BAB 28

2.6K 91 1
                                    

“Cerita sekarang ke aku, Fi” pinta Tania, perempuan itu memegangi kedua bahu Urfi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Cerita sekarang ke aku, Fi” pinta Tania, perempuan itu memegangi kedua bahu Urfi.

Mereka berada di toilet karyawan, hanya ada mereka berdua di toilet ini. Tania langsung menyeret Urfi ke toilet saat Urfi baru balik dari ruangan Gahar. Tania rasa mereka membutuhkan tempat yang lebih privasi untuk membicarakan tentang hubungan Urfi dan Gahar.

Tania menatap jari manis di tangan kiri Urfi. “Itu cincin juga maksudnya apa?” tanyanya.

Urfi menghela napas, bingung harus menceritakannya mulai dari mana. “Aku bakal cerita, tapi janji jangan teriak”

Tania menganggukkan kepalanya, tangannya dia lipat di dada, menunggu penjelasan dari Urfi.

Urfi memejamkan matanya sejenak, menghembuskan napas kasar. “Gahar orang yang dijodohin sama aku”

WHAT?!!!” teriak Tania, matanya setengah melotot.

Urfi menutup mulut Tania, menatap sekeliling toilet dengan panik. “Aku bilang jangan teriak, Tan” peringatnya.

Tania melepaskan tangan Urfi yang membekapnya sedikit kuat. “Nggak bakal ada yang dengar, di sini cuman kita berdua”

Urfi mengangguk, kemudian beralih menatap cermin di depannya. Dari cermin Urfi bisa melihat jika Tania masih mencoba mencerna ucapan Urfi sebelumnya. Sepertinya Tania masih belum paham dengan apa yang terjadi.

“Jadi benar kalau teman yang kamu ceritain itu kamu, Fi?” tanya Tania, menatap Urfi. Ternyata dugaan Tania waktu itu benar, hanya saja pembicaraan mereka terhenti kala itu.

Urfi berbalik, menyenderkan bagian belakangnya di kabinet wastafel. Urfi menganggukkan kepalanya. “Iya, itu aku, Tan. Dan orang yang mau dijodohin sama aku itu Gahar”

“Kok nggak cerita ke aku!”

“Aku nggak ada niat buat terima perjodohan itu, Tan”

“Terus ini apa?” tanya Tania, dia mengangkat tangan kiri Urfi, memperlihatkan cincin di jari manis sahabatnya itu. “Nggak ada niat terima perjodohan, tapi kamu pakai cincin setelah ketemu Pak Gahar”

Urfi menurunkan tangannya perlahan. “Aku berubah pikiran, Tan. Nggak ada salahnya aku terima perjodohan itu. Aku juga udah capek harus kenalan sama cowok baru, melakukan pendekatan, dan nanti berakhir di selingkuhi”

Urfi menghela napas pelan, kembali menghadap cermin. Membicarakan tentang perselingkuhan membuat dada Uri sesak kembali, Urfi sudah lelah menghadapi pengkhianatan. Sudah berkali-kali dirinya di khianati oleh orang yang dia cintai. Urfi mencuci tangannya dengan sabun, matanya berfokus menatap tangannya yang di aliri air keran.

Tania terdiam, dia mengikuti Urfi, mencuci tangannya juga. Sejauh ini, Urfi memang kurang beruntung dalam percintaan. Setiap laki-laki yang berpacaran dengan Urfi selalu berselingkuh, dan rata-rata selingkuhannya itu Hana, adik Urfi sendiri. Dan yang paling menyakitkan mungkin Razi, laki-laki itu sudah melamar Urfi, dan tetap saja Razi bermain api di belakang Urfi. Lebih parah lagi hubungan gelap itu berjalan sudah setahun, mereka berhubungan badan di belakang Urfi.

Urfi mematikan keran, tangannya bergerak mengambil tisu untuk mengelap tangannya. “Gahar bukan pilihan yang buruk” ucapnya.

Tania menatap Urfi. “Pak Gahar memang bukan pilihan yang buruk, Fi. Tapi gimana sama perasaan kamu? Apa kamu punya rasa sama dia?”

Urfi terdiam beberapa saat, kemudian menatap Tania. “Perasaan itu akan tumbuh perlahan”

Tania menggelengkan kepalanya. “Enggak. Perasaan nggak bisa tumbuh kalau nggak di usahakan, Fi”

“Aku akan usaha Tania, aku akan usaha buat terima Gahar, dan aku akan berusaha menumbuhkan perasaan itu buat dia”

“Gimana sama Pak Gahar? Kamu tahu gimana perasaan dia sama kamu?”

Urfi menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu” jawabnya ragu. Urfi tidak tahu bagaimana perasaan Gahar, dan dia tidak pernah menanyakannya. Urfi hanya tahu jika Gahar begitu ingin mereka menerima perjodohan dari kedua orang tua mereka.

Tania mengangguk. “Oke. Biar aku yang cari tahu. Pak Gahar harus melewati seleksi dari aku, Fi. Aku harus mastiin terlebih dahulu sebelum kamu memutuskan buat nikah sama dia. Aku harus tahu orang seperti apa yang di jodohkan sama kamu, Fi”

********

Tania melipat kedua tangannya di dada, matanya menatap Gahar yang duduk di depannya. Sehabis mereka selesai bekerja, Tania memaksa Urfi untuk membuat janji temu dengan Gahar. Tania ingin memastikan sendiri, apa Gahar menerima perjodohan itu untuk bermain-main atau memang berniat serius dengan Urfi. Di dengar dari cerita Urfi, niat awal orang tuanya ingin menjodohkan Hana dengan Gahar. Tapi, Gahar lebih memilih Urfi, cukup ada perbedaan dari pacar Urfi sebelumnya yang berakhir berselingkuh dengan Hana.

“Tan, kayaknya nggak perlu sampai gini, deh” Urfi memegangi lengan Tania, dia duduk di sebelah Tania.

Tania menoleh ke arah Urfi. “Stt, Kamu diam aja, Fi. Ini bagian aku” ucapnya, kemudian kembali menatap Gahar.

Gahar duduk dengan santai, kedua lengan kemejanya di lipat hingga sikut, sementara jasnya di lampirkan ke kursi yang dia duduki. “Kalian mau pesan apa?” tanyanya, sama sekali tidak merasa gugup ketika Tania terus menatapnya.

“Saya nggak mau di sogok dengan makanan, ya, Pak! Walaupun Bapak atasan Saya, Bapak harus tetap melewati penilaian Saya. Saya nggak mau kalau sahabat terbaik Saya di sia-siain sama laki-laki brengsek lagi” ucap Tania tegas, dia tidak akan tergoda dengan tawaran makan dari Gahar.

Gahar mengangguk singkat. “Iya, Saya tahu, tapi kalau kamu nggak mau di usir dari sini, kamu harus pesan makanan” jelasnya.

Mereka sedang berada di sebuah restoran, dan mereka tentu harus memesan makanan, jika tidak, maka mereka akan di usir satpam. Gahar mengangkat tangannya memanggil waitress, hendak memesan makanan. Waitress menghampiri meja mereka, memberikan buku menu, satu ke Gahar, dan satu lagi ke Tania dan Urfi.

Gahar memesan makanan untuknya yang kemudian di catat waitress. Gahar beralih menatap Tania dan Urfi, menunggu dua orang itu menyebutkan pesanannya. Tania membolak-balik buku menu, matanya melebar melihat harga dari tiap menu yang ada di sana. Makanan paling murah di sini di patok harga 200.000. Wajar sebenarnya karena mereka sedang makan di restoran steak terkenal.

“Samain aja pesanannya” ucap Tania kemudian, menutup kembali buku menu.

“Baik, untuk pesanannya 3 Ausie Sirloin Steak medium rare, dan minumannya ChardonnayWaitress mengulang kembali pesanan, setelah Gahar mengangguk, waitress itu bergerak meninggalkan meja mereka.

Mendengar kata Chardonnay, Tania kembali membuka buku menu, mencari daftar minuman. Saat menemukan Chardonnay, mata Tania kembali melebar. “Bapak mau bikin kami mabuk?” tuduhnya.

“Minum sedikit nggak akan bikin mabuk, kadar alkoholnya ringan. Lagian white wine minuman yang cocok dihidangkan sama steak” jelas Gahar.

Tania mendekatkan wajahnya ke Urfi. “Kamu pernah minum kardon kardon itu, Fi?” tanyanya sedikit berbisik.

Urfi melirik Gahar sekilas, kemudian ikut berbisik di telinga Tania. “Aku baru pertama kali dengar namanya” Urfi belum pernah meminum wine sama sekali, jadi dia tidak tahu dengan minuman yang di pesan Gahar.

Gahar tetap mendengar pembicaraan antara Tania dan Urfi meskipun mereka berbisik, jarak mereka dekat dengan Gahar. “Kalian bisa pesan minuman lain___”

“Nggak usah” potong Tania cepat. “Saya pernah minum-minuman kayak gitu, ya, walaupun nggak sering. Sesekali aja pas Saya ke bar

Gahar melirik Urfi. “Kamu pernah ke bar juga, Fi?” tanyanya.

Urfi menggelengkan kepalanya cepat, walaupun dia berteman dengan Tania, dia tidak pernah ikut Tania ke bar. “Enggak. Aku nggak pernah ke bar, kan, Tan?”

Tania tampak berpikir. “Pernah, Fi. Pas kamu putus cinta, kita ke bar”

Urfi mencubit lengan Tania, membuat perempuan itu mengaduh kesakitan. Urfi menatap Gahar sambil tersenyum kaku. “Sekali doang, Pak. Habis itu nggak pernah lagi”

Kenapa Urfi harus menjelaskannya kepada Gahar? Urfi tidak perlu menjelaskan bukan, Gahar bukan siapa-siapanya. Ah, Urfi lupa, sekarang Gahar pacarnya, pasti itu yang membuat Urfi refleks menjelaskannya. Kalau Gahar salah paham, bisa jadi laki-laki itu melaporkannya ke orang tuanya.

Gahar menganggukkan kepalanya. “Jangan pernah ke sana lagi, Fi. Bahaya. Kalau mau ke sana, ajak aku”

Tania menatap Gahar memicing. “Ngapain ngajak Bapak? Kan ada Saya yang jagain Urfi” ketusnya.

“Udah, Tan” Urfi menutupi wajah Tania yang menatap Gahar seperti itu. “Kamu mau di pecat, huh? Gahar atasan kita” bisiknya tepat di telinga Tania.

Tania menatap Gahar dengan tatapan menyelidik. “Bapak nggak akan sangkut pautin masalah pribadi sama kerjaan, kan?”

Gahar menggeleng. “Enggak. Saya cukup profesional”

Urfi mencebikkan bibirnya. Gahar mengaku profesional, tapi baru saja di kantor dia mengatakan akan menerobos batas antara urusan pekerjaan dan pribadi. Huh, dasar, laki-laki yang tidak konsisten.

Mata Tania berbinar saat pesanan mereka di antarkan oleh waitress, sudah lama Tania tidak memakan steak. Tania langsung mencoba steak itu, sedikit memejamkan matanya saat daging yang lembut itu lumer di dalam mulutnya.

“Jangan kira Bapak sudah lolos seleksi walaupun Saya makan ini” peringat Tania, menatap Gahar sengit.

Gahar terkekeh kecil mendengar ucapan Tania. “Saya akan mengikuti proses seleksinya secara adil, dan Saya yakin Saya akan lolos” ucapnya, percaya diri.

Urfi memotong kecil steak miliknya, memasukkannya ke dalam mulut. Urfi langsung mual saat daging setengah mentah itu menyentuh lidahnya. Urfi menutup mulutnya, mencoba menelan daging itu secara paksa sampai wajahnya memerah.

Gahar yang menyadari itu berjalan mendekati Urfi, berjongkok di depannya. “Kenapa, Fi?” tanyanya panik.

Tania ikut menatap Urfi panik. “Keselek?” tanyanya, memukul-mukul pelan tengkuk Urfi. “Keluarin, Fi” suruhnya.

Urfi menggerakkan tangannya, menahan tangan Tania yang terus memukul tengkuknya. “Aku nggak kenapa-kenapa, Tan. Kamu jangan pukul terus, sakit” desisnya. Tengkuk Urfi terasa sakit, dan dia juga jadi kesulitan menelan daging yang sudah masuk ke tenggorokannya.

“Terus kamu kenapa?” tanya Tania, memberikan gelas minuman kepada Urfi.

Urfi meneguk minuman yang diberikan Tania, sedikit mengernyit saat minuman itu mengalir di tenggorokannya. Gahar menjauhkan gelas itu dari Urfi. “Jangan minum ini, aku pesanin minuman lain”

“Udah di minum” jawab Urfi. Dia sudah menelan sedikit minuman dari gelas itu. Sudah terlanjur juga.

Gahar menatap Urfi, mengusap-usap punggungnya lembut. “Kenapa tadi?” tanyanya.

Urfi menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, Pak. Dagingnya kurang matang, Saya nggak suka”

Tania bernapas lega. “Aku kira kamu kenapa, Fi! Steak-nya setengah matang, ya, aku lupa kalau kamu nggak suka daging setengah matang”

“Aku pesanin yang baru aja, ya?”

Urfi menahan tangan Gahar, menggelengkan kepalanya. “Jangan, Pak. Saya makan yang ini aja”

“Kalau kamu nggak suka, jangan di paksa, Fi”

Tania mengangguk menyetujui perkataan Gahar. “Iya, Fi. Nanti punya kamu biar aku yang ngabisin kalau kamu takut mubazir. Kamu pesan yang baru aja” Tania menarik piring punya Urfi ke mejanya. Tania akan menghabiskan keduanya, perutnya bisa menampung makanan sebanyak ini, apalagi steak, sayang kalau terbuang.

Tania mendekatkan badannya kepada Urfi, matanya menatap Gahar yang menjauhi mereka, laki-laki itu ingin memesan makanan yang baru buat Urfi. “Dia lolos” bisiknya.

Urfi menoleh, mengernyitkan dahinya. “Semudah itu?”

Tania mengangguk. “Aku bisa lihat kalau dia naksir sama kamu, Fi. Dia juga perhatian sama kamu”

“Razi juga perhatian sama aku awalnya, Tan”

“Kalau kamu terus jadiin Razi bahan perbandingan buat semua laki-laki yang dekatin kamu. Aku yakin kamu nggak akan bisa jalin hubungan yang baru sama orang baru, Fi. Jangan berpatokan sama masa lalu, okey?”

*******

KU PELUK LUKA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang