35

8.4K 549 0
                                    

Saat ini Ayahku tengah berbincang santai dengan Alexio. Bukan masalah untukku jika mereka berbicara tenang seperti ini, malah bagus. Tapi, kenapa mereka mengobrol di samping ranjangku? Rasanya aku sedikit tertekan.

"Perlu aku kirim tabib untuk Ayahmu?"

Aku menoleh kala mendengar Ayah berencana mengirim tabib Istana untuk Marquess terdahulu.

Bukankah itu sedikit tidak sopan? Terlebih bagi para bangsawan kesehatan mereka itu sangat rahasia. Karenanya mereka memilih dokter keluarga yang setia dan berpengalaman.

"Tidak perlu, Yang Mulia. Masalahnya saya dengar masa hidup mereka bahkan sebentar lagi." Tolak Alexio. Wajahnya tertunduk lesu di hadapanku. Lelaki itu seolah menanggung beban yang amat berat selama ini. Aku jadi penasaran, beban apa itu?

"Begitukah? Aku turut sedih. Namun jika masih bisa bertahan, aku usahakan juga." Balas Ayah menepuk bahu Alexio beberapa kali.

Aku mulai berpikir, walau kinerja Marquess terdahulu terbilang buruk, tapi beliau tetap Ayah Alexio kan? Apa lelaki itu sedih karenanya?

"Kata Ayah benar. Kita bisa membantu kok." Sahutku dari ranjang.

Alexio menyunggingkan senyuman miringnya. "Saya terharu. Yang Mulia bisa mengirim tabib saat Tuan Putri datang menyapa." Balas Alexio.

Ayah menoleh manatapku dengan wajah mengejeknya. "Kau sudah berencana untuk mengunjungi Marquess terdahulu?" Dengan wajah menjengkelkan Ayah berkata demikian.

Entah kenapa perkataannya membuat kedua pipi ku memanas. Aku segera menutup kedua sisi wajahku. "Bukankah itu bagus?!"

Ayah tergelak. "Ya, lebih cepat lebih baik." Gumamnya. Ayah lantas mengalihkan pembicaraan membahas berbagai hal dengan Alexio.

Aku bukannya tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, namun urusan politik di parlemen bukanlah keahlianku. Jika diingat lagi sepertinya aku juga harus segera memunculkan wajahku ke parlemen. Alasannya adalah janjiku membuat Elaina menjadi Countess.

"Ayah!"

Ayah dan Alexio spontan menatapku padaku. Aku mencengkram selimut yang meliliti tubuhku karena gugup. Ini pertama kali dalam sejarah Roseted, seorang putri berencana mengubah undang-undang.

"Apa saya boleh bergabung ke parlemen?"

"Untuk apa?"

Pertanyaan dingin dari dua orang di depanku segera membuatku bergidik. Mereka bahkan bertanya dengan bersamaan.

"Saya ingin keluarga Van Georgia diangkat menjadi Count."

"Van Georgia? Bukankah mereka keluarga yang baru pindah dari Ethelind?" Tanya Alexio.

Aku mengangguk dengan tenang. "Putri pertama mereka adalah orang yang akan saya jadikan ajudan. Dan apa Ayah ingat pada ladang gadum yang berada dekat dengan Amyna?"

Ayah menganggukkan kepalanya dengan pasti. "Ladang dan desa itu akan menjadi milikmu kala Frey menaiki tahta. Aku sudah berjanji akan hal itu. Kita sudah membicarakannya beberapa waktu lalu ketika sarapan bersama." Ujar Ayah terlihat sedang mengingat-ingat.

"Sebenarnya aku ingin menyerahkan ladang itu pada mereka. Aku juga ingin memberi mereka gelar Count dari pada bangsawan buangan dari Ethelind."

"Bagaimana caramu mengangkat mereka? Para mentri tidak akan menyetujui itu."

Pertanyaa Alexio cukup membuatku tertohok sejenak. Peluh membanjiri kedua pelipisku. Sedangkan wajah Alexio selalu menampilkan raut wajah datar hingga aku tidak dapat menafsirkan apa yang tengah dia pikirkan. Sementara Ayah seakan hendak menentangku.

"Jadi kau hanya asal bicara ya?" Tanya Alexio memicingkan matanya menatapku.

"Akan aku pikirkan. Kau tidak perlu memikirkan itu saat ini! Fokus saja dengan kesehatanmu!" Kata Ayah kembali menyesap teh yang dihidangkan di meja.

Setelah itu tidak ada obrolan dari kedua manusia itu yang aku pahami. Obrolan itu berlangsung cukup lama sampi Ayah meninggalkan kamarku karena akan beristirahat.

Sepeninggalan Ayah, Alexio menghampiri ranjangku dengan menyet kursi yang ada di sebelahnya. Ekspresi wajahnya tidak dapat aku baca karena terlampau datar.

Tangannya terulur membelai suraiku lembut. Aku seolah terbuai akan belaiannya. Kelembutan yang diberikan Alexio mengingatkanku pada Darion.

"Kau mengenal Darion?"

Mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba tidak lantas membuat Alexio menampilkan ekspresi terkejutnya. Lelaki itu malah menatapku penuh arti.

"Kenal, kenapa kau bertanya?"

"Ah, jadi kau beneran kenal? Dia temanmu?" Tanyaku lagi.

"Aku tidak ingin memanggilnya teman, sih."

Jawaban yang terkesan cuek dari Alexio membungkam diriku. Lelaki besar di hadapanku tampak tidak ingin menceritakan mengenai sosok Darion yang sempat aku singgung.

Aku juga tidak ingin membahasnya lagi. Obrolan ini lantas aku alihkan ke ceritaku selama di Ethelind.

Rombongan kami beristirahat selama dua hari di Exoryxi. Setelah semua perbekalan di rasa cukup, kami lantas segera kembali ke hiruk-piyuk Ibu Kota.

Seperti yang telah aku janjikan. Aku akan mengunjungi Marquess dan Marchioness terdahulu. Sebelum melakukan kunjungan itu tentu saja aku tidak ingin mengosongkan kedua tanganku.

Sepekan sebelum kunjungan itu, aku menyeret Alexio menuju beberapa toko herbal yang terkenal di Ibu Kota. Karena di jaman ini belum ada klinik besar, mayoritas rakyatnya memilih memanggil pendeta guna menyembuhkan penyakitnya alih-alih memanggil dokter.

Mereka masih beraggapan bahwa penyakit yang mereka derita adalah amarah dan hukuman dari para dewa. Maka dari itu mereka lantas pergi ke gereja atau tempat ibadah terrdekat dari rumah mereka. Toko herbal yang aku datangi ini juga sepi pembeli. Kebanyakan yang membeli obat herbal adalah para bangsawan. Selain karena harga yang mahal, para bangsawan juga sudah mulai sadar akan bahayanya penyakit tubuh dengan penjelasan ilimiah alih-alih doktrin dari gereja.

"Mereka mempunyai keluhan apa?" Tanyaku ketika kami tiba di sana. Mataku melihat jejeran ramuan yang di tata rapi di meja. Aku menunggu jawaban dari Alexio agar dapat mencocokkan keluhan yang dirasakan orang tua Alexio dengan ramuan yang ditawarkan.

Alexio menatap berbagai ramuan yang tersaji di sini. "Kau tahu, aku memiliki kenalan yang lebih jago akan hal seperti ini dibanding tabib yang kamu kenali. Jika penyakit orang tuaku dapat disembuhkan dengan obat, aku sudah melakukannya sesaat setelah mereka terbaring sakit." Bisik Alexio di dekat tubuhku.

Aku segera mejauhi tubuhnya karena kaget. Namun aku tentu memikirkan apa yang dikatakan Alexio.

Apa yang dia katakannya masuk akal juga. Penyesalan segera menggerogoti hatiku.

"Lalu apa yang sebaiknya aku berikan?"

Alexio menyunggingkan senyuman kecil. "Seperti yang dikatakan Yang Mulia Kaisar, kau hanya perlu membawa calon menantu serta tabib."

Jawaban aneh yang keluar dari mulut Alexio membuat kedua alisku berkerut. "Calon menantu?" Gumamku agak panjang.

"Tentu saja kau!"

....

The Way To Protect My New FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang