BAB 14

2.3K 86 0
                                    

Urfi terus memandangi jari manisnya sambil tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Urfi terus memandangi jari manisnya sambil tersenyum. Bahkan ketika mobil Razi sudah beranjak dari taman, pandangan Urfi tidak pernah lepas dari jarinya. Cincin yang melekat di jarinya itu begitu indah.

Razi melirik Urfi yang duduk di sebelahnya, Urfi tampak begitu senang, hal itu membuat Razi ikut merasa senang.

“Kamu mau lihatin cincinnya sampai kapan, sayang?” tanya Razi.

Urfi menoleh sekilas, kemudian kembali menatap cincin di jarinya itu. “Sampai puas” jawabnya, bibir Urfi tidak pernah berhenti tersenyum. “Atau, nggak akan puas” sambungnya.

Sepertinya Urfi akan terus memandangi cincin itu, Urfi tidak akan pernah puas menatap jari manisnya. Perasaan yang Urfi rasakan beberapa menit yang lalu masih melekat erat di dada Urfi, perasaan haru nan bahagia itu masih terasa jelas, seakan baru terjadi beberapa detik yang lalu.

“Ah, kayaknya aku salah deh ngasih kamu cincin”

Urfi menoleh kepada Razi, dahinya berkerut. “Salah kenapa?” tanyanya bingung.

Razi menoleh, mencolek hidung Urfi singkat. “Karena kamu lebih fokus ke cincinnya dari pada aku” ucapnya, terkekeh.

Urfi tersenyum malu, Razi selalu berhasil membuatnya salah tingkah. “Yaudah, sekarang aku lihatin kamu” Urfi menaruh tangannya di paha, matanya terus menatap Razi yang sedang menyetir. Urfi melihat jika kini Razi ikutan salah tingkah.

“Kalau kamu natap aku kayak gitu, aku bisa nabrak, sayang”

Urfi tergelak. “Tadi kamu cemburu pas aku natap cincin”

Razi menoleh sambil tersenyum. “Tatapan kamu bikin aku mabuk, sayang. Bisa nggak kalau natapnya jangan di bikin manis kayak gitu?”

“Terus aku natap kayak gimana?” tanya Urfi bingung.

Razi menggeleng. “Tatap kayak gitu aja, aku nggak apa-apa mabuk, asal di mabuk kamu”

Urfi merasakan pipinya memanas, segera Urfi memalingkan mukanya ke arah lain. Razi tersenyum saat menyadari jika Urfi kembali di buat salah tingkah olehnya.

Razi memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Urfi, menoleh ke samping, Urfi masih menatap ke arah kaca. “Nggak mau turun, sayang?” tanyanya.

Urfi menoleh kepada Razi. “Udah sampai aja, ya” gumam Urfi sedikit kecewa, masih belum mau jika harus berpisah dengan Razi.

Razi mengangguk, tangannya bergerak menggenggam tangan Urfi. “Apa besok aku nggak usah bantuin Hana dulu? Biar besok kita bisa ketemu lebih lama”

Urfi menggeleng. “Jangan, kasihan Hana” Urfi tidak boleh egois, harus memikirkan Hana yang juga membutuhkan bantuan Razi untuk menyelesaikan skripsinya. “Lagian aku udah di buat bahagia hari ini” Urfi mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan cincin yang melekat di jari manisnya.

Razi tersenyum, mencondongkan tubuhnya ke arah Urfi, mencium pacarnya itu. Razi melumat bibir Urfi, perempuan yang begitu dirinya cintai. Razi tidak tahu apa yang akan terjadi jika Urfi tahu dirinya berselingkuh dengan Hana, adik Urfi. Razi tidak akan membiarkan Urfi tahu tentang itu. Sebelum Urfi tahu, Razi harus menyelesaikan hubungannya dengan Hana. Walaupun tidak akan mudah, Razi akan mencari cara untuk memutuskan Hana.

Urfi mendorong tubuh Razi dengan tangannya, dorongan yang pelan. Urfi menatap wajah Razi yang begitu dekat dengannya sambil tersenyum. “Nanti orang rumah curiga kalau kita berduaan di dalam mobil lama-lama” ucapnya.

Razi tersenyum, dia lupa jika sekarang mobilnya sudah di depan rumah Urfi. Razi menjauhkan tubuhnya, membenarkan posisi duduknya. “Aku kelepasan”

Urfi mengangguk. “Nggak apa-apa, aku suruh kamu berhenti karena udah di depan rumah aja, nggak enak kalau ada yang lihat”

“Jadi, kalau nggak di depan rumah bisa lama-lama?” goda Razi.

Urfi memukul lengan Razi. “Nggak gitu juga” ucapnya malu.

Razi tergelak. “Yaudah, sana masuk lagi. Apa aku ikut turun juga? Sekalian nyapa Mama sama Papa kamu”

Urfi melirik ke arah pintu rumah yang tertutup, kemudian menggeleng. “Enggak usah deh, udah kemalaman juga”

Benar juga. Sekarang sudah pukul 10.15, orang di rumah pasti sedang beristirahat, bersantai atau mungkin sudah ada yang tidur. Setelah berpamitan kepada Razi, Urfi turun dari mobil dengan membawa buket mawar pemberian Razi. Mungkin, nanti bunga mawar itu akan Urfi awetkan supaya bisa dia simpan sebagai kenang-kenangan dalam waktu yang lama.

Urfi melangkahkan kakinya memasuki rumah, mata Urfi mengedar ke arah sofa ruang tamu saat mendengar suara gelak tawa dari sana. Urfi melihat jika di sana, Wandi sedang bercanda dengan Hana, ada Linda juga. Sepertinya keluarganya itu belum tidur, masih menonton televisi bersama.

“Mama ingat nggak pas Hana umur 1 tahun dia mulai bisa jalan, terus Hana jatuh dan menangis, mulutnya berdarah” ucap Wandi, mengenang masa kecil Hana.

“Mama ingat banget, pas itu Papa panik langsung bawa Hana ke rumah sakit, dan sampai sana ternyata mulut Hana berdarah karena gigi susunya copot kena lantai” jawab Linda, sedikit tertawa mengingat suaminya yang begitu panik dengan kondisi Hana.

Hana hanya tertawa saja, dirinya sama sekali tidak mengingat kejadian itu. “Tapi, Papa kenapa nggak ngecek gigi Hana dulu”

“Papa udah panik sayang, takut anak kesayangan Papa kenapa-kenapa” Wandi menoleh kepada Hana, anaknya itu bersandar di bahunya.

Hana tertawa, Wandi begitu menyayanginya. Wandi tidak akan membiarkan Hana terluka, Papanya itu akan memastikan jika Hana aman selama tumbuh kembangnya.

“Eh, udah pulang, sayang?” sapa Linda saat menyadari jika Urfi berdiri tidak jauh dari mereka.

Urfi yang terdiam di posisinya berdiri, tersenyum, semua mata orang yang ada di ruang tamu menatapnya. Urfi melangkahkan kakinya mendekati sofa, belum sampai Urfi di sana, Wandi sudah terlebih dahulu bangkit dari duduknya.

“Papa mau tidur dulu, udah ngantuk aja nih” ucap Wandi, melangkah meninggalkan sofa ruang tamu, bergerak menaiki tangga, menuju kamarnya.

Hana tersenyum dalam hati ketika melihat Urfi yang terdiam, melihat wajah penuh kecewa Urfi membuat Hana merasa senang. Tapi, mata Hana berhenti pada buket bunga yang di peluk Urfi. Apa itu dari Razi? Laki-laki itu mengatakan jika hari ini sedang menjemput Urfi, sudah pasti jika Urfi mendapatkan bunga itu dari Razi.

“Papa, Hana ikut dong!” teriak Hana, menyusul Wandi yang sudah menaiki tangga.

“Ayo, sayang” ajak Wandi, menghentikan langkah kakinya, menunggu Hana menyusul. Saat Hana sudah sampai di anak tangga di mana dirinya berdiri, mereka menaiki tangga beriringan.

Urfi melihatnya, melihat bagaimana kedekatan antara Wandi dan Hana, kedekatan seorang ayah dan anak yang belum pernah Urfi rasakan. Wandi tidak pernah memperlakukan Urfi seperti itu, bohong jika Urfi tidak merasa cemburu, Urfi juga ingin merasakan kasih sayang dari seorang Papa, ingin menyender di pundak sang Papa.

Tapi, keinginan itu tidak akan pernah Urfi dapatkan, kasih sayang Wandi hanya untuk Hana. Mungkin saja, Urfi tidak di anggap anak, atau karena Urfi kakak Hana, jadi Urfi tidak membutuhkan perhatian dari Wandi.

Linda menatap Urfi, paham betul apa yang di rasakan oleh anaknya itu. Linda menarik bibirnya untuk tersenyum, meskipun hatinya ikut merasa sakit melihat Wandi yang masih tidak mau memberikan sedikit perhatian untuk Urfi. “Bunga dari siapa ini?” tanyanya, menghampiri Urfi yang berdiri beberapa langkah dari sofa.

Urfi menarik matanya menatap Linda yang sudah berdiri di depannya, menarik bibirnya untuk tersenyum. “Dari Razi, Ma” ucapnya dengan mata berkaca.

Linda bergerak memeluk Urfi, mengusap punggung anaknya itu. Bertahun-tahun Urfi bertahan bersama keluarganya, selama itu Urfi belum menerima kasih sayang seorang ayah. Seberapa keras pun usaha Linda untuk menggantikan peran Wandi, tetap saja akan berbeda rasanya. Linda hanyalah seorang ibu, dan tidak akan pernah bisa menggantikan peran ayah untuk Urfi.

“Papa tadi capek banget habis kerja, makanya langsung ke atas buat tidur. Tadi Papa nonton dulu di bawah sama Mama dan Hana buat nungguin kamu, pas kamu pulang Papa udah tenang, baru deh ke kamar” bohong Linda, menenangkan hati Urfi.

Urfi merenggangkan pelukan Linda, menganggukkan kepalanya, dia tahu jika Linda berusaha menutupi yang sebenarnya. Jika Wandi benar-benar menunggu Urfi, seharusnya Wandi menanyakan alasan Urfi pulang lebih lama. “Urfi ngerti, Ma. Papa pasti capek”

Linda tersenyum. “Ada acara apa tadi di luar? Mama kira kamu lembur nggak sampai jam segini, atau habis dari kantor, Razi nyulik kamu dulu” candanya.

Urfi tertawa, memperlihatkan jari manisnya kepada Linda. “Razi lamar aku, Ma” beri tahunya, tersenyum senang.

“Selamat, sayang” sorak Linda, ikut merasa senang. “Akhirnya, ya, diresmiin juga nih. Kapan Razi mau bawa orang tuanya ke rumah?”

Urfi tersenyum lebar. Linda lebih antusias dari pada dirinya. “Dalam waktu dekat, Ma. Razi mau bicarain dulu sama orang tuanya buat datang ke sini”

“Apa pun itu, Mama ikut senang. Bilangin ke Razi jangan lama-lama. Mama udah nggak sabar menimang cucu”

Urfi tergelak, pikiran Linda sudah terlalu jauh. Razi baru melamarnya, dan Linda sudah memikirkan menimang cucu. “Doain supaya lancar aja, ya, Ma, niat serius Razi ke Urfi”

Linda mengangguk. “Pasti sayang, doa Mama selalu mengiringimu. Apalagi ada laki-laki yang datang berniat serius sama kamu, Mama akan dukung. Bilang sama Razi, kalau dia butuh bantuan, Mama akan bantu, tinggal hubungi Mama aja”

Urfi tersenyum, menganggukkan kepalanya. Setidaknya, dia punya Linda, sosok Mama yang selalu ada untuknya, selalu merasa bangga dengannya, ikut bahagia ketika Urfi bahagia. Kasih sayang dari Linda sudah lebih dari cukup, Urfi tidak boleh serakah dengan menginginkan kasih sayang yang lebih dari Wandi. Urfi harus membagi kasih sayang orang tua mereka dengan Hana juga, karena Urfi bukan anak satu-satunya.

*********

KU PELUK LUKA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang