jaehan dapati kekasihnya ini mengangguk tanpa sedikitpun bantahan seperti yang biasa pria itu lakukan.
Yechan justru mengiyakan dan memejamkan mata dengan alasan tak mau melihat Jaehan yang pergi meninggalkan.
"Yechan?"
"Jangan lama-lama, aku masih mau kamu nepatin janji yang tadi."
Jaehan terdiam. Ia tak menjanjikan apa-apa. Yechan yang menyimpulkannya sendirian. Sejak dulu, ia tak bisa memutuskan dan tak tahu kapan akan terus di dunia yang seharusnya sudah ditinggalkannya. Ia tak mungkin juga akan di tempat ini selamanya.
Keluarganya mungkin sudah mengikhlaskannya, karena terkadang Jaehan bisa mendengar dan merasa ada yang selalu menyebut namanya, mengingat dirinya.
Tapi, lihat ... meski banyak yang berharap ia tenang, nyatanya ia masih di sini hingga saat ini. Tak pernah bisa pergi. Mungkin memang kuncinya ada pada pria ini.
Namun, karena ia juga mulai lemah, Jaehan memilih untuk pergi setelah satu kecupan lagi di dahi pria yang ia cintai.
Pria yang dulu ia pikir menyimpan benci, rupanya masih mampu mencintainya seperti ini. Sejujurnya, jika boleh dikata ... ia tak mengharap apa-apa lagi selain bisa pergi dari dunia ini.
Tidak tahu apakah ada atau tidak surga di atas sana untuk dirinya, bukankah itu lebih baik dari pada di dunia yang bukan lagi miliknya?
Begitu Jaehan pergi dan Yechan tak merasakan kehadirannya lagi, dia pun beranjak dari ranjang. Tanpa basa-basi ia pun menelpon semua yang ia ingat pernah terlibat dan menarik semua kerja sama dengan mereka. Memang tak semua, yang lain akan ia urus nanti. Yang lama tak berhubungan dengannya pun akan coba ia cari.
Mungkin tindakannya tak akan berpengaruh banyak. Namun, jika banyak yang tahu bahwa ia tak lagi mau lagi bekerja sama, setidaknya akan membuat sisanya berpikir ada apa. Mereka pasti akan datang dan bertanya ada apa.
Benar saja, satu per satu dari mereka mulai mengiriminya pesan karena ia menelpon dan mematikannya tanpa memberi kesempatan untuk menjawab. Yechan melihat, pun hanya dibalas singkat.
Yechan memang bukan yang terkaya di antara mereka semua, tapi karena nama keluarga dan usahanya yang bisa dibilang berhasil dalam waktu singkat, ia sudah mampu membangun koneksi yang lumayan menjadi pertimbangan.
Lagipula, satu dua orang dari mereka juga tak menjadi apa-apa selain beban dalam keluarganya.
Ini sudah cukup terlambat untuk meminta pertanggungjawaban hukum. Bukti pun sudah terkubur bersama jasad Jaehan.
Ia jelas tak ingin melibatkan keluarga Jaehan. Meski begitu, ia berjanji akan mengunjungi mereka. Meski ingatannya banyak yang hilang, Yechan akan berusaha keras untuk mengembalikan.
Tak lama, Hyuk menelponnya. Rupanya sepupunya itu sudah pulang setelah mengantar Sebin. Secepat kilat beritanya menyebar, karena Hyuk juga mendapat imbasnya. Banyak yang tiba-tiba menanyakan keberadaan Yechan padanya.
"Udah pikirin resikonya? Salah satu dari mereka temen deket juga temen nongkrong kamu, 'kan?"
Yechan mengiyakan. Tapi, sekarang ini itu bukanlah hal yang sungguh Yechan pedulikan.
Ia hanya ingin membayar hutang atas kebodohannya di masa lalu dan menepati semua janjinya pada Jaehan. Begitu selesai, ia akan pergi. Entah dimana, ia tak peduli. Asal Jaehan ada bersamanya, itu sudah cukup baginya.
Di sisi lain, Hyuk merasa, bukannya membaik, kondisi Yechan justru semakin mengkhawatirkan. Pemikiran gilanya sungguh tak bisa dibiarkan.
