57. Mereka bohong kan, Pah?

1.8K 178 9
                                    

Mereka semua tengah menunggu Vano di depan IGD. Sesampainya di rumah sakit, Vano langsung dilarikan ke IGD. Sudah 30 menit sejak Vano diperiksa. Tetapi, Dokter belum keluar dari ruangan tersebut. Mereka semua tidak henti-hentinya berdoa demi keselamatan Vano.

"Abang akan baik-baik aja kan, Pah? Abang gak mungkin ninggalin kita kan?" Tanya Naren yang merasa sangat ketakutan. Bukan tanpa alasan anak itu merasa takut, beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Bandung. Naren sempat bermimpi, ia melihat Vano dengan pakaian serba putih pergi menjauh darinya dan berjalan kearah cahaya yang cukup terang. Disana juga Ia melihat Ghina tengah melambaikan tangan seperti sudah menunggu kehadiran Vano.

Jeffry memeluk anak bungsunya yang sedang menangis, "Vano akan baik-baik saja, nak. Percaya sama Papah ya?"

Dhika meremat kedua tangannya, anak itu merasa bersalah dan menyalahkan dirinya, "Maaf Pah ini salah Dhika. Karena sibuk bantuin pameran Dhika, Vano jadi sakit. Ini semua salah Dhika. Harusnya Dhika gak ikut pameran ini. Pasti Vano gak akan sakit seperti ini." Ucapnya yang terus menyalahkan dirinya sendiri. Sesekali anak itu juga memukul kepalanya membuat Yeri langsung memeluk Dhika dan menangkannya. Yeri memeluk Dhika yang menangis dan terus saja menyalahkan dirinya sendiri.

"Dhika gak salah, nak. Ini bukan salah Dhika. Gak ada yang mau untuk sakit, nak. Kita bantu doa untuk kesehatan Vano ya?" Jeffry harus bisa kuat untuk anak-anaknya. Ketiga anaknya saat ini butuh dukungan dari dirinya. Jadi, Jeffry harus tetap kuat demi kembar walau dirinya pun merasa sangat ketakutan saat ini.

"Tapi Vano pasti kelelahan karena ngurusin pameran Dhika." Ucap Dhika.

Jeffry mendekat kearah Dhika lalu memeluk putra sulungnya, "Papah gak suka kalau kamu salahin diri kamu kaya gini. Jadi stop menyalahkan diri kamu. Papah gak suka dengernya! Gak ada yang perlu disalahkan disini." Jeffry melirik mereka satu persatu, "Kalian juga gak perlu merasa bersalah ya? Kita harus tetep saling menguatkan satu sama lain."

Mereka semua mengangguk dengan pelan. Mereka terus berdoa untuk kesembuhan Vano. Mereka berdoa semoga Vano baik-baik saja.

Tak lama, Dokter keluar dan menghampiri mereka semua.

"Dengan keluarga pasien?" Tanya sang Dokter.

"Saya Papahnya, Dok." Ucap Jeffry lalu menghampiri Dokter.

Dokter mengangguk, "Bisa ikut saya ke ruangan? Ada yang perlu saya bicarakan dengan Bapak."

"Bisa, Dok."

Dokter dan Jeffry pergi untuk ke ruangan Dokter. Mereka semua menatap kepergian Dokter dan Jeffry dengan perasaan bingung dan takut.

"Vano gak kenapa-napa kan, Bang? Kenapa Dokter ngajak Papah ke ruangannya?" Tanya Haikal kepada Mahen.

Mahen yang ditanya pun merasa bingung harus menjawab apa, "Kita berdoa aja ya, Kal."

Naren berusaha memejamkan matanya dan menutup telinganya. Banyak sekali sosok yang memberitahu kondisi Vano kepadanya. Naren tidak mau mendengar itu. Naren yakin semua yang sosok itu katakan ada hal yang bohong. Vano tidak mungkin sakit. Ia yakin abangnya itu sehat dan tidak mungkin mendapat riwayat seperti itu.

Tubuh Naren seketika lemas, jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Ia meremat tangan Haikal yang sedari tadi ia genggam. Haikal yang merasa ada yang aneh dengan Naren pun melihat keadaan sang adik.

"Ren lo gak papa? Badan lo gemeter." Haikal memeluk tubuh Naren yang sedang bergemetar dan tangan Naren yang tetap meremat tangan Haikal dengan kencang.

Naren hanya menggelengkan kepalanya. Ia tetap memejamkan matanya.

Yeri yang melihat itu pun langsung menghampiri Naren dan menepuk pelan pipi Naren. Naren tetap memejamkan matanya. Tiba-tiba kesadaran Naren hilang, anak itu pingsan. Sebelum pingsan, Naren sempat bergumam,

KEMBAR ARKANA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang