Bagian 62 - Lembar Terakhir

5 1 0
                                    

Pertempuran telah usai, tetapi rasa kehancuran masih menyelimuti medan perang. Di antara puing-puing dan kenangan yang tersisa, aku melihat buku yang selalu kubawa mulai beresonansi. Cahaya biru lembut terpancar dari dalamnya, seolah-olah menyuarakan panggilan dari alam yang lebih tinggi. Di sampingku, Agnis melihat buku yang sama di tangannya, berpendar dengan energi yang serupa.

Kedua buku itu terbang ke udara, bergabung dalam pusaran cahaya yang membentangkan sinar biru terang ke langit. Dari celah-celah langit yang terbuka, lembaran-lembaran misterius turun perlahan, berkilauan dengan cahaya. Pesan dengan sinar biru tertulis di udara yang menyentak kesadaranku:

"Seluruh teknologi ini dapat dinonaktifkan dengan menggunakan energi kehidupan dan Anchentrys Alpha."

Aku merasa seolah-olah seluruh dunia berhenti sejenak. Pikiran-pikiranku melayang kembali ke masa-masa indah dan sedih yang telah kulewati. Kehilangan Leo, kematian Shina, dan semua pengorbanan yang telah kami lakukan. Sekarang, aku menyadari bahwa hanya ada satu cara untuk mengakhiri semua ini.

"Free Zone... kita bisa menghentikan semuanya," kataku pelan, suaraku hampir tak terdengar. Aku menatap Agnis, matanya penuh dengan pemahaman yang mendalam dan kesedihan yang sama.

Dengan tekad yang diperbarui, aku mengaktifkan Free Zone, menciptakan logam cair yang mengandung Inerium. Logam cair itu tersebar dan mulai menjulangkan tiang-tiang tinggi nan besar di berbagai tempat strategis di dua negara yang sedang berkonflik. Tiang-tiang itu memancarkan gelombang listrik masif, yang mampu menolak pengaktifan Dial, Exodial, maupun Anchentrys.

Tiang-tiang itu bergetar dengan kekuatan yang luar biasa, menciptakan lapisan pelindung yang melingkupi tanah-tanah yang dulunya berlumuran darah dan air mata. Sinar biru yang memancar dari tiang-tiang itu menyelimuti seluruh wilayah, seolah-olah menghapus segala kebencian dan kekerasan yang pernah ada.

Namun, aku merasakan tubuhku melemah dengan setiap energi kehidupan yang kuhabiskan. Rasanya seperti semua kekuatan yang kumiliki perlahan-lahan tersedot keluar.

Saat aku berjuang untuk menyalurkan energi terakhirku, aku merasakan kehadiran teman-temanku di sekitarku. Mereka datang satu per satu, berusaha menghentikanku dengan tangis yang memilukan.

"Gusta, jangan lakukan ini!" teriak Ixora dengan air mata yang mengalir deras. "Kita bisa mencari cara lain!"

Dios menggenggam tanganku erat-erat, wajahnya penuh dengan kesedihan. "Gusta, kau tidak harus melakukannya sendiri! Kami semua ada di sini untukmu!"

Clero dan Benjamin Ficus berlutut di sampingku, memohon agar aku berhenti. "Tolong, pikirkan lagi," kata Clero dengan suara yang bergetar. "Kita masih punya kesempatan lain."

Hica, Mira dan Zara bergabung, mata mereka merah karena menangis. Mereka semua menggenggam tanganku, mencoba menahan langkahku yang semakin lemah.

"Jangan pergi," bisik Hica. "Kami membutuhkanmu. Kami semua membutuhkanmu."

Air mata mereka mengalir di pipiku, tetapi aku tahu bahwa pengorbananku adalah satu-satunya jalan. "Maafkan aku," kataku dengan suara yang hampir tak terdengar. "Ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini."

Agnis melihatku dengan cemas, matanya penuh dengan air mata. "Gusta, kau tak bisa terus seperti ini. Energi kehidupanmu..."

Aku tersenyum lemah padanya. "Ini adalah satu-satunya cara, Agnis. Kita harus menghentikan semuanya, untuk mereka yang telah kita kehilangan."

Dengan setiap tetes energi yang tersisa, aku menyalurkan kekuatanku ke tiang-tiang itu. Rasa sakitnya tak terbayangkan, namun aku terus berjuang, mengingat semua kenangan yang telah membentuk diriku.

Akhirnya, aku jatuh berlutut, kehabisan energi. Pandanganku mulai kabur, tetapi aku melihat sinar biru itu semakin terang, menandakan keberhasilan kami. Dunia mulai merespons, teknologi mematikan yang selama ini menguasai pertempuran akhirnya lenyap.

Agnis berlari mendekat, menangkap tubuhku yang hampir tak berdaya. "Gusta, bertahanlah! Kita sudah hampir berhasil!"

Aku menatapnya, senyum terakhir terlukis di wajahku. "Agnis... kita telah melakukannya. Dunia ini... akhirnya bebas."

Air mata mengalir di pipi Agnis. "Dasar adik bodoh."

Tapi aku tahu, saat itu telah tiba. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Kehilangan Leo, Shina, dan semua yang kucintai telah membentukku menjadi sosok yang siap untuk pengorbanan ini. Aku memejamkan mata, membiarkan kesedihan terakhir menyelimuti diriku.

Tubuhku perlahan mengeras dan menyatu dengan lautan logam cair terserap ke tanah.

***********************************************************************************************



7 Tahun Kemudian

Berita tentang pengorbananku telah menggemparkan dunia. Media massa di seluruh dunia terus mengenang perjuangan dan pengorbanan yang telah kuberikan untuk menghentikan perang besar itu. Hari ini, di tiang Inerium yang menjulang tinggi, sebuah upacara berkabung diadakan untuk mengenang jasa-jasaku.

Agnis, yang kini telah menikah dengan Kwame Viela, berdiri di depan tiang itu. Mereka membawa seorang anak lelaki kecil yang bernama Agasta Inersia, menghormati nama keluargaku.

"Gusta, kami selalu mengingatmu," kata Agnis dengan suara penuh emosi.

Kwame menambahkan, "Kami akan memastikan dunia ini tetap damai, untuk menghormati apa yang telah kau perjuangkan."

"Kau pikir, hanya kau saja yang boleh berkabung di sini, Agnis?" ucap Ixora yang datang dari kejauhan.

Di sekeliling mereka, teman-teman lamaku juga hadir. Ixora, Mira, Hica, Dios, Clero, dan Benjamin Ficus, semua datang untuk mengenangku.

Benjamin Ficus, yang kini telah menjadi Aspiqum Akademi Oxitrone, berbicara dengan tegas, "Gusta, aku sangat merindukanmu."

Hica Swazicoff, pemimpin baru Squadron Therstral, melangkah maju. "Kami berjanji akan menjaga perdamaian ini, Gusta. Terima kasih untuk segalanya."

Sementara itu, di sisi lin Negara Nirz, tepatnya di Kerajaan Nwara terlihat seorang perempuan yang anggun berjalan memandangi pembangunan Kerajaan. Dia adalah Zara Hevilia didampingi oleh Vahra Helheim.

Zara Hevilia, kini Ratu Kerajaan Nwara, dan Vahra Helheim adalah penasihat ratu, telah memimpin renovasi Kerajaan Nwara. Kerajaan yang dulunya hancur kini telah menjadi simbol kebangkitan dan harapan.

"Kita telah membangun kembali Kerajaan ini, Gusta," kata Zara dengan mata berkaca-kaca. 

Vahra menambahkan, "Dasar murid bodoh. Tapi, mungkin dunia ini akan selalu berterima kasih padamu."

Saat mereka semua berdiri di depan tiang Inerium, tangan mereka saling menggenggam, merasakan kehadiranku di antara mereka. Meskipun aku telah tiada, cintaku dan pengorbananku tetap hidup dalam hati mereka.

Dan di dunia lain, aku tersenyum, mengetahui bahwa semua perjuangan dan pengorbananku telah membawa kedamaian dan harapan baru bagi dunia. Bersama ayah dan ibuku, aku merasa tenang dan damai, menyaksikan dari kejauhan saat dunia yang kucintai terus berlanjut, penuh dengan harapan dan cinta.

"Ayo," ucap ayahku. Aku hanya mengangguk mengikuti ayah dan ibuku berjalan.

TAMAT

101-The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang