“Tunggu dulu” teriak Urfi berlari mendekati lift yang hampir tertutup.
Urfi menghentikan langkahnya tepat di depan lift, orang di dalam sana menahan pintu lift untuk Urfi. Mata Urfi menatap Gahar yang berdiri di dalam lift dengan satu tangan menekan tombol lift, dan satu tangan lain masuk ke saku celana.
“Kamu nggak mau masuk?” tanya Gahar, menatap heran Urfi yang terdiam di depan pintu lift.
Urfi melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift dengan sedikit mendengus, melewati Gahar. Urfi memilih berdiri di belakang Gahar, menatap punggung laki-laki itu. Seharian kemarin Urfi harap-harap cemas menunggu kedatangan Gahar yang mengatakan akan memberinya cincin. Bukannya Urfi berharap Gahar memberinya cincin, Urfi hanya takut jika Gahar benar-benar datang sesuai janjinya.
“Lantai berapa, Fi?” tanya Gahar tanpa menoleh ke belakang.
Urfi berjalan mendekati tombol lift, menekan lantai 3. Posisi Urfi sekarang berdiri di dekat Gahar dengan tangan terulur ke depan. Ini Gahar benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Tidak mungkin Gahar tidak tahu di lantai berapa Divisi Product Development bekerja.
“Laporan yang sempat tertunda kasih ke Saya langsung, ya, Fi”
Urfi menganggukkan kepalanya. “Iya, Pak”
“Saya minta pagi ini”
Urfi menatap Gahar sedikit kesal. Apa Gahar lupa dengan apa yang dia katakan semalam kepada Urfi? Atau Gahar mengalami lupa ingatan?
“Iya, Pak” sahut Urfi lagi.
Urfi keluar dari lift saat pintu lift terbuka di lantai 3, Urfi melenggang begitu saja tanpa berpamitan kepada Gahar. Gahar benar-benar lupa ingatan, Urfi saja masih ingat setiap kata yang Gahar ucapkan padanya, dan bahkan bibirnya yang menempel di bibir Urfi masih membekas.Urfi terlambat berangkat karena memikirkan cara bagaimana menghadapi Gahar ketika mereka bertemu di kantor. Ternyata cara yang Urfi pikirkan tidak berguna, Gahar sama sekali tidak merasa canggung.
“Ufiiii” sorak Tania, memeluk Urfi yang baru sampai di ruangan kerja mereka. “Udah kangen” serunya.
Urfi terkekeh. “Baru beberapa hari yang lalu kamu ketemu aku, Tan”
Tania cengengesan, dirinya memang bertemu Urfi beberapa hari yang lalu. Tania mengunjungi Urfi di rumahnya, melihat keadaan Urfi. Tania juga menceritakan tentang Razi yang mencari Urfi ke kantor. Tania menekankan kepada Urfi untuk tidak tergoda dengan kata-kata bujukan Razi lagi.
“Tetap kangen, biasanya makan di kantin berdua sama kamu, Fi. Beberapa hari ini sendirian aja”
Urfi menatap Tania memicing, tidak yakin Tania akan makan di kantin sendirian. Seorang Tania sangat tidak menyukai sepi. “Aku nggak yakin kamu makan sendirian”
“Aku makan sendirian, Fi, tapi mejanya di isi karyawan lain” ucap Tania, menyengir kemudian.
Urfi menatap Tania datar, sudah ke tebak. Mustahil Tania bisa sendirian, Tania pasti akan bergosip dengan karyawan lain. Walaupun tidak ada Urfi, Tania akan mengobrol dengan yang lain, perempuan itu kenal hampir semua orang yang bekerja di kantor ini.
“Mau ke mana bawa dokumen?” tanya Tania heran, menatap Urfi yang memangku dokumen.
“Pak Gahar minta aku buat laporan pagi-pagi”
Urfi haru segera melapor kepada atasannya itu, dia juga sudah seminggu tidak masuk kerja, dan pekerjaannya pasti tertunda sementara waktu. Ah, iya, Urfi belum menceritakan kepada Tania mengenai perjodohan yang di bicarakan orang tuanya antara dirinya dan Gahar. Urfi akan menceritakannya nanti saat waktunya tepat. Urfi juga belum yakin apakah akan menerima perjodohan itu atau tidak, dia masih ragu.
“Jahat benar Pak Gahar, baru sampai udah langsung di suruh menghadap dia”
Urfi mengangkat bahunya. “Dendam kali karena aku libur lama” dan Gahar tahu jika Urfi libur bukan karena sakit, melainkan patah hati.
Tania tertawa. “Iya kali, dendam dia sama kamu”
“Dah, aku mau ke ruangan Pak Gahar dulu”
Urfi melangkahkan kakinya menjauhi Tania ketika perempuan itu menganggukkan kepalanya. Urfi menaiki lift menuju lantai 5, menghampiri meja sekretaris Gahar.
“Mau ketemu Pak Gahar, ya?” tanya Dinar.
Urfi mengangguk. “Iya, Mbak”
“Langsung masuk aja, tadi Bapak udah titip pesan kalau Mbak Urfi akan datang”
Urfi melirik ruangan Gahar, dia bisa melihat jika Gahar sedang sibuk memeriksa dokumennya karena ruangan Gahar terbuat dari kaca, dan tidak tertutup tirai. Mungkin Gahar sengaja tidak menutup tirai di ruangannya karena sedang tidak ada tamu. Urfi melangkahkan kakinya memasuki ruangan Gahar, mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum membukanya.
Gahar mengangkat kepalanya, menatap Urfi yang melangkah mendekati meja kerjanya dengan sebuah dokumen di dekapannya. Tangan Gahar bergerak mengambil remot, menekannya untuk menutup tirai di ruangannya itu sehingga orang lain di luar tidak akan bisa melihat yang terjadi di dalam.
“Maaf, Pak, mengganggu waktunya, Saya mau ngasih laporan sesuai yang Bapak suruh” Urfi menaruh dokumennya di atas meja Gahar. “Mengenai yang sebelumnya masih kurang, Saya sudah tambahkan beberapa poin yang sempat Bapak sebutkan”
Tangan Gahar sama sekali tidak bergerak mengambil dokumen yang ada di atas mejanya, matanya terus fokus menatap Urfi. “Maaf, kemarin aku nggak jadi bawa cincin ke rumah kamu, Fi”
Urfi terdiam, menatap Gahar. Bukankah Gahar menyuruhnya ke ruangannya untuk membahas pekerjaan? Urfi rasa bukan waktu yang tepat untuk membahas masalah pribadi ketika mereka sedang berada di kantor.
“Cincinnya nggak bisa jadi cepat, butuh waktu sehari. Sama aku nggak tahu ukuran jari kamu, jadi aku pesan cincin yang adjustable aja”
Gahar membuka laci mejanya, mengeluarkan kotak cincin yang sudah dia siapkan. Dari tadi Gahar sudah ingin memberikannya kepada Urfi, tapi karena mereka sedang berada di kantor, Gahar menahan diri. Berhubung sekarang di ruangan ini hanya ada dirinya dan Urfi, kesempatan yang bagus untuk mereka melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda sebelumnya.
“Ini cincin buat kamu, Fi” Gahar meletakkan kotak cincin itu di atas meja.
Urfi sama sekali tidak berniat mengambil cincin itu, Urfi terus menatap Gahar dalam diam. Gahar bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Urfi. Gahar duduk dengan bokong yang dia taruh di atas meja, tangannya bergerak membuka kotak cincin, memperlihatkan isi cincin berwarna silver dengan permata di atasnya.
Gahar menatap Urfi yang berdiri di depannya, masih diam saja. Gahar mengeluarkan cincin dari kotaknya, tangannya bergerak menggapai tangan Urfi, memasangkan cincin itu di jari manis Urfi, sedikit longgar, tapi bisa Gahar adjust sehingga pas melekat di jari Urfi. “Kelihatan lebih cantik pas tersemat di jari kamu, Fi”
Urfi mengikuti arah pandangan Gahar yang tertuju ke tangan kirinya, cincin pemberian Gahar sudah tersemat di sana. Urfi merasakan dadanya sesak, melihat cincin yang melingkar di tangannya hanya membuat dirinya teringat dengan Razi yang melamarnya.
“Saya nggak bisa pakai cincin pemberian Bapak” Urfi melepaskan cincin yang Gahar sematkan di jarinya, mengembalikan cincin itu kepada Gahar. Tapi, Gahar tidak kunjung mengambilnya, terpaksa Urfi meletakkan cincin itu di atas meja.
“Kalau Bapak sudah selesai mengecek dokumen yang Saya berikan, Bapak bisa mengabari Saya, Saya akan datang kembali ke ruangan Bapak untuk mengambilnya”
Baru saja Urfi kemarin mengatakan kepada Linda akan menerima perjodohan dengan Gahar, tapi sekarang Urfi malah menolak cincin pemberian laki-laki itu. Apa Urfi berubah pikiran dalam waktu semalam?
Gahar menahan tangan Urfi yang hendak membalikkan badan, menarik tubuh Urfi sampai menabrak tubuhnya. Urfi merasakan jika bagian belakang tubuhnya menabrak dada bidang milik Gahar. Tangan Gahar bergerak memeluk pinggang Urfi, meletakkan kepalanya di lekukan leher perempuan itu.
“Pak, jangan kayak gini, kalau ada yang lihat mereka bisa salah paham” Urfi berusaha melepaskan tangan Gahar yang memeluknya erat.
Gahar tetap memeluk Urfi, tidak membiarkan Urfi melepaskan dirinya. “Beberapa menit aja, Fi. Diam beberapa menit, habis itu baru kamu boleh memutuskan”
Akhirnya Urfi diam, membiarkan Gahar memeluknya, hanya beberapa menit saja. Urfi merasakan jika napas hangat Gahar menerpa lehernya, dada Urfi memanas, jantungnya berdegup kencang. Pelukan yang di berikan Gahar memberikan Urfi kenyamanan, membuat tubuhnya menghangat.
“Pak, Saya..”
“Stt” Gahar menyuruh Urfi diam, memejamkan matanya menikmati aroma manis dari leher Urfi. Gahar tidak menyangka jika dia akan berbuat seperti ini kepada karyawannya, dia melakukan ini agar tidak kehilangan kesempatan. Ini kesempatannya untuk mendekati Urfi selagi Urfi tidak mempunyai pasangan lagi.
Urfi terperanjat kaget saat mendengar pintu ruangan Gahar di ketuk. Segera Urfi melepaskan dirinya dari Gahar, menjauhi tubuh laki-laki itu. Urfi berdiri beberapa langkah di depan Gahar. “Nanti laporannya Saya ambil lagi, Pak” ucapnya terbata.
Gahar terkekeh melihat reaksi Urfi, dirinya juga terkejut ketika mendengar pintu ruangannya di ketuk, tapi tidak seperti Urfi yang sampai gelagapan. Gahar kembali duduk di kursinya, merutuki orang di balik sana yang mengganggu dirinya dan Urfi saja. Pembicaraan mereka belum selesai.
Urfi merutuki dirinya yang malah merasa nyaman di pelukan Gahar. Urfi keluar dari ruangan Gahar, di luar sudah ada Dinar bersama dengan karyawan lain yang akan menemui Gahar. Urfi tersenyum kaku kepada Dinar. Dinar tidak mungkin mendengar pembicaraannya dengan Gahar bukan?
“Maaf, Mbak Urfi, Pak Deni lagi ada urusan mendesak yang mau di bahas sama Bapak” beri tahu Dinar. Deni orang yang akan menemui Gahar sudah masuk ke dalam ruangan Gahar.
Urfi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. “Saya juga udah selesai sama Bapak kok. Oh, iya, Dinar” Urfi menjeda ucapannya, Dinar menatap Urfi, menunggu kelanjutan dari ucapan Urfi. “Bisa minta tolong dokumen yang Saya bawa ke ruangan Bapak tadi buat di ambilin nanti pas Bapak udah selesai ngecek?”
“Emangnya dokumennya belum di cek Bapak, Mbak?”
“Belum, tadi Bapak bahas kerjaan yang lain” bohong Urfi.
Dinar mengangguk. “Iya, Mbak. Nanti Saya bantu ambilkan kalau sudah di cek Bapak”
“Terima kasih Dinar”
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
KU PELUK LUKA (Tamat)
ChickLit(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE SECARA ACAK) Kehidupan Urfi yang penuh dengan luka, di tinggalkan oleh Ibunya di panti asuhan ketika bayi. Saat Urfi umur 3 tahun dirinya di adopsi oleh Ibu kandungnya yang sudah menikah...