Langit semakin gelap di medan tempur, angin dingin bertiup membawa aroma darah dan tanah yang terbakar. Para pejuang yang tersisa merasakan ketegangan yang mengerikan menyelimuti mereka, mengetahui bahwa pertempuran belum berakhir. Di tengah reruntuhan dan sisa-sisa pertempuran, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berat dan tegas.
"Baiklah sekarang dimana Eternity sialan itu?!" teriak Akila Ziglar, matanya penuh semangat berapi-api. Di sisinya berdiri Kwame Viela, Maria Lumumba, dan Danquah Garvey, anggota Parade Detoria yang terkenal dengan kekuatan mereka yang luar biasa.
"Bersiaplah Eternity, Parade Detoria telah tiba!" teriak Maria, suaranya menggema di seluruh medan perang.
Mereka tidak perlu menunggu lama. Dari balik bayangan reruntuhan, Prunus muncul dengan tatapan dingin dan senyum jahat di wajahnya. "Ah, akhirnya datang juga. Aku sudah menunggu kalian."
Prunus dengan kekuatan Exodial perwujudan kalsium, membuat tubuhnya tampak seperti perisai bergerak. Dia terlihat tak terkalahkan, tapi Parade Detoria tidak gentar.
Kwame Viela, maju pertama. Dia menciptakan pancaran emas yang menyilaukan, menyerang Prunus dengan serangan beruntun. Prunus mengangkat tangannya, dan tubuhnya yang keras seperti kalsium memblokir serangan itu dengan mudah. "Kau harus melakukan lebih dari ini untuk melukaiku," cibirnya.
Akila Ziglar dan Maria Lumumba, dengan kekuatan Exodial Titanium, menyerang secara bersamaan. Akila mengendalikan elemen titanium, membentuk tombak-tombak tajam yang menyerang dari segala arah. Maria, dengan kemampuan menciptakan titanium, membuat pelindung yang melindungi mereka dari serangan balasan Prunus. Namun, Prunus bergerak cepat, menghindari serangan mereka dan membalas dengan pukulan keras yang membuat tanah bergetar.
Danquah Garvey tidak tinggal diam, ia menggunakan kekuatan Berilium Pengendali, melompat ke depan, mengendalikan berilium untuk membuat jebakan-jebakan tajam di sekitar Prunus. Tapi Prunus, dengan kekuatan yang luar biasa, menghancurkan jebakan-jebakan itu dengan mudah. Dia kemudian memusatkan serangannya pada Danquah, memukulnya dengan keras hingga Danquah terlempar jauh dan jatuh tak berdaya.
"Apakah ini yang kalian sebut kekuatan?" Prunus tertawa jahat, melihat Parade Detoria mulai kehabisan tenaga. "Kalian tidak lebih dari sekumpulan anak kecil yang bermain perang."
Namun, Parade Detoria tidak menyerah. Mereka terus menyerang, meskipun kekuatan mereka mulai melemah. Serangan demi serangan dilancarkan, namun Prunus tetap berdiri kokoh, hampir tak tersentuh. Pada akhirnya, satu per satu anggota Parade Detoria mulai tumbang, kelelahan dan terluka parah.
Kwame Viela, yang masih berdiri meskipun terluka, menatap Prunus dengan mata yang penuh kebencian. "Kami tidak akan menyerah. Meskipun kami harus mati di sini, kami akan melawanmu sampai akhir."
Prunus hanya tertawa. "Mati di sini? Itu bisa diatur." Dia maju, bersiap untuk memberikan serangan terakhir yang mematikan.
Namun, sebelum Prunus bisa menyerang, suara langkah kaki lain terdengar. Dari balik asap dan reruntuhan, Aku melihat dari kejauhan dengan tanganku yang menyerupai sabit mencoba langsung menyerang Prunus.
Aku menciptakan Free Zone yang memungkinkanku menciptakan zona bebas untuk menciptakan logam, langsung maju dengan penuh keyakinan. Aku menciptakan perisai logam di sekelilingku, melindungi anggota Parade Detoria yang tersisa.
Prunus tersenyum sinis. "Ah, akhirnya datang juga. Kau berpikir bisa mengalahkanku sendirian, Gusta?"
Aku menatap Prunus dengan tatapan dingin. "Aku tidak sendiri. Semangat mereka yang telah gugur ada bersamaku. Aku akan memastikan kau tidak pernah menyakiti siapapun lagi."
Dengan gerakan cepat, aku menciptakan senjata dari logam yang kuat, menyerang Prunus dengan serangan yang mematikan. Prunus, meskipun kuat, mulai merasa terdesak oleh kekuatan dan kecepatanku yang luar biasa. Pertarungan kami berlangsung sengit, dengan setiap serangan membawa ledakan dan gemuruh yang mengguncang medan perang.
"Hahaha! Ini adalah kekuatan yang luar biasa Gusta! Tidak, maksudku Peri Logam!" pekik Prunus dengan mata mendelik tajam disertai senyum gila.
Aku menggunakan kekuatan Chromo Farium, menciptakan pedang besar dari logam yang berkilauan kemudian menyerang Prunus dengan serangan yang cepat dan akurat, memotong melalui pertahanan kalsium Prunus dan membuatnya mundur. Kepalan tanganku penuh dengan kemarahan dan tekad, memastikan bahwa setiap serangan membawa dampak yang besar.
Prunus, yang mulai merasa terpojok, mencoba untuk melawan balik dengan serangan kalsiumnya. Namun, aku langsung mengaktifkan untuk menghindari serangan dan menciptakan senjata baru dengan cepat disertai kreativitas dan kekuatan, membuat Prunus kesulitan untuk mengimbangi ku.
Aku berdiri dengan napas terengah-engah.
Tubuh Prunus hancur tergeletak di tanah, darah mengalir dari luka-luka yang ditimbulkan oleh seranganku. Medan perang, yang sebelumnya dipenuhi dengan suara gemuruh dan jeritan, kini hening, hanya tersisa bisikan angin yang lembut membawa aroma darah dan tanah yang terbakar.
Aku berdiri di tengah medan perang, napasnya terengah-engah, mataku memandang ke arah tubuh Prunus dengan campuran kebencian dan kepuasan. Namun, ketika aku memalingkan pandangan, tatapanku jatuh pada Parade Detoria yang sedang berusaha untuk pulih dari pertempuran sengit itu.
Kwame Viela, dengan kekuatan Anchentrys Emas, berdiri dengan tubuh penuh luka, memandangku dengan rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. Di sisinya, Akila Ziglar, Maria Lumumba, dan Danquah Garvey juga berdiri dengan penuh kelelahan. Mata mereka tertunduk, menyadari bahwa meskipun mereka berjuang dengan gagah berani, ada harga yang harus dibayar.
Aku menatap mereka dengan tatapan dingin, penuh kebencian yang mendalam. "Kalian... kalian telah membunuh Leo. Apa yang kalian pikirkan?"
Kwame mencoba berbicara, suaranya bergetar. "Gusta, kami... kami tidak bermaksud... Itu adalah tugas dari Ghuva. Kami juga kehilangan banyak..."
Aku mengangkat tanganku, menghentikan ucapan Kwame. "Tidak ada yang bisa mengembalikan Leo. Tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit ini. Kalian mungkin pejuang, tapi hati kalian... apakah kalian benar-benar mengerti apa yang telah kalian lakukan?"
Air mata mulai mengalir dari mata Kwame, Akila, Maria, dan Danquah. Mereka tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi. Gusta memandang mereka sekali lagi, kemudian mengalihkan pandangannya.
"Aku harus pergi. Masih ada yang harus aku lakukan," kataku dengan suara datar. Aku kemudian berjalan menjauh, langkahku berat namun penuh tekad. Aku harus menemukan Shina. Ada misi yang lebih besar yang harus diselesaikan.
Aku seketika menghilang dari pandangan mereka, suasana di medan perang terasa semakin sunyi. Di tengah-tengah kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang familiar. Agnis Inersia, dengan matanya yang penuh dengan kehangatan dan kerinduan, mendekati Kwame Viela.
"Kwame," panggil Agnis lembut.
Kwame mengangkat kepalanya, dan ketika matanya bertemu dengan Agnis, air mata yang tertahan akhirnya mengalir deras. "Agnis... Aku..."
Agnis tidak membiarkan Kwame menyelesaikan kalimatnya. Ia segera merangkul Kwame erat-erat, memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu, Kwame. Aku tahu. Aku merindukanmu begitu lama. Kita semua merindukanmu."
Kwame tersedu-sedu dalam pelukan Agnis, merasakan kehangatan dan cinta yang telah lama hilang. Maria, Akila, dan Danquah juga merasakan gelombang emosi yang sama, merasakan kehadiran Agnis yang membawa harapan dan kenyamanan di tengah kesedihan mereka.
101-The Book**************
KAMU SEDANG MEMBACA
101-The Book
FantasiaDunia steampunk abad pertengahan merupakan dunia tempat X - anak yang berumur 16 tahun bersama teman-temannya - berada. Dalam dunia tersebut tercipta teknologi yang dapat mewujudkan segala macam senyawa yang ada di alam melalui tubuh manusia. Dial...