Tania menghela napas pelan, menatap Urfi yang terduduk dalam diam. Perempuan itu duduk dengan memeluk kakinya sendiri, tatapannya kosong, bibirnya terkatup semenjak Urfi tiba di rumahnya beberapa jam yang lalu. Tania tidak tahu apa yang terjadi kepada Urfi. Perempuan itu datang ke rumahnya dengan keadaan telapak kaki terluka, dan tidak membawa dompet maupun ponsel.
Tania sempat terkejut saat Urfi datang menaiki taksi, dan sopir taksi mengetuk pintu rumahnya, memberi tahunya jika temannya ada di dalam mobil, belum membayar taksi yang di tumpangi. Tania menemukan Urfi termenung di dalam mobil taksi, matanya sembab, dan tidak mengenakan alas kaki.
Satu-satunya kalimat yang Urfi keluarkan ketika Tania membawanya masuk ke dalam rumah hanya jangan kasih tahu Mama. Hanya kalimat itu yang Urfi ucapkan, setelahnya Urfi tidak lagi berbicara. Bahkan ketika Tania membersihkan kaki Urfi yang berdarah, dia tetap diam saja. Ketika kakinya terluka cukup parah, Urfi tidak meringis kesakitan, seakan rasa sakit di dalam hatinya jauh lebih menyakitkan dari pada luka di kakinya.
Tania kembali menghela napas, bangkit dari duduknya di tepi kasur. “Kamu istirahat aja, Fi. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil aku aja. Aku keluar sebentar” ucapnya.
Jangankan menjawab, melihat ke arahnya saja tidak. Urfi terus menatap ke depan, seakan ada satu titik di depannya yang menarik perhatiannya. Tania melangkahkan kakinya keluar kamar, menutup pintu, membiarkan Urfi di sana. Urfi mungkin butuh waktu sendiri untuk berpikir.
“Gimana sama keadaan Urfi? Dia kenapa?” tanya Sri, Mama Tania. Perempuan itu terlihat cemas ketika melihat Urfi datang ke rumahnya dengan keadaan seperti itu.
Tania menggelengkan kepalanya pelan, menghela napas. “Urfi masih diam aja, Ma”
Tania juga bingung dengan apa yang Urfi alami, dan kenapa Tania tidak boleh memberitahu Mama Urfi tentang keberadaannya. Apa Urfi bertengkar dengan Mamanya? Terdengar mustahil, Urfi, anak yang penurut tidak pernah sekalipun membangkang Mamanya, tidak ada alasan yang membuat Urfi bertengkar dengan sang Mama. Lalu, apa yang terjadi sampai Urfi menjadi seperti itu?
“Telepon Mamanya, Tania, kasih tahu kalau Urfi di sini”
Tania menahan tangan Mamanya, menggelengkan kepalanya. “Enggak, Ma. Urfi nggak mau Mamanya tahu kalau dia di sini”
Sri menatap pintu kamar di mana Urfi berada dengan tatapan kasihan. Hatinya ikut terluka melihat Urfi sekarang, Urfi sudah dia anggap seperti anaknya sendiri. “Yaudah, kalau memang Urfi nggak mau orang tuanya tahu”
Sri beralih menatap Tania, menepuk bahu anaknya itu. “Kasih tahu Mama kalau Urfi butuh sesuatu”
Tania mengangguk. “Iya, Ma”
Tania menatap nanar pintu kamar yang tertutup, menghela napas sekali lagi sebelum menjauh. Urfi terlalu sering menangis, Tania tidak tega melihatnya. Jika Tania berada di posisi Urfi, Tania tidak akan sanggup bertahan hidup. Urfi seperti di terpa badai berkali-kali.
Tania terduduk di sofa, menatap layar ponselnya yang berdering sedari tadi. Ada panggilan masuk dari Linda, Tania membiarkannya. Sampai panggilan itu berakhir, dan Linda kembali menghubunginya. Tania bergerak pelan, mengambil ponselnya yang di taruh di sofa, sebelahnya. Tania menghela napas panjang sebelum mengangkat telepon dari Linda.
“Halo, tante. Apa kabar, Tan?” Tania menyapa dengan girang, bersikap seolah tidak tahu apa-apa.
“Halo, Tania. Urfi ada hubungi kamu?”
“Enggak, tan. Kenapa memangnya, Tan? Urfi nggak di rumah?”
Linda menghela napas kasar di ujung sana. “Kalau Urfi ke tempat kamu atau hubungi kamu, kasih tahu tante ya, Tania. Tante minta tolong”
“Iya, Tan”
Sambungan telepon di putuskan oleh Linda. Dari suara Linda, Tania tahu jika Linda sehabis menangis, suaranya terdengar serak. Apa Urfi benar bertengkar dengan Linda?
************
“Kamu nggak tidur semalam, Fi?” Tanya Tania, menatap Urfi yang masih berada di posisinya ketika Tania meninggalkan kamar.
Urfi masih terus termenung, menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong, memeluk kakinya sendiri. Tania melihat air mata yang sudah mengering di sudut mata Urfi, dan matanya sembab, Urfi menangis lagi semalam. Tania yakin jika air mata Urfi sudah habis terkuras.
Tania mengelus lutut Urfi dengan lembut. “Aku mau ke kantor dulu, ya, Fi. Nanti kalau kamu butuh sesuatu, ada Mama di luar. Jangan berdiam diri di kamar terus, Fi. Istirahat bentar, ya, nanti di sambung lagi sedihnya”
Urfi masih tidak menjawab, Tania menghela napas pelan. Dia tahu kesedihan tidak bisa diberhentikan seenak mereka, dan di sambung ketika mau, tidak akan bisa. Tania bangkit dari duduknya, dia harus berangkat bekerja meskipun sedikit berat meninggalkan Urfi sendirian.
“Maaf, Fi. Aku nggak bisa nemenin kamu. Nanti aku pulang cepat dari kantor. Kamu mau aku bawain apa, Fi?”
Urfi tidak menjawab, bibirnya tertutup rapat. Tania tersenyum tipis. “Nanti aku minta Mama buat bikinin kamu bolu kelapa, deh” ujarnya, berbicara sendirian.
Tania melangkahkan kakinya keluar kamar, di sambut oleh Mamanya yang kembali menunggu di depan pintu. Tania menggelengkan kepalanya kepada Sri, seakan mengatakan Urfi masih belum bisa di ajak bicara. Sri menghela napas pelan, mengusap punggung Tania.
“Kamu berangkat kerja aja, nanti telat. Urfi biar Mama yang urus”
Tania mengangguk, dia harus segera berangkat, sekarang sudah pukul 7.45, dan Tania harus sampai di kantor pukul 8 pagi. “Nanti bikinin Urfi bolu kelapa bisa nggak, Ma?”
Sri mengangguk. “Nanti Mama bikinin”
Tania melenggang meninggalkan Sri, keluar rumah. Tania harus tetap bekerja, mungkin sepulang kantor dia bisa kembali menemani Urfi. Mana tahu, nanti Urfi sudah mau di ajak bicara. Tania mengendarai motornya menuju kantor, memarkirkannya di parkiran.
Tania menyapa beberapa karyawan yang dia lewati di lobi kantor. Tania sedikit termenung ketika dia berada di dalam lift. Apa dia harus memberitahu Gahar tentang keadaan Urfi? Gahar pasti tidak bisa menghubungi Urfi karena perempuan itu meninggalkan ponselnya. Tania menggelengkan kepalanya, tidak, jika Gahar peduli kepada Urfi, dia akan mencari keberadaan Urfi jika memang tidak bisa di hubungi.
Baru saja Tania memikirkan Gahar, dia melihat laki-laki itu berada di ruangan Divisi Product Development, di ruangan Bu Betty. Tania melangkahkan kakinya ke meja kerjanya, dari sudut matanya dia bisa melihat jika Gahar sesekali melirik meja kerjanya, lebih tepatnya meja kerja Urfi yang kosong. Ah, Tania harus membuat surat izin Urfi kepada Bu Betty.
“Urfi ke mana, Tania?”
Tania terkejut mendengar suara Gahar, laki-laki itu sudah berdiri di dekatnya, matanya menatap meja Urfi, belum ada tanda-tanda kedatangannya. Padahal sekarang sudah pukul 8.20, seharusnya semua karyawan sudah datang ke kantor.
“Saya nggak bisa menghubungi Urfi, dia harus melaporkan progress produknya ke Saya”
Progress produk hanya alasan Gahar untuk menanyakan keberadaan Urfi, mengingat jika sekarang dia berada di ruangan yang ada karyawan lain. Jika Gahar menanyakan keberadaan Urfi tanpa alasan, maka karyawan akan merasa curiga.
Tania menengadahkan kepalanya, menatap Gahar. “Urfi nggak masuk, Pak”
Dahi Gahar berkerut. “Kenapa? Dia nggak ngabarin Saya..” Gahar menggelengkan kepalanya, dari semalam Gahar tidak bisa menghubungi Urfi. Pesan yang dia kirim tidak di balas, dan teleponnya tidak di angkat. Gahar mengira Urfi sudah tidur semalam. “Urfi sakit?” tanyanya.
Tania menghela napas pelan, mengambil kertas kosong, menulis sesuatu di sana. Tania menuliskan alamat rumahnya, memberikan kertas itu kepada Gahar. “Bapak bisa datang ke sini, nanti Saya kasih tahu Mama Saya buat izinin Bapak masuk”
Dahi Gahar semakin berkerut. “Ngapain Saya ke sin..”
“Bapak mau tahu keberadaan Urfi, kan?” Gahar menganggukkan kepalanya. “Dia di sana” tambah Tania.
*********
Gahar mengetuk pintu rumah di depannya, dia sudah sampai di alamat yang diberikan Tania. Gahar merasa sedikit cemas menunggu orang di dalam rumah membukakan pintu. Tania sama sekali tidak memberitahunya alasan Urfi berada di rumahnya, dan tidak masuk bekerja. Tania hanya mengatakan jika Gahar bisa menemui Urfi di sini.
Gahar tersenyum saat seorang perempuan paruh baya membukakan pintu untuknya, pasti itu Mama Tania. “Selamat siang, tante”
Sri tersenyum. “Pacar Urfi, ya?”
Gahar menganggukkan kepalanya. Sri langsung tahu siapa dirinya karena Tania sudah memberitahu Sri jika akan ada laki-laki yang datang ke rumah untuk menemui Urfi, dan itu pacar Urfi.
“Mari Saya antar ke kamar Urfi” Sri membukakan pintu lebih lebar, memberikan Gahar jalan untuk masuk ke dalam rumah.
“Dari tadi Saya bujuk Urfi buat keluar kamar, dia nggak mau keluar” beri tahu Sri. Dia sudah mengantarkan sarapan ke kamar, dan Urfi tidak berminat untuk sekedar melihat sarapan yang Sri berikan. “Mungkin kalau kamu yang bujuk, Urfi mau”
Gahar mengernyitkan dahinya. “Urfi kenapa, Tan?”
Sri tersenyum tipis. “Kamu ke dalam aja, ya” suruhnya. “Urfi di dalam kamar” Sri berhenti tepat di depan pintu kamar di mana Urfi berada. “Tante tinggal dulu”
Gahar menganggukkan kepalanya. Meskipun masih bingung, tangan Gahar bergerak membuka pintu kamar. Gahar melihat Urfi yang meringkuk di atas kasur, memeluk kakinya sendiri. Gahar melangkah masuk, menutup kembali pintu kamar.
“Urfi” panggil Gahar, duduk di tepi ranjang.
Tangan Gahar bergerak meraih wajah Urfi, mata perempuan itu sembab. “Astaga, Urfi. Kamu kenapa?” tanyanya lembut.
Urfi mengalihkan pandangannya, menatap Gahar dengan mata berkaca. Urfi tidak menyangka jika dia bisa melihat Gahar, Urfi kira dia tidak akan bisa bertemu Gahar lagi karena Gahar akan dijodohkan dengan Hana. “Gahar” lirihnya dengan suara serak.
Gahar menarik Urfi ke dalam pelukannya, mengusap punggung Urfi. Gahar memejamkan matanya mendengar isak tangis Urfi yang pecah, hatinya mendadak perih. “Maafin aku, Fi. Aku nggak cariin kamu langsung ke rumah”
Gahar menyesal karena tidak mengunjungi rumah Urfi saat perempuan itu tidak membalas pesannya. Harusnya Gahar curiga, Urfi selalu membalas pesan darinya, tidak mungkin Urfi membiarkan pesan itu dari malam sampai pagi.
Urfi menggelengkan kepalanya, membenamkan wajahnya di dada Gahar. Air matanya kembali meloloskan diri setelah sebelumnya mengering. Air mata Urfi berlomba-lomba keluar, tidak pernah habis meskipun Urfi sudah menangis berulang kali.
“Aku anak angkat, Har” lirih Urfi, dadanya terasa sesak, seakan batu besar menohok jantungnya.
Gahar sampai menitikkan air mata mendengar tangisan Urfi yang terdengar pilu. “Kata siapa, Fi?” tanyanya lembut.
“Papa” jawab Urfi, sesenggukan.
Gahar memejamkan matanya, memeluk erat tubuh Urfi. Urfi pasti sangat menderita mengetahui jika dirinya bukan anak kandung, apalagi dari mulut Papanya sendiri. Selama ini, Gahar juga meyakinkan Urfi jika dia anak kandung kedua orang tuanya.
Gahar merenggangkan pelukannya, mengusap air mata Urfi yang membasahi pipinya, bibir perempuan itu bergetar hebat, hidungnya memerah. “Jangan nangis lagi, nggak apa-apa kalau kamu anak angkat, Fi. Yang terpenting orang tua kamu sayang sama kamu”
Urfi menggelengkan kepalanya. “Kenapa baru sekarang aku tahu, Gahar? Kenapa sekarang?” Urfi memukul-mukul dadanya yang terasa begitu sesak.
Gahar menahan tangan Urfi. “Hei, lihat aku! lihat aku, Fi!” Gahar memaksa Urfi untuk menatap matanya. “Nggak masalah kamu tahunya sekarang, Fi. Mereka akan tetap jadi orang tua kamu karena kamu dibesarkan sama mereka, Fi. Mereka pasti sayang sama kamu, makanya nggak ngasih tahu kamu, Fi. Mereka nggak ngasih tahu kamu karena takut kayak gini, kamu jadi sedih kayak gini”
Urfi terdiam, Linda mungkin memang tidak ingin Urfi sedih. Tapi, Wandi, sepertinya Wandi tidak peduli jika Urfi merasa sedih. Urfi sedih bukan karena kenyataan jika dirinya anak angkat, melainkan dia tahu kebenarannya dengan cara yang menyakitkan.
Gahar menghela napas pelan, mengusap pipi Urfi. Tangan Gahar bergerak menggenggam tangan Urfi, dahinya berkerut saat menyadari sesuatu. Gahar mengangkat tangan kiri Urfi, membelai jari manis Urfi yang sudah kosong. “Cincin kamu ke mana, Fi?"
“Cincin itu bukan punya aku lagi” Urfi menundukkan kepalanya.
“Kenapa bukan punya kamu? Kan aku ngasih buat kamu”
Urfi menggelengkan kepalanya. “Aku nggak pantas buat kamu, Gahar. Aku hanya anak angkat, kamu lebih pantas sama Hana”
Gahar menghela napas, memegangi kedua bahu Urfi. “Mau kamu anak angkat atau pun anak kandung, aku nggak peduli, Fi. Aku cinta sama kamu, yang aku butuhin kamu, bukan status kamu di keluarga Wijoyo"
Urfi mengangkat kepalanya, menatap Gahar lekat. “Hana mau dijodohkan sama kamu, Gahar”
Gahar menggelengkan kepalanya. “Mau aku di jodohin sama siapa pun, aku nggak akan mau kalau memang bukan sama kamu, Fi. Aku nggak peduli sama perjodohan, aku sayangnya sama kamu, cintanya sama kamu, masa aku nikah sama orang lain, Fi. Aku lebih baik melajang seumur hidup kalau nggak nikah sama kamu”
“Jangan pernah kasih aku ke siapa pun, aku milik kamu. Aku sedih kalau kamu kasih aku ke orang lain segampang itu, Fi. Kan mereka yang mau jodohin aku, bukan aku yang mau dijodohin sama Hana"
“Maaf, Gahar”
Gahar tersenyum, membelai wajah Urfi. “Kali ini aku maafin, lain kali jangan kasih aku ke orang lain, Fi. Aku berjuang buat dapatin kamu, masa pas udah dapat, aku main dikasih gitu aja ke orang lain”
Gahar menggenggam tangan Urfi, mengusapnya dengan jari. Gahar sedikit menunduk, menatap jari Urfi yang kembali kosong. “Nanti cincinnya aku ambil lagi, atau mau aku ganti sama yang baru?”
Urfi menggelengkan kepalanya. “Nggak usah”
Gahar menarik Urfi ke dalam pelukannya. “Langsung ganti cincin nikah aja, ya”
********
KAMU SEDANG MEMBACA
KU PELUK LUKA (Tamat)
ChickLit(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE SECARA ACAK) Kehidupan Urfi yang penuh dengan luka, di tinggalkan oleh Ibunya di panti asuhan ketika bayi. Saat Urfi umur 3 tahun dirinya di adopsi oleh Ibu kandungnya yang sudah menikah...