“Iya, Tan. Aku baik-baik aja”
“Gahar nggak macam-macam, kan, sama kamu semalam?” tanya Tania dari balik telepon.
Urfi melirik Gahar yang fokus menyetir. Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Urfi. Sehabis makan sup, Gahar mengantarkan Urfi untuk pulang. Orang tua Urfi pasti khawatir karena dirinya tidak pulang semalam.
“Enggak, Tan” jawab Urfi, sedikit memejamkan mata, merutuki dirinya yang semalam sudah berbuat lancang dengan Gahar. Urfi masih belum bisa melupakan rasa malunya akibat apa yang telah dia lakukan.
“Semalam aku juga mabuk, Fi. Aku pikir dia ngantar kamu ke rumah, tahunya malah di bawa nginap diluar”
“Iya, Tania. Udah, ya, ini aku udah mau sampai rumah” bohong Urfi.
Segera Urfi mematikan sambungan telepon, Urfi tidak ingin jika pembicaraannya dengan Tania di dengar oleh Gahar. Urfi berdeham singkat, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Perasaan canggung menyerangnya, Urfi melirik Gahar yang tetap fokus menyetir. Lagi, dan lagi tatapan Urfi berfokus ke arah leher Gahar, tanda memerah itu masih ada di sana. Itu kissmark kapan hilangnya, sih? Urfi jadi malu setiap kali melihat itu.
“Nanti biar aku yang jelasin ke orang tua kamu, Fi”
Urfi menoleh ke samping, menggelengkan kepalanya. “Nggak usah, nanti aku di turunin di jalan aja. Kamu jangan antar aku ke rumah, nanti Mama mikir yang enggak-enggak”
Gahar menoleh. “Kamu nggak pulang semalam, Fi. Orang tua kamu pasti curiga kalau kamu pulang sendirian”
“Aku bisa bilang kalau semalam menginap di rumah Tania. Aku pernah beberapa kali tiap malam minggu menginap di sana”
Urfi bersyukur karena hari ini adalah hari Minggu, jadi dia tidak perlu memikirkan bagaimana dia akan pergi ke kantor, dan Urfi jadi punya alasan menginap di rumah Tania. Urfi pernah beberapa kali menginap di rumah Tania, tapi kemarin dia tidak mengabari Linda. Urfi sedikit merasa aneh karena Mamanya tidak menelepon, biasanya jika Urfi tidak pulang semalam, Linda akan meneleponnya sampai mendapatkan kabar.
“Semalam aku angkat telepon Mama kamu, Fi” ungkap Gahar. Semalam ponsel Urfi berbunyi, Linda menelepon berulang kali. Gahar mengangkatnya karena tidak mau tidur Urfi terganggu.
Gahar baru keluar dari kamar mandi, dan mendengar bunyi dering ponsel. Gahar mendekati tas Urfi, mengambil ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Dahi Gahar berkerut saat melihat nama Mama di sana, pasti Mama Urfi mencarinya. Segera Gahar menggeser tombol hijau, mendekatkan ponsel ke telinganya.
“Halo, Urfi. Kamu ke mana, sayang? Jam segini kok belum pulang?"
“Halo, Tan”
“Ini siapa? Kenapa kamu yang ngangkat HP anak Saya?” suara Linda terdengar panik di balik telepon.
“Ini Gahar, Tan. Urfi menginap di rumah Gahar”
“Mana Urfi, Gahar?”
“Urfi lagi tidur, Tan. Sedikit mabuk tadi” Gahar terlalu jujur menjawabnya, harusnya Gahar berbohong sedikit.
Linda terdengar menghela napas di ujung sana. “Tante tahu kalian lagi di mabuk cinta, tapi jangan keseringan menginap bersama. Kalau udah sama-sama nggak tahan, kalian bisa langsung nikah aja”
Gahar terpaku mendengar ucapan Linda, padahal kejadian sebenarnya tidak begitu. “Iya, tante, Gahar minta maaf”
“Udah terjadi mau gimana lagi, besok kamu antarin Urfi dengan aman ke rumah”
Gahar mengangguk. “Iya, tan”
Urfi membulatkan matanya, sedikit kaget dengan Gahar yang berani mengangkat telepon dari Mamanya. “Kamu nggak bilang, kan, kalau aku menginap di tempat kamu?”
Gahar mengangguk, Urfi bernapas lega melihat anggukkan itu. “Aku bilang kamu menginap di tempat aku”
Urfi memejamkan matanya sejenak, mati. Apa nanti kata Mamanya? “Kenapa kamu bilang Gahar?!”
Gahar menoleh. “Terus aku bilang apa, Urfi?”
“Kamu kan bisa bilang aku menginap di luar, atau enggak di rumah Tania”
“Kalau aku bilang gitu, yakin Mama kamu percaya? Yang angkat telepon aku, dan itu udah lewat tengah malam, Fi. Tanpa aku bilang juga Mama kamu tahu kalau kamu lagi sama aku”
Alasan Gahar cukup masuk akal memang. Urfi mendesah, mengusap rambutnya. Apa yang harus dia katakan kepada Mamanya nanti? “Mama bilang apa?”
“Nggak bilang apa-apa, jangan keseringan aja katanya”
“Tuh, kan! Mama pasti salah paham, dia pasti ngira kita ngapa-ngapain. Kamu nggak jelasin gitu?”
Gahar menggeleng, percuma juga dia menjelaskan hal itu. Lagi pula mereka tidak berbuat macam-macam, dan kalau pun Linda salah paham, tidak masalah bagi Gahar. Malahan Linda menyuruh dia segera menikah dengan Urfi.
Urfi semakin gusar, matanya beralih menatap leher Gahar yang memerah. Jika Mamanya melihat leher Gahar, akan semakin berpikiran yang tidak-tidak Mamanya. “Berhenti dulu, Gahar” perintahnya.
“Kenapa?” tanya Gahar bingung, menoleh kepada Urfi.
“Berhenti aja, bentar, nggak lama”
Gahar menghidupkan sen, menepikan mobilnya di tepi jalan. Gahar menatap Urfi bingung, perempuan itu sibuk mengobrak-abrik tasnya, seperti mencari sesuatu. “Cari apa, Fi?”
Urfi tidak menjawab, dia tersenyum senang saat menemukan benda kecil yang biasa dia gunakan. Urfi beralih menatap Gahar. “Kemerahan di leher kamu harus di tutupin, nanti Mama makin curiga” Urfi mendekatkan tubuhnya ke Gahar, tapi sedikit kesusahan.
Urfi melepaskan seatbelt yang melingkar di tubuhnya sehingga dia bisa bergerak bebas, mencondongkan badannya ke arah Gahar. “Geseran ke sini” suruhnya, menarik tangan Gahar agar lebih dekat.Urfi mengeluarkan isi cairan berwarna putih dari benda kecil itu, concealer. Dia akan menutupi kemerahan di leher Gahar dengan itu.
Urfi fokus menempelkan concealer ke leher Gahar, tanpa tahu jika Gahar menahan napasnya, menelan air liurnya susah payah. Urfi mengusap-usap leher Gahar, sedikit meniup-niupnya agar concealer itu cepat mengering. Bulu kuduk Gahar merinding saat lehernya di usap dan di tiup Urfi. Gahar sedikit menjauhkan lehernya, tapi tangan Urfi menahannya.
“Diam dulu, aku lagi nutupin ini”
Napas Urfi menerpa leher Gahar, membuatnya semakin merinding. Urfi tersenyum saat kemerahan di leher Gahar berhasil dia tutupi. Urfi baru sadar jika jaraknya sekarang dengan Gahar begitu dekat, jantung Urfi berdegup kencang, matanya menatap jakun Gahar yang naik turun.
“Udah, Fi?” tanya Gahar, menoleh ke arah Urfi. Wajah mereka begitu sangat dekat, Gahar menelan air liurnya.
Urfi tersadar, segera menjauhkan wajahnya dari Gahar. “Udah” jawabnya, memalingkan muka ke arah lain. Urfi mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah, merasakan jika wajahnya memanas, Urfi yakin jika pipinya sekarang memerah.
“Panas, Fi?” tanya Gahar, memperhatikan Urfi.
“Hah?” Urfi menoleh. “Oh, iya, dikit” jawabnya terbata-bata.
Gahar menurunkan suhu AC mobil. “Udah dingin belum, Fi?” tanyanya lagi.
Urfi tersenyum kaku, yang membuatnya merasa panas itu Gahar. Laki-laki itu yang menyebabkan Urfi kepanasan, bukan karena suhu AC. “Iya, udah dingin”
“Pipi kamu masih merah”
Urfi menatap Gahar sedikit kesal. “Antarin aku pulang aja, ya, Pak Gahar”
Gahar tergelak mendengar Urfi menekankan kata Pak Gahar. Tapi, Gahar masih belum melajukan mobilnya, dia terus menatap Urfi yang semakin di tatap semakin bergerak gelisah. Urfi memalingkan mukanya, sudut matanya bisa melihat jika Gahar terus menatapnya.
Urfi mendesah lagi, menatap Gahar kesal. Sedetik kemudian Urfi melebarkan matanya, jantungnya berhenti berdetak beberapa saat ketika bibir Gahar menyentuh bibirnya. Tangan Gahar menahan pinggang Urfi, bibirnya di tekankan, bergerak melumat bibir Urfi. Sedari tadi Gahar sudah gagal fokus dengan Urfi yang meniup lehernya.
Urfi mencoba menjauhkan diri, tapi tangan Gahar menahannya. Perlahan mata Urfi terpejam, menikmati ciuman itu. Lumatan bibir Gahar terasa begitu lembut, menari-nari di atas bibirnya. Tangan Urfi beralih melingkari leher Gahar, membalas ciuman laki-laki itu. Urfi merasakan dadanya menghangat, kupu-kupu seakan beterbangan di perutnya.
Gahar melepaskan tautan bibir mereka ketika merasakan Urfi mulai kesulitan bernapas. Gahar tersenyum, Urfi sedikit terengah dengan mulut setengah terbuka. Tangan Gahar bergerak mengusap sudut bibir Urfi yang basah karena air liurnya.
“Aku bersyukur sekarang kamu jadi pacar aku, Fi” ucap Gahar, tersenyum senang.
Dada Urfi kembang kempis, napasnya masih terengah, perasaan hangat membanjirinya. Urfi menelan air liurnya dengan susah payah. Apa baru saja Urfi menikmati ciuman Gahar? Mata Urfi menatap tangannya yang mengalung di leher Gahar. Astaga, bahkan rambut Gahar berantakan karena Urfi meremasnya ketika mereka berciuman. Apa sisi liar Urfi keluar ketika bersama Gahar?
“Belum mau lepasin tangannya, Fi?” tanya Gahar, terkekeh geli.
Urfi terperanjat, menarik tangannya secepat mungkin. Urfi memalingkan mukanya ke luar kaca mobil, pipinya kembali bersemu merah. Urfi bisa mendengar jika Gahar kembali terkekeh. Gahar melajukan mobilnya untuk mengantarkan Urfi pulang. Mereka sudah menghabiskan waktu berdua cukup lama, Mama Urfi pasti juga sudah khawatir dengan Urfi.
Urfi segera turun dari mobil ketika mobil Gahar berhenti tepat di depan rumahnya. Gahar juga ikut turun, membuat Urfi menatapnya heran. “Kamu ngapain ikut turun?”
“Aku harus menyapa Mama kamu, nggak sopan main pergi aja padahal udah bawa anaknya semalaman”
Pipi Urfi memanas lagi. Kenapa dengan dirinya hari ini? Kenapa Urfi sangat mudah tersipu di depan Gahar? Urfi tidak memedulikan Gahar, dia melangkahkan kakinya memasuki rumah, Urfi melihat Hana sedang menonton televisi bersama dengan Linda.
Linda mengalihkan pandangannya ke arah Urfi, kemudian menghampiri anak perempuannya yang baru pulang itu. “Jam segini baru di antar, Gahar” tegur Linda, menatap Gahar.
Gahar tersenyum, menyalami Linda. “Maaf, tante. Tadi aku sarapan dulu sama Urfi”
Linda mengangguk, meneliti penampilan Gahar, kemudian beralih menatap Urfi. “Ini Mama udah bisa ngomongin tentang perjodohan kalian ke Mama Gahar, Fi?” tanyanya.
“Ma, semalam aku nggak ngapa-ngapain sama Gahar, Ma”
Linda tersenyum penuh arti. “Ada baiknya pernikahan kalian segera di bicarakan sebelum terjadi sesuatu, kan?”
“Aku setuju aja sama tante” sahut Gahar yang langsung di pelototi oleh Urfi.
“Gahar udah setuju tuh, gimana sama kamu, Fi?” Linda menatap Urfi.
“Ma, Urfi nggak mau terburu-buru, nanti aja, Ma”
Gahar sedikit kecewa dengan jawaban Urfi. Walaupun Gahar tahu jika mereka belum terlalu lama berhubungan, tapi Gahar sudah sangat yakin dengan Urfi. Mungkin saja Urfi masih belum menemukan cinta yang dia mau di dirinya.
“Di omongin aja juga nggak apa-apa, Urfi. Kan merencanakan pernikahan butuh waktu paling cepat 6 bulan. Gimana?” tanya Linda.
Urfi tampak berpikir, dia melirik Gahar. “Yaudah, Ma. Urfi ngikut aja” pasrahnya.
Linda beralih menatap Gahar. “Kasih tahu Mama kamu, ya, Gahar”
Gahar menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. “Siap, tan”
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
KU PELUK LUKA (Tamat)
ChickLit(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE SECARA ACAK) Kehidupan Urfi yang penuh dengan luka, di tinggalkan oleh Ibunya di panti asuhan ketika bayi. Saat Urfi umur 3 tahun dirinya di adopsi oleh Ibu kandungnya yang sudah menikah...