Urfi tersenyum saat memasuki mobil Razi, pagi ini pacarnya itu akan mengantarkannya ke kantor. Razi juga sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan, siap untuk berangkat bekerja. Laki-laki itu tersenyum manis kepada Urfi yang duduk di sebelahnya.
“Kamu yakin bisa ngantar aku dulu? Nanti kalau kamu telat gimana?” tanya Urfi, tidak mau jika Razi telat ke kantor karena mengantarkannya.
Razi tersenyum. “Nggak apa-apa, sayang. Aku lagi kangen sama kamu aja, makanya aku ngantar kamu”
Urfi tersenyum saat Razi membantunya memasang seatbelt, pacarnya itu begitu perhatian. “Makasih, sayang”
Razi mengangguk, masih bertahan di posisinya sekarang. Wajahnya begitu dekat dengan Urfi, mata Razi menatap bibir Urfi yang berwarna merah muda. Razi semakin mendekatkan wajahnya, mencium Urfi, sedikit melumatnya.
Urfi menahan tubuh Razi yang masih terus menciumnya, menatap mata Razi dalam. “Kita bisa telat ke kantor” peringatnya, tersenyum.
Razi terkekeh, mengecup singkat bibir Urfi. Kemudian, kembali ke posisi duduknya, memakai seatbelt. Razi melajukan mobilnya, berbaur dengan kendaraan lain di jalanan yang super padat karena hari kerja, banyak orang-orang yang berangkat bekerja memenuhi jalanan.
“Gimana kemarin sama Hana? Kamu bisa bantu skripsinya?” tanya Urfi, menoleh, menatap Razi yang fokus ke jalanan.
Razi mengangguk, jemarinya mengetuk-ngetuk setir. “Bisa, sayang. Paling butuh waktu aja buat ngerjainnya. Kemungkinan kita nggak bisa keluar pas hari Minggu dulu buat sementara waktu, soalnya kan aku bisa bantuin Hana hari itu aja. Nggak apa-apa kan, sayang?” tanyanya, melirik Urfi.
Urfi tersenyum. “Nggak apa-apa, kita juga ketemu bisa nanti-nantian aja, yang penting skripsi Hana kelar dulu. Dia harus wisuda semester ini”
Urfi tersenyum tanpa tahu apa yang telah di lakukan oleh Razi dan Hana di belakangnya. Dua orang yang Urfi anggap sebagai orang yang dia sayangi bermain api di belakangnya. Urfi sama sekali tidak menaruh kecurigaan, di matanya, Razi laki-laki yang setia.
Mobil Razi memasuki area perkantoran Urfi, berhenti tepat di depan gedung bertingkat itu. Urfi turun dari mobil, menghampiri Tania yang menunggunya di depan kantor. Urfi berjalan beriringan dengan Tania memasuki kantor, mereka berdiri di depan lift, menunggu lift yang masih berada di lantai 3.
“Eh, ada Pak Gahar” bisik Tania, sedikit menarik tubuh Urfi untuk bergeser.
Tania dan Urfi tersenyum, sedikit membungkukkan badan untuk menyapa Gahar. “Selamat pagi, Pak” sapa mereka.
Gahar mengangguk singkat. “Iya, Pagi”
Ketika lift terbuka, Gahar masuk terlebih dahulu, kemudian baru di susul oleh Urfi dan Tania. Urfi dan Tania tampak canggung berada di dalam ruangan lift yang sama dengan Gahar. Tania menggapai-gapai tangan Urfi, mendekatkan tubuhnya dengan Urfi.
“Canggung banget” bisik Tania di telinga Urfi, matanya melirik Gahar yang berdiri di depan mereka.
Urfi menarik matanya menatap punggung Gahar yang tinggi menjulang, kedua tangan laki-laki itu dimasukkan ke saku celana. Tania baru satu lift dengan Gahar saja sudah merasa canggung, apalagi Urfi yang pernah satu meja dengannya.
Urfi dan Tania bernapas lega saat pintu lift terbuka di lantai 3, ruangan Divisi Product Development. Mereka menyapa Gahar terlebih dahulu sebelum keluar dari lift. Saat kaki Urfi menginjak lantai di luar lift, suara Gahar menghentikan langkah kakinya.
“Kamu yang waktu itu ketemu Saya di kafe kan?”
Tubuh Urfi menegang. Kenapa Gahar pakai acara ingat dengannya? Urfi membalikkan badannya, memasang senyuman. “Iya, Pak” jawabnya.
Tania menatap Urfi dengan ekspresi terkejut, bertanya-tanya kapan Urfi bertemu Gahar?
Gahar melirik ID Card karyawan yang mengalung di leher Urfi, kemudian menganggukkan kepalanya. “Pantas wajah kamu nggak asing”
Urfi tersenyum lagi, menatap pintu lift yang perlahan tertutup. Untuk apa Gahar menanyakan hal yang tidak penting padanya? Bagi Urfi, hal itu tidak seharusnya Gahar tanyakan mengingat sekarang mereka di kantor.
“Kamu pernah ketemu Pak Gahar di luar, Fi?” tanya Tania.
“Nanti aku jelasin”
Urfi melangkahkan kakinya menuju meja kerjanya, di ikuti Tania yang sudah meminta penjelasannya. Dengan terpaksa Urfi menjelaskan apa yang dirinya alami di kafe saat menemani Tania menemui Dani.
“Eh, sumpah?” Tania tampak terkejut mendengarkan penjelasan dari Urfi.
Urfi mengangguk. “Kamu bayangin gimana canggungnya aku pas itu, mana kamu nggak ada lagi”
Tania tertawa, tangannya menepuk-nepuk pahanya sendiri. “Aku nggak lihat loh pas Pak Gahar masuk kafe”
“Iyalah nggak lihat, kamu fokus sama Dani aja” sindir Urfi, menghadapkan tubuhnya ke arah komputer, menghidupkan komputernya untuk memulai bekerja.
Tania mengakui jika dirinya hari itu terlalu fokus dengan Dani, laki-laki itu begitu menyita perhatiannya. “Coba aja kalau kamu masih jomblo, Fi, bisa tuh dekatin Pak Gahar”
“Gila kamu, ya, Tania!” Urfi melotot mendengar ucapan Tania. Bisa-bisanya Tania menyuruhnya mendekati Gahar, walaupun Urfi jomblo, dirinya tidak akan berani mendekati Gahar, Direktur perusahaan.
Tania tergelak, mendekatkan tubuhnya ke arah Urfi. “Kan aku ngomong kalau, Urfi. Aku tahu kamu setia sama My Razi kamu itu” ledeknya.
Urfi memutar bola matanya kesal, membuat Tania semakin tergelak.
“Kamu ke kantor hanya untuk tertawa, Tania?”
Tania memutar kepalanya saat mendengar suara itu, menatap ke belakang, di sana Bu Betty berdiri sambil berkacak pinggang.Tania menyengir, menunjukkan giginya. “Ini mau kerja, Bu” ucapnya, segera menghidupkan komputer.
********Gelak tawa terdengar di dalam ruangan persegi itu, Wandi tertawa terbahak-bahak mendengarkan cerita dari Raden, teman lamanya. Saat ini, Wandi sedang berada di ruangan kerja Raden, mereka tidak sengaja bertemu kembali ketika Wandi ingin menjalin kerja sama dengan perusahaan milik Raden.
“Kamu bisa saja, Raden. Kejadian di masa lalu jangan kamu ungkit lagi, Saya menjadi malu dengan sekretarismu” ucap Wandi, mengusap sudut matanya yang sedikit berair karena terlalu sering tertawa.
Setelah membahas kerja sama, mereka mengobrol sambil menikmati kopi, mengenang kembali kenangan ketika mereka SMA dahulu. Sudah cukup lama mereka bertemu, dan Wandi tidak menyangka jika perusahaan sebesar ini milik Raden, teman SMA-nya.
Sekretaris Raden hanya tersenyum tipis, mendengarkan atasannya berbincang.
“Kamu nggak perlu malu, Wandi. Nia ini sekretaris kepercayaan Saya, dia nggak akan menyebarkannya ke orang lain. Benarkan, Nia?” Raden melirik Nia, sekretarisnya itu.
Nia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. “Benar, Pak. Segala pembicaraan di dalam ruangan ini akan Saya pastikan tidak akan terbawa keluar ruangan”
“Kamu dengar itu, Wandi” Raden menunjuk-nunjuk Nia. “Dia sudah bekerja dengan Saya selama bertahun-tahun”
“Saya percaya saja denganmu, Raden”
Raden tergelak lagi. “Bagaimana kabar istrimu, Wandi? Kamu nggak mengundangku saat menikah dengan istrimu”
Wandi yang sedang meneguk kopinya, bergerak meletakkan kembali gelasnya itu ke meja. “Istriku baik-baik saja. Saya tidak mengundangmu karena kita sudah lama tidak berkomunikasi”
Raden mengangguk-angguk. “Benar juga, mungkin sudah 35 tahun lebih Saya tidak mendengar kabarmu semenjak kamu pindah”
Wandi pindah dari tempat tinggalnya dulu, mengikuti Ayahnya yang di pindah tugaskan ke luar kota. Semenjak itu, dia tidak pernah menjalin komunikasi dengan teman-teman SMA lagi. Nomor mereka pun sudah terlupakan begitu saja.
“Kamu punya berapa, Raden?” tanya Wandi.
“Dua orang. Satu laki-laki, dan satu perempuan”
“Kamu pasti tidak perlu pusing lagi, Raden. Anak-anakmu pasti sudah menikah semua”
“Emm, jangan salah” Raden menunjuk Wandi. “Belum ada satu pun anak Saya yang menikah. Anak pertama laki-laki sekarang sudah berumur 28 tahun, dan yang perempuan berumur 24 tahun. Masih hidup bersama kami, belum berkeluarga”
“Kenapa belum menikah, Raden? Mereka sudah cukup umur, terutama anak laki-lakimu” tanya Wandi terheran. Laki-laki dengan umur 28 tahun sudah termasuk matang untuk menikah, dan memiliki anak.
“Entah, Saya juga nggak tahu kenapa anak Saya belum nikah juga. Belum ketemu mungkin sama jodohnya” gurau Raden, mengakhiri ucapannya dengan tawa.
Wandi ikut tertawa, tangannya meraih gelas, menyeruput kopinya. Tenggorokannya terasa kering karena terus berbicara, bahkan tertawa. Raden menyuruh sekretarisnya untuk meninggalkan mereka, sepertinya mereka akan mengobrol lebih lama. Nia berpamitan untuk keluar ruangan, membiarkan atasannya menghabiskan waktu bersama temannya, hari ini pun jadwal Raden sudah tidak ada.
“Kalau kamu bagaimana Wandi? Berapa orang anakmu?” tanya Raden.
Wandi tersenyum. “Saya punya satu orang anak perempuan”
Wandi hanya mengakui Hana sebagai anaknya, bahkan Wandi tidak menyebutkan Urfi sama sekali. Bagi Wandi, hanya Hana anak satu-satunya, Urfi hanya orang lain yang hidup bersama keluarganya.
“Wah, anak tunggal ya? Umur berapa?”
“Ya, baru 22 tahun, sedang menyelesaikan skripsi”
“Sebentar lagi anakmu sudah bisa di nikahkan, Wandi” gurau Raden.
Wandi tertawa. “Ya, kalau sudah ada jodohnya Saya nggak bisa melarang. Sekarang pun Saya izinkan kalau sudah bertemu dengan jodohnya”
“Kamu mau menjodohkan anak kita? Anak Saya sepertinya nggak bergerak-gerak kalau nggak ayahnya yang nyariin”
“Kalau kamu setuju untuk menjodohkan, Saya nggak akan menolak Raden. Nggak ada yang akan menolak niat baik, apalagi niat baik dari teman lama. Saya yakin anakmu akan memperlakukan anakku dengan baik”
“Tenang saja, anak Saya anak yang baik. Kamu akan menyukainya sebagai menantumu Wandi”
Wandi tertawa lagi. “Saya tunggu niat baikmu, Raden”
*********
KAMU SEDANG MEMBACA
KU PELUK LUKA (Tamat)
ChickLit(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE SECARA ACAK) Kehidupan Urfi yang penuh dengan luka, di tinggalkan oleh Ibunya di panti asuhan ketika bayi. Saat Urfi umur 3 tahun dirinya di adopsi oleh Ibu kandungnya yang sudah menikah...