BAB 11

1.1K 48 1
                                    


Di dalam mobil hanya terdengar suara musik dari tape, dua orang yang berada di dalam mobil hanya saling diam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di dalam mobil hanya terdengar suara musik dari tape, dua orang yang berada di dalam mobil hanya saling diam. Wandi melirik Hana yang duduk di sebelahnya, anaknya itu fokus menatap layar ponsel, sesekali mendengus. Sepertinya Hana sedang kesal dengan sesuatu. Wandi memperkecil volume musik yang dia dengar, mencoba mengajak anaknya bicara.

“Kelihatannya lagi kesal, ya, anak Papa?”

Hana menoleh ke arah Wandi sekilas, kemudian melemparkan ponselnya dengan kesal ke dashboard mobil. Hanya kesal karena Razi berjanji akan menjemputnya di kampus, tapi laki-laki itu membatalkannya begitu saja dengan alasan sedang ada pekerjaan. Terpaksa Hana meminta Wandi untuk menjemputnya.

Wandi memperhatikan Hana yang memasang wajah cemberut, melipat kedua tangannya di dada. “Nggak mau cerita sama Papa?” tanyanya.

“Lagi kesal aku, Pa. Kenapa sih semua orang lebih sayang Kak Urfi dari pada aku?” tanya Hana.

“Loh, kata siapa? Papa lebih sayang kamu”

Hana menatap Wandi kesal. “Ya, itu kan Papa. Kalau orang lain enggak, mereka lebih milih Kak Urfi dari pada aku, mereka lebih sayang sama Kak Urfi”

Wandi mengusap lembut kepala Hana sebentar saat jalanan sedang sepi, kemudian kembali menarik tangannya untuk memegang setir mobil. “Kamu nggak perlu merasa cemburu sama Urfi, dia bukan saingan kamu, Hana. Urfi jauh di bawah kamu”

Hana menatap Wandi dengan alis bertaut. “Nggak mungkin Kak Urfi di bawah aku, Pa. Dia selalu mendapatkan kasih sayang yang lebih dari pada aku. Mama juga sayang banget sama Kak Urfi”

“Mama perhatian sama Urfi karena Urfi nggak punya orang tua sayang”

Hana mendengus, membuang mukanya. “Bercanda Papa nggak lucu. Jelas-jelas Kak Urfi anak Mama Papa” kesalnya. Urfi adalah kakaknya, sudah pasti Urfi anak Papa dan Mamanya. “Kecuali kalau dia anak angkat” ucapnya ngasal.

Wandi menganggukkan kepalanya, tidak ada salahnya dia memberitahu Hana kebenarannya. Hana sudah cukup besar untuk mengerti hal itu, dan sudah seharusnya Hana tahu bahwa Urfi bukan kakak kandungnya. “Urfi memang anak angkat”

Hana menoleh ke arah Wandi dengan mulut setengah terbuka, dan mata melebar, terkejut mendengar pengakuan Papanya itu. “Papa serius?”

Wandi mengangguk, melirik Hana yang terkejut. “Iya, Mama sama Papa adopsi Urfi sebelum kamu lahir sayang”

Hana tersenyum mendengar fakta itu. “Ternyata dia cuma anak angkat” gumamnya, tidak menyangka jika orang yang selama ini dia anggap sebagai kakak adalah anak angkat, anak yang di pungut oleh Mama dan Papanya. Urfi bukan saingannya, dia berada di bawah Hana.

“Kamu nggak usah merasa di saingi oleh Urfi, sampai kapan pun dia nggak akan bisa menyaingi kamu, Hana. Kamu pewaris satu-satunya di keluarga Wijoyo”

Hana tersenyum penuh arti. “Kenapa Papa baru kasih tahu aku sekarang?”

Wandi melirik Hana. “Karena Mama kamu nggak mau Urfi tahu kalau dia anak angkat”

Hana mengerti sekarang kenapa Mama begitu menyayangi Urfi, bahkan Mama terlihat lebih membanggakan Urfi karena Urfi tidak akan pernah sebanding dengannya. Mama melakukan itu pasti karena tidak ingin membuat Urfi merasa di anak tirikan.

*********

“Baru ingat jalan pulang ke rumah Gahar?” tanya Dewi, menatap Gahar yang baru masuk ke dalam rumah.

Gahar menyalami tangan Dewi, mencium punggung tangan perempuan itu. “Bukannya nggak ingat jalan pulang, Ma. Tapi, jarak kantor ke sini di banding apartemen aku lebih dekat ke apartemen”

“Jarak bukan alasan nggak pulang ke rumah, kamu yang malas karena Mama terus nanyain kapan kamu bawa calon istri ke rumah”

“Ma, jangan mulai lagi deh” peringat Gahar, merebahkan tubuhnya di atas sofa, melepaskan penat setelah membawa mobil dari kantor ke rumah.

Dewi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Gahar yang selalu menghindar saat dirinya menanyakan pasangan Gahar. Anaknya itu tidak pernah membawa perempuan ke rumah untuk di kenalkan kepadanya.

“Tumben pulang, bang” celetuk Geisha, adik Gahar, menatap heran Gahar yang berada di rumah setelah lebih dari seminggu tidak pulang-pulang.

Gahar mendelik menatap Geisha yang duduk di sofa, di dekatnya. “Kayaknya pada nggak senang aku pulang ya”

“Bukannya nggak senang, Gahar. Kamu itu udah lama nggak kelihatan di rumah” Dewi duduk di sebelah Gahar, menatap wajah Gahar yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya. “Kamu di apartemen nggak makan-makan? Udah kurus banget ini” ucapnya, menyentuh pipi Gahar.

“Makan, Ma, tapi kurang enak aja makanan di luar tuh”

“Makanya punya pacar biar ada yang urusin di apartemen, masa Mama terus yang urusin”

Gahar melemparkan bantal sofa yang ada di dekatnya kepada Geisha yang terus meledeknya. “Diam nggak!”

Geisha tergelak, melemparkan balik bantal itu kepada Gahar. Geisha rasa kakak laki-lakinya itu tidak terlalu jelek, pasti banyak perempuan yang akan tertarik kepada Gahar, tapi kenapa sampai sekarang Gahar belum membawa calon istrinya ke rumah.

“Kamu nggak nyembunyiin pacar kamu di apartemen kan?” tanya Geisha tiba-tiba.

Gahar tidak menjawab, memilih diam. Jika menjawab pertanyaan dari Geisha, maka tidak akan ada ujungnya.

“Mama malah senang kalau kakak kamu beneran nyembunyiin pacarnya di apartemen, Gei” balas Dewi. Umur anaknya itu sudah sepatutnya berkeluarga, Dewi jadi khawatir jika ternyata Gahar tidak menyukai perempuan. “Kamu masih suka perempuan kan, Gahar?” tanyanya, menuding.

Gahar menghembuskan napas panjang, dirinya masih normal. “Aku normal, Ma. Mama nggak perlu meragukan itu” Gahar sangat yakin jika dirinya normal, dulu dia juga pernah menjalin hubungan dengan perempuan, ya, walaupun hubungannya sudah kandas.

“Harus di cariin jodoh itu, Ma” Raden ikut bergabung, duduk di single sofa, di mana Geisha sebelumnya duduk. Sementara Geisha dia pindah ke sebelah Dewi.

Dewi menatap Raden. “Di cariin gimana, Pa? Orang dia tiap mau Mama kenalin ke anak teman Mama nggak pernah mau. Pusing Mama”

Gahar yang tidak menikah, tapi malah Dewi yang pusing memikirkan masa depan anaknya itu. Dewi juga ingin segera memiliki cucu seperti teman-teman arisannya yang sudah memamerkan foto cucu mereka. Di antara temannya itu, hanya Dewi yang belum memiliki cucu. Jangan kan cucu, menantu saja dia belum punya.

“Mau Papa kenalin sama anak teman Papa nggak, Har?” tanya Raden, menatap Gahar yang diam saja terduduk.

“Teman Papa yang mana, Pa?” tanya Dewi antusias.

“Teman SMA Papa dulu, Ma. Baru aja kami ketemu di kantor Papa, dia mau jalin kerja sama”

“Wah, bisa tuh, Pa. Dia punya anak perempuan, Pa?”

Raden mengangguk. “Karena punya makanya Papa tanya Gahar mau nggak di jodohin”

“Tuh, bang. Lumayan tuh nggak perlu susah-susah nyari, udah langsung di sediain” sambar Geisha, membuat Gahar memutar bola matanya kesal.

“Teman Papa yang mana ya? Mama kenal nggak?” tanya Dewi, mencoba mengingat siapa saja teman suaminya itu.

“Aku nggak...” ucapan Gahar terhenti saat mendengar nama yang di sebutkan oleh Raden.

“Wandi Wijoyo, Papa pernah nggak tuh cerita ke Mama? atau belum ada ya? Soalnya udah lama nggak ketemu sama dia”

Dewi tampak berpikir. “Kayaknya Papa belum pernah cerita ke Mama”

Gahar terdiam, mencerna kembali nama yang di sebutkan oleh Papanya, Wandi Wijoyo, Wandi Wijoyo. “Keluarga Wijoyo?” tanyanya, terkejut.

“Kenapa kaget gitu? Kamu kenal sama Wandi Wijoyo?” tanya Raden heran melihat Gahar yang terkejut mendengar nama keluarga Wijoyo.

Gahar menggeleng, dia tidak mengenal Wandi Wijoyo, tapi mengenal seseorang yang kemungkinan anak dari Wandi Wijoyo. “Nggak kenal, Pa”

“Dia punya anak satu perempuan, niatnya mau Papa jodohin sama kamu, itu pun kalau kamu mau”

Gahar mengangguk, membuat keenam mata itu menatapnya heran, tumben Gahar menyetujui rencana perjodohan orang tuanya. Gahar yang sadar jika dirinya di perhatikan mulai berbicara. “Nggak ada salahnya kan kalau mengenal dulu, kalau urusan nikah di pikirin lagi nanti, cocok atau enggaknya”

Dewi tersenyum, setidaknya Gahar mau berkenalan. “Kalau nikah mah urusan belakangan ya, Pa?” tanya Dewi, melirik Raden. “Yang penting tahu dulu orangnya siapa, mana tahu cocok”

Raden mengangguk. “Nanti Papa bicarain lagi sama teman Papa itu”

*******

 “Nanti Papa bicarain lagi sama teman Papa itu”

*******

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


KU PELUK LUKA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang