1

49.6K 1.7K 21
                                    

*sudut pandang Nerissa

Aku melempar ponselku ke samping badan. Rasanya membosankan kala membaca komik yang memiliki alur yang dapat aku tebak. Namun, pemeran utama pria ini sangatlah tampan! Bagaimana bisa aku tidak melihat akhir dari pasangan ini??

Ya walau alurnya sangat klise dan tidak begitu memiliki konflik, daya tarik dari komik ini cukup banyak. Aku jadi membayangkan diriku memasuki komik yang aku baca dan hidup di sana. Bukankah itu hal yang sangat indah? Namun terdengar begitu mustahil.

"Nerissa! Apa kau akan mati di dalam sana! Turun dan habiskan makan siangmu!"

Ah, dia adalah Ibu tiriku. Aku segera memakai kacamataku dan bergegas menuju lantai bawah. Di ruang makan, Ayahku tengah membaca koran dengan segelas kopi di meja. Tampaknya Ayah dan Ibu tiriku sudah lebih dulu menghabiskan makan siang mereka. Memang seperti itu rutinitasnya. Mereka makan lebih dulu dan aku memakan makanan sisa mereka.

Aku duduk di hadapannya menatap sepiring nasi dan lauk seadanya yang sudah Ibu tiriku siapkan.

"Bukankah tadi anda memasak daging sapi?" Tanyaku terdengar mencibir.

Ibu tiriku menghentikan aktivitasnya di dapur. Beliau dengan terang-terangan menatapku tidak suka. "Makan saja makananmu dan kembali ke kamar! Aku tidak sudi melihat seorang pengangguran di sini!"

Aku membalasnya dengan tatapan sinis. "Padahal dia sendiri juga seorang pengangguran!" Gumamku memakan nasi yang sedikit dengan lauk sayuran yang hambar.

Di depanku, Ayah kandungku tidak begitu memedulikanku semenjak kematian Ibu. Beliau malah kembali menikah dengan jalang itu dan menyiksaku.

Dengan begitu aku balik menyiksa mereka, aku sengaja tidak mencari pekerjaan dan sering membelanjakan uang Ayah sebelum Ayah menikah. Adil untukku. Aku juga tidak berniat memperbaiki hubungan keluarga yang hambar ini. Sangat memalukan untuk umurku yang sudah dewasa.

"Tidakkah kau memiliki keinginan mencari sebuah pekerjaan daripada membaca cerita konyol di ponselmu?" Ayah akhirnya membuka suara.

"Tidak." Kataku judes memakan sendokan terakhirku. Aku membawa piring itu ke wastafel lalu mencucinya.

Di sampingku, Ibu tiriku tengah menata belanjaannya di kulkas. Kami bak orang asing yang dipaksa hidup berdampingan.

"Kau harus segera mencari pekerjaan! Kau seperti benalu di sini! Sangat mengganggu!" Keluhnya padaku.

"Keberadaan anda juga seperti benalu di hidup saya. Anda bukanlah sosok yang berharga hingga membuat saya merubah pola pikir saya!" Balasku sengit.

"Lihat! Darimana sifat kurang ajarmu itu?! Pasti dari Ibumu yang sudah mati itu kan? Kau dan dia memang pantas untuk dikubur di tanah daripada di sini!" Kesal Ibu Tiriku menghampiriku.

Tangannya menjambak rambut panjangku dengan kuat. Aku tak tinggal diam. Aku balas menjambaknya tak kalah kuat. Kami terlibat perkelahian kecil sampai Ayah datang menghampiri kami lalu memisahkan kami.

Ayah meraih sebuah piring dari lemari lalu menghantamkannya ke kepalaku hingga pecah. Kepalaku terasa berat setelahnya. Beliau menatapku dengan tatapan tajam.

Aku begitu membenci dua manusia ini tapi aku tak berniat meninggalkannya. Karena bagi mereka aku adalah musibah maka aku akan terus berada di sisi mereka dan menggerogoti mereka. Namun beberapa waktu belakangan ini mereka mulai bermain kasar terhadapku.

"Bagus! Ayah bahkan ringan tangan padaku sekarang!" Kataku meninggalkan mereka menuju lantai atas.

Aku mengunci pintu kamarku lalu menghampiri nakas yang berada di samping kamar tidur. Di sana berbagai obat-obatan aku simpan secara diam-diam.

The Way To Protect My New FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang