BAB 2

3.6K 131 1
                                    

Tahun 2002, Urfi umur 4 tahun, Kelahiran Hana,

Linda tersenyum menggendong bayinya, anak perempuannya yang baru lahir seminggu yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tahun 2002, Urfi umur 4 tahun, Kelahiran Hana,

Linda tersenyum menggendong bayinya, anak perempuannya yang baru lahir seminggu yang lalu. Kehadiran Urfi benar-benar memberikan berkah, Linda hamil beberapa bulan setelah Urfi hadir di rumah ini. Linda beralih menatap Urfi yang duduk di kasur, sebelahnya.

“Mama, adik bayinya lagi tidur ya?” tanya Urfi polos, menatap adiknya yang tertidur.

Linda mengangguk. “Iya, sayang. Adiknya tidur sehabis Mama kasih ASI”

“ASI itu apa, Ma?”

Linda tertawa kecil dengan pertanyaan polos Urfi. “ASI itu yang tadi di minum sama adik bayi”

Urfi menunjuk dada Linda yang setengah terbuka. “ASI di sini ya, Mama?”

“Iya, sayang” jawab Linda, tersenyum, mengecup pipi Urfi gemas.

“Ufi boleh minum ASI seperti adik bayi?”

“Ufi sudah besar, ASI hanya untuk adik bayi” Urfi tampak menunduk kecewa mendengar ucapan Linda.

Linda beranjak dari kasur, meletakkan bayi perempuannya itu di keranjang bayi dengan hati-hati. Kemudian, Linda menghampiri Urfi, memegangi kedua bahunya.

“Ufi sekarang sudah besar, sudah punya adik juga. Ufi janji sama Mama akan terus menjaga adik Ufi ya” ucap Linda lembut, mengusap pucuk kepala Urfi.

Urfi menengadahkan kepalanya menatap Linda. “Ufi sudah besar ya, Ma?”

Linda mengangguk. “Iya, sayang. Jadi, kalau Mama tidak ada di samping adik bayi, Ufi yang menjaga adik bayinya”

Urfi mengangguk dengan cepat. “Ufi akan menjaga adik bayi” soraknya senang.

Linda tersenyum, memeluk Urfi. “Mama akan memperlakukan kalian dengan sama, tidak akan pernah membedakannya” gumamnya pelan.

Linda mengalihkan pandangannya ke arah pintu, Wandi masuk ke dalam kamar melirik Urfi dengan tatapan tidak suka. Lalu, Wandi beralih menatap keranjang bayi, di mana anak kandungnya tidur dengan nyaman.

“Ufi main di luar dulu ya, sayang” suruh Linda.

Urfi mengangguk, turun dari kasur dengan di bantu oleh Linda. Urfi melangkahkan kakinya menghampiri Wandi. “Papa, Ufi main keluar dulu ya” pamitnya.

Wandi melirik Urfi, berdeham singkat. Setelah itu kembali menatap anaknya dengan tersenyum di keranjang bayi.

“Kamu masih belum mau menerima Urfi, Mas?” tanya Linda, berdiri di sebelah Wandi.

“Sampai kapan pun aku tidak akan menerimanya, dia bukan anakku”

“Tapi, setidaknya kamu tidak terlalu memperlihatkan ketidaksukaan mu pada Urfi, dia masih kecil”

Wandi menatap Linda kesal. “Aku tidak akan berpura-pura baik di depannya”

Linda terdiam, dirinya tidak bisa memaksakan suaminya untuk berlaku baik kepada Urfi. Selama setahun Urfi tinggal bersama mereka, Wandi tidak pernah mengajak Urfi bermain, bahkan Wandi enggan untuk berbicara dengan Urfi.

“Kapan kamu akan mengembalikan dia ke panti asuhan?”

Linda menatap Wandi terkejut. “Apa maksudmu?”

“Sekarang kita sudah memiliki anak, Lin. Kita tidak membutuhkan dia lagi”

“Aku mengadopsi Urfi bukan hanya untuk memancing kehamilanku, Mas. Aku mengadopsi Urfi untuk aku jadikan anak yang akan aku rawat sampai dia dewasa” Linda menatap Wandi marah.

Wandi menggendong bayinya yang menggeliat mendengar suara Linda yang meninggi. “Kamu membangunkan anak kita” Wandi menimang-nimang bayinya penuh kasih sayang.

“Aku tidak mau mendengar kamu membicarakan tentang panti asuhan lagi, terutama di depan Urfi. Jika kamu masih membicarakan itu aku akan pergi dari rumah membawa Urfi dan Hana” ancam Linda.

Linda akan memperjuangkan Urfi, meskipun Wandi tidak mau menerimanya. Sekarang, Linda tidak akan takut untuk pergi dari rumah jika Wandi masih ingin mengembalikan Urfi ke panti asuhan. Linda sudah sangat menyayangi Urfi, dia juga menyayangi Hana, bayinya. Hana Natalia Wijoyo.


*******

Tahun 2024

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, Urfi sudah beranjak dewasa, tumbuh menjadi perempuan yang sangat ramah, di sukai oleh orang-orang di sekitarnya. Tapi, ada orang yang tidak akan pernah menyukai Urfi, dia Wandi, Papanya. Urfi tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Papa, Wandi hanya memperhatikan Hana. Hanya Hana yang di anggap sebagai anak oleh Wandi, Urfi hanya anak yang namanya tertulis di dalam Kartu Keluarga.

“Bagaimana dengan skripsimu, Hana? Lancar?” tanya Wandi, menatap Hana yang sedang menyantap sarapannya.

Hana menoleh kepada Wandi. “Nggak begitu lancar, Pa. Aku kesulitan ngerjain bab 4, Pa” keluhnya. Perempuan itu sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi ternama, mengambil jurusan Manajemen, dan tengah mengerjakan skripsi.

Wandi beralih menatap Urfi yang diam, menundukkan kepalanya dengan tangan sibuk mengaduk-aduk sarapannya. “Papa dengar kamu punya pacar Urfi”

Urfi menengadahkan kepalanya, baru kali ini Wandi mengajaknya bicara setelah sekian lama mereka menghabiskan makan bersama di meja makan. Senang, tentu, Urfi sangat senang ketika Wandi menanyakan tentangnya, bukan tentang Hana.

“Iya, Mas. Urfi punya pacar, namanya Razi kan, sayang?” Linda melirik Urfi sambil tersenyum manis.

Urfi menarik bibirnya membentuk senyuman, menganggukkan kepalanya. “Iya, namanya Razi. Dia kerja di perusahaan Papa”

Razi, pacar Urfi bekerja di perusahaan Wandi sebagai karyawan di sana. Urfi bertemu dengan Razi saat masih di bangku kuliah, mereka berbeda jurusan, tapi sering bertemu tanpa sengaja di kampus. Mereka menjalin hubungan sudah cukup lama, terhitung sudah hampir 4 tahun.

Wandi mengangguk. “Oh, Papa tahu. Dia salah satu karyawan yang berbakat. Papa suka dengan kinerjanya di kantor”

Urfi tersenyum senang. Meskipun Wandi memuji keterampilan pacarnya di kantor, tapi Urfi bahagia, setidaknya Wandi menyadari keberadaannya sebagai pacar Razi.

“Aku juga tahu Razi, Pa. Dia kan kakak tingkatku di kampus” kata Hana, meneguk minumannya. Makanan di piring Hana sudah habis, perempuan itu menata sendok dan garpu di atas piring dengan posisi menyilang.

“Nah, kamu bisa minta bantuan Razi aja, Hana. Dia pasti bisa bantu kamu ngerjain skripsi” saran Wandi.

Urfi terdiam, senyumannya perlahan memudar. Lagi, lagi semuanya di kaitkan dengan Hana. Mungkin saja Wandi menanyakan tentang pacarnya untuk membantu Hana menyelesaikan skripsinya.

Hana melirik Urfi. “Tergantung Kak Urfi. Kalau dia kasih izin aku buat pinjam pacarnya..”

“Aku nggak akan larang, Hana” potong Urfi cepat.

Hana tersenyum kepada Urfi yang duduk di sebelahnya. “Oke, aku akan minta bantuan pacarmu, Kak”

Urfi menatap Wandi yang bangkit dari duduknya, kemudian Linda juga bangkit, membawakan tas kerja Wandi. Seperti biasa Linda terus mengantarkan Wandi ke depan pintu rumah, rutinitas yang dia lakukan sebagai seorang istri.

“Minta nomor Razi dong, Kak” Hana menyodorkan ponselnya kepada Urfi.

Urfi tersenyum, mengambil ponsel Hana, menuliskan nomor Razi di sana. “Nanti aku bakalan kasih tahu Razi kalau kamu mau minta bantuan dia”

Hana menggeleng. “Nggak usah. Aku kenal dia, dia juga pasti kenal aku. Kamu nggak perlu kasih tahu dia, biar aku aja”

Urfi tersenyum. “Oke, semoga skripsinya bisa selesai cepat ya, Hana”

Hana mengangguk. “Terima kasih, Kak. Aku ke kampus dulu” pamit Hana, mengecup pipi Urfi singkat.

Urfi tersenyum, sama sekali tidak khawatir jika Hana menghubungi Razi. Toh, Hana adiknya, Hana hanya meminta bantuan untuk mengerjakan skripsinya. Urfi juga sangat menyayangi Hana, hubungan mereka seperti kakak adik yang sesungguhnya. Mereka sangat dekat, hubungan mereka begitu erat.

“Kamu belum berangkat kerja, Fi?” tanya Linda, menghampiri Urfi yang masih duduk di meja makan.

Urfi menatap ke arah Linda. “Bentar lagi aku berangkat, Ma. Aku mau ngabisin sarapan dulu”

Linda menarik kursi di sebelah Urfi, duduk di sana. “Gimana sama kerjaan kamu? Ada masalah?”

Urfi menatap Linda sambil tersenyum. Dia tidak mendapatkan kasih sayang dari Wandi, tapi Urfi kelimpahan kasih sayang dari Linda. Urfi selalu di perhatikan oleh Linda, menanyakan bagaimana harinya di kantor dan selalu merasa bangga atas pencapaian Urfi sejauh ini.

“Semuanya lancar, Ma. Kalau masalah pasti ada, tapi cuma masalah biasa dalam pekerjaan”

Linda menggenggam tangan Urfi. “Kamu nggak mau kerja di perusahaan Papa aja, Fi? Dengan gitu kamu bisa sering ketemu Razi”

Urfi menggeleng. “Akan lebih nyaman kalau aku nggak kerja di sana, Ma. Aku nggak mau nanti urusan pekerjaan bercampur dengan urusan pribadi”

Urfi bekerja di perusahaan lain setelah lulus kuliah, dirinya mencari pekerjaan sendiri tanpa bantuan keluarganya. Urfi di tawarkan oleh Linda untuk bekerja di perusahaan Wandi saja, tapi Urfi menolak secara halus. Dia tahu jika Wandi tidak akan suka dirinya bekerja di sana.

“Yaudah, kalau kamu berubah pikiran dan udah nggak sanggup kerja di tempat yang sekarang, kamu bisa bilang ke Mama, biar Mama yang ngomong sama Papa”

Urfi mengangguk. “Pasti, Ma”


**********

 “Pasti, Ma”

**********

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


KU PELUK LUKA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang