Urfi memandang lurus ke komputer di depannya, membuat materi presentasi yang akan dirinya tampilkan nanti mengenai detail dari rancangan proposalnya yang disetujui oleh Gahar.
Urfi menghela napas pelan, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, tangannya direnggangkan, melepas penat. Sudah berjam-jam Urfi terus fokus dengan layar komputernya.
“Ufi, main yok!”
Urfi menatap meja di sebelahnya, Tania menidurkan kepalanya di meja beralas tangannya sendiri, sementara tangan yang satunya lagi digunakan untuk mencolek-colek lengan Urfi.
Urfi geleng-geleng kepala melihat tingkah Tania yang terus mengganggunya. “Aku lagi kerja, Tania. Harus ngasih materi presentasinya ke Bu Betty sebelum jam makan siang”
Tania mendesah, bosan karena dirinya sedang tidak bisa memikirkan ide baru lagi. Tania menemukan jalan buntu, dia butuh teman untuk mengobrol, dengan begitu Tania bisa menemukan ide. Otak Tania bisa bekerja jika sudah bergosip ria, tapi Urfi sudah sibuk dengan komputer sedari awal sampai ke kantor.
Urfi menoleh kepada Tania yang menghela napas berkali-kali, kelihatan begitu lelah. Urfi terkekeh, kemudian kembali melanjutkan kerjanya. Walaupun Urfi berusaha tidak memedulikan Tania, tapi suara helaan napas Tania mengganggu konsentrasi Urfi.
“Bisa berhenti hela napas nggak, Tan?”
Tania menggelengkan kepalanya lemah, kembali menghela napas, lalu menghembuskannya. “Bosan banget Urfi” Tania memasang wajah cemberut.
“Chat-an sama Dani sana” suruh Urfi.
Helaan napas Tania terdengar semakin keras, membuat Urfi mengalihkan fokusnya menatap Tania. Urfi mengerutkan dahinya, menatap Tania heran. Biasanya Tania antusias jika membahas Dani, laki-laki yang katanya tipe idamannya.
“Di ghosting?” tebak Urfi, tidak ada alasan selain itu yang membuat Tania menghela napas.
Tania menggeleng.
“Terus?”
“Nggak terus”
“Hah?” Urfi belum bisa menangkap maksud dari ucapan Tania.
Tania menghela napas lagi, itu dia lakukan berulang kali, membuat Urfi menjadi frustasi. Urfi tidak bisa menebak apa yang menjadi penyebab Tania menghela napas secara terus menerus.
“Aku nggak bisa baca pikiran kamu loh, Tan” beri tahu Urfi.
“Aku bukan pemenangnya” ucap Tania pelan.
“Hah? Maksudnya?”
Tania menegakkan tubuhnya, menatap Urfi sedikit kesal. “Hah, heh, hoh, terus, Urfi”
Urfi menyengir. “Ya, kamu cerita nggak lengkap-lengkap”
“Dia jadian sama orang lain, dan aku cuma salah satu di antara perempuan yang dia dekati”
“Seriusan? Aku kira dia beneran serius mau dekatin kamu”
Tania mencibir. “Ya, serius dekatin aku buat jadi bahan perbandingan aja, ujung-ujungnya jadian sama perempuan lain”
Urfi mengusap bahu Tania, ikut prihatin dengan nasib percintaan Tania yang harus kandas sebelum diresmikan. “Nanti bakal dapat gantinya kok, yang jauh lebih baik”
“Aku nggak mau dikasihani, ya” Tania menatap Urfi tidak suka, dia tidak mau di kasihani hanya karena seorang laki-laki.
“Nanti mau aku traktir apa? Pas makan siang aku beliin apa yang lagi mau kamu makan deh”
Tania langsung tersenyum senang. “Ah, Urfi paling tahu cara balikin mood aku” soraknya, memeluk lengan Urfi.
“Jangan keras-keras, kamu mau di pelototi Bu Betty lagi”
*******
Urfi melangkahkan kakinya memasuki lift, turun ke lantai dasar untuk mengambil makanan yang dirinya pesan melalui aplikasi online. Kurir yang membawakan pesanan Urfi mengatakan jika makanannya sudah di titipkan di meja resepsionis. Urfi menatap layar ponselnya, memberikan tip kepada kurir yang sudah mengantarkan pesanannya.
Urfi keluar dari lift saat pintu lift terbuka, melangkahkan kakinya menuju meja resepsionis. Urfi tersenyum kepada Dania, perempuan yang bertugas di meja resepsionis. Dania yang mengerti jika Urfi mengambil makanan langsung mengambilkannya.
“Ngambil pesanannya, ya, Mbak Urfi?” tanya Dania, sedikit menunduk, mengambilkan pesanan Urfi di mejanya.
Urfi mengangguk. “Iya, Mbak”
Dania mengangkat tote bag yang berisi pesanan makanan Urfi, menaruhnya di meja resepsionis. “Ini, Mbak. Untung Saya belum makan siang, Mbak”
Dania memang belum beranjak dari meja resepsionis karena belum makan siang, masih ada satu menit lagi sebelum jam makan siang. Urfi sudah memesan beberapa menit sebelum makan siang agar makanannya sampai tepat waktu. Tania tidak mau makan ke kantin kantor, dan Urfi memesan makanan yang Tania mau sebagai bentuk traktiran untuk mengembalikan mood Tania yang sedang tidak baik-baik saja.
Urfi mengambil pesanannya itu, tersenyum kepada Dania. “Terima kasih loh, Mbak, udah nungguin Saya jemput makanannya dulu”
Tania tertawa kecil. “Santai, Mbak Urfi. Jam makan siang baru beberapa menit ini, masih ada waktu lama buat Saya makan siang”
Urfi mengeluarkan satu makanan yang sengaja dia pesan lebih. “Ini, Mbak. Makan siang pakai ini aja, takutnya Mbak Dania nggak sempat ke kantin” ucapnya, meletakkan satu bungkus makanan di meja resepsionis.
“Aduh, Saya nggak enak Mbak Urfi” tolak Dania.
“Nggak apa-apa, Mbak. Ini Saya sengaja beli lebih buat Mbak tadi”
Dania tersenyum, mengambil makanan itu. “Kalau emang sengaja buat Saya, Saya ambil Mbak Urfi. Terima kasih ya, Mbak”
Urfi mengangguk sambil tersenyum, kemudian berbalik arah ke lift, kembali naik ke lantai 3, Tania pasti sudah menunggu di mejanya. Urfi sedikit membungkukkan badannya saat melihat Gahar ada di dalam lift. Sepertinya atasannya itu akan makan siang keluar. Urfi memundurkan badannya, memberikan Gahar ruang untuk keluar dari lift.
Gahar menghentikan langkahnya tepat di samping Urfi, menoleh ke arah perempuan itu. “Nama ayah kamu Wandi Wijoyo?” tanyanya.
Urfi menengadahkan kepalanya, menatap Gahar terkejut. Bagaimana atasannya itu bisa tahu nama ayahnya? Apa Gahar menyelidiki tentang dirinya? Tapi, untuk apa? Tidak ada alasan Gahar menyelidikinya. Apa mungkin Gahar mengecek semua data karyawan karena dia Direktur baru di sini?
Meskipun masih bingung, Urfi menganggukkan kepalanya. “Iya, Pak”
Gahar tersenyum penuh arti, menganggukkan kepalanya, mata Gahar beralih menatap tote bag makanan yang Urfi bawa. “Makanan di sana enak?” tanyanya.
“Hah?” kaget Urfi, kemudian matanya mengikuti arah pandangan Gahar. “Oh, ini” Urfi sedikit mengangkat makanannya. “Lumayan enak sih, Pak. Saya juga jarang pesan makanan dari luar, biasanya makan di kantin kantor aja”
Gahar mengangguk. “Kayaknya Saya harus cobain”
Ucapan Gahar itu membuat Urfi mengernyitkan dahinya bingung. Gahar ingin mencoba apa? Mencoba makanannya?
“Bapak mau cobain?” tanya Urfi ragu, mengeluarkan makanannya satu bungkus, menyodorkannya ke arah Gahar.
Gahar tergelak, membuat Urfi semakin mengerutkan dahinya. “Enggak. Saya nggak mau di kira atasan yang memalak karyawannya”
Urfi menggeleng cepat. “Saya ikhlas kok, Pak. Saya masih punya yang lain” ucapnya, melirik tote bag yang masih berisi makanan lain.
Gahar menggeleng. “Enggak, Urfi. Saya Cuma bilang kalau Saya harus coba beli makanan di tempat itu juga. Kata kamu kan lumayan enak, soalnya Saya belum ketemu makanan yang enak di sekitar sini”
“Oh” Urfi mangut-mangut, kemudian menatap Gahar lagi. “Tapi, nggak apa-apa kalau Bapak mau nyicip punya Saya dulu” Urfi kembali mendorong bungkus makanannya.
Gahar menggeleng lagi. “Enggak, buat kamu aja” ucapnya, kemudian melangkahkan kaki meninggalkan Urfi.
Urfi mengangkat bahunya, tidak terlalu memedulikan Gahar. Perempuan itu memasukkan kembali makanannya ke dalam tote bag. Kemudian, Urfi melangkahkan kakinya memasuki lift, Tania pasti akan kesal karena Urfi terlalu lama mengambil makanan ke bawah.
Benar saja, saat Urfi memasuki ruangan Divisi Product Development, dia langsung melihat Tania yang memasang wajah cemberut dengan kedua tangan di lipat di dada.
“Kamu ngambil makanannya ke mana Urfi? Ke tempatnya langsung?” sungut Tania.
Urfi terkekeh. “Tadi di lift antre dulu”
“Alasan aja, Urfi” Tania mengambil satu makanan dari tote bag yang Urfi taruh di mejanya. “Aku udah lapar banget” ucapnya, mengeluarkan satu untuk Urfi, dan satu lagi untuknya.
Urfi duduk di kursinya, menyantap makanannya dengan sedikit melamun. Merasa aneh dengan Gahar yang bersikap seakan mereka berteman. Masa iya atasannya itu menganggap mereka dekat? Atau hanya perasaan Urfi saja, mungkin saja Gahar mengajaknya bicara hanya karena kebetulan mereka berpapasan. Seperti kata Gahar yang mengungkapkan jika dirinya tidak menemukan makanan yang enak di sekitar kantor.
“Kok kurang enak ya burger-nya” komentar Tania, merasa kurang cocok dengan burger yang dipesan Urfi. Tania melirik ke arah Urfi yang melamun. “Dih, malah melamun ini anak”
Urfi tersadar dari lamunannya saat merasakan jika burger yang dirinya makan kurang enak di lidahnya. Urfi menunduk, menatap burger-nya aneh. “Belum mateng ya ini beef-nya” tanyanya.
Tania ikut melirik Urfi. “Kamu beli burger di mana sih, Fi?”
Urfi mengambil ponselnya, mengecek kembali makanan yang dia pesan. “Benar kok ini burger bangor”
Tania melihat kembali bungkus burger yang di beli Urfi, sedikit menghela napas, kemudian Tania menatap Urfi kesal. “Ini burger bongor, Urfi!” pekiknya saat menyadari jika yang di pesan Urfi adalah tiruan dari burger bangor.
“Masa sih?” Urfi ikut mengecek bungkus burger-nya, perlahan matanya melebar, benar saja yang tertulis di sana burger bongor. Kenapa bisa begitu mirip?
Tidak percaya jika dirinya salah beli burger, Urfi kembali mengecek ponselnya, bahu Urfi melemas saat melihat jika yang tertulis di sana benar bongor. Pantas belum ada rating sama sekali untuk tokonya di aplikasi.
“Pantas aneh rasanya” Tania tetap memakan burger yang Urfi beli, dari pada harus di buang, dan mubazir. Sebenarnya tidak ada yang salah jika mereka meniru burger merek terkenal, tapi rasanya jauh berbeda dengan yang asli. Tania yakin jika pelanggan tidak akan ada yang mau membeli lagi di sana, cukup satu kali saja.
Urfi menggigit-gigit kecil roti burger-nya, tampak berpikir, kemudian Urfi terlonjak, bangkit dari duduknya dengan mata melebar, membuat Tania menatap Urfi heran. “Aku bilang ke Pak Gahar kalau burger ini enak!”
*********
KAMU SEDANG MEMBACA
KU PELUK LUKA (Tamat)
ChickLit(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE SECARA ACAK) Kehidupan Urfi yang penuh dengan luka, di tinggalkan oleh Ibunya di panti asuhan ketika bayi. Saat Urfi umur 3 tahun dirinya di adopsi oleh Ibu kandungnya yang sudah menikah...