10. Pelukan Hangat

48 17 1
                                    

Karma adalah pengingat bahwa setiap tindakan memiliki akibatnya, dan setiap kebaikan akan kembali kepada kita dengan cara yang tak terduga.

~~~

Delano keluar dari tempat yang menurutnya terketuk dengan rasa benci dan emosi yang begitu tinggi. "Sial! Suatu saat gue sendiri bakal habisin lo!" katanya dengan suara menggelegar, seolah setiap kata yang diucapkan adalah api yang menyala.

Dia tidak tau harus mencarinya lagi kemana. Delano kira berlian merah delima itu ada pada orang itu ternyata salah. Lalu ada dimana sekarang?

"Sialan! Sekarang minta ini, besok minta itu lagi. Kurang ajar! Kalau bukan karena urusan ini, gue mana sudi ngikutin semua perintahnya!" Dengan kemarahan yang membakar, Delano naik motornya. Tapi sebelum itu, ia mendapatkan pesan bahwa perempuan culun itu berhasil melarikan diri dan tidak bisa dibawa ke Firlop.

"Dua laki-laki ngurusin satu perempuan aja gak bisa, dasar gak becus." Delano hanya melihat pesan dari Duke tanpa membalasnya dan dia saat ini tengah melakukan urusan yang jauh lebih penting lagi.

Delano kemudian melajukan motornya menjauh dari pekarangan rumah itu. "Apa sebenarnya, dia sembunyikan di rumahnya? Tapi, gue udah nyari di sana dan nggak ada."

Dalam kebingungannya, tanpa disadari, Delano melaju menuju Firlop—tempat yang merupakan club khusus pria. Semua pengunjung di sini hanya laki-laki.

"Biasa bawa ke ruangan gue," perintah Delano begitu sampai di Firlop, kepada pelayan yang sudah tahu apa yang diinginkannya.

"Baik, pak." Pelayan itu tau betul apa yang diinginkan oleh pemilik tempat ini tentunya.

"El!" Panggil Duke ketika melihatnya. "Lo kemana aja? Kenapa pesan gue gak lo balas?" Sebenarnya dia takut mengatakannya.

Lirikan Delano begitu tajam. "Lo butuh jawaban gue kayak gimana? Jaga perempuan culun kayak dia aja gak bisa gitu?"

Maxwel yang mendengarnya juga takut. "Kita gak tau soalnya dia bilang mau BAB."

"Diam kalian jangan buat gue makin marah!" Delano meninggalkan mereka berdua dengan emosi.

"El, tapi kita perlu ngomong." Duke memberanikan diri. "Ken minta balapan motor sama lo. Dia bilang mau kalahin lo."

Delano mengernyit dengan helaan napas. "Dia lagi? Mau apa sebenarnya padahal Chloe aja udah gue putusin. Masih aja nyari ribut."

Jika Delano mau saja, dia sudah membalas tantangan Ken. Namun, saat ini fokusnya adalah hal lain yang lebih penting.

"Bilang ke dia kalo gue dan dia nggak ada urusan lagi mulai sekarang!" Delano bersikeras, menegaskan ketidakinginannya untuk terlibat dengan Ken lagi.

Maxwel yang mendengarnya sedikit tidak percaya. Seja kapan Delano tidak peduli ketika ada lawan yang menantangnya. "Lo yakin, El? Kalo Ken bilang lo pengecut gimana?"

Ucapan Maxwel membuat Delano marah dan menarik kerah bajunya. "Lo budek? Gue bilang gak berati gak!"

Duke merasa kalo Delano saat ini memang membutuhkan waktu untuk sendiri. "El, udah nggak perlu emosi begini."

Kemudian Delano menghempaskan tubuh Maxwel dan pergi setelahnya.

"Huft, gila ya si El. Padahal gue temannya sendiri." Maxwel membenarkan kerah bajunya. "Sebenarnya dia punya masalah apa sih? Padahal kita dua tahun temenan sama dia tapi tau tentang dia aja nggak."

Duke sendiri mengakui itu. Tapi, yang dia tau kalo Delano adalah orang kaya, nyatanya dia bisa membangun firlop yang begitu besar ini.

Bahkan dia juga tidak kekurangan uang. "Misterius banget udah kayak mafia aja."

"Jangan-jangan dia emang mafia?" Maxwel malah mengiyakan ucapan Duke mentah-mentah.

"Lo pikir ada mafia masih sekolah? Mikir pakai otak jangan dengkul, bro," kata Duke sabil menoyor kepala Maxwel.

•••••

Di malam yang tenang, angin merayap lembut ke seluruh tubuh, termasuk ke dua orang yang saling berhadapan yaitu Elena dan wanita yang diselamatkannya.

"Gimana rasanya, Bu, setelah makan dan mandi? Apa sudah jauh lebih baik?" tanya Elena dengan wajah datar, mencoba menunjukkan empati.

"Nak, bolehkah aku tinggal di sini? Tolong, aku tidak punya tempat tinggal. Aku takut jika mereka menculikku lagi." Suara wanita itu lembut dan penuh harap, seperti anak muda yang berbicara dengan teman sebaya.

Meskipun Elena akan mengiyakannya tapi namanya orang asing tetaplah asing dan dia juga harus waspada. "Rumah ibu memangnya dimana? Kenapa tidak pulang saja?"

"Aku gak punya rumah," jawab wanita itu dengan nada putus asa.

"Kalo gitu suami atau anak ibu di mana? Kenapa sendirian seperti ini kalo mereka mencari ibu gimana?" Elena ingin tau lebih banyak sebelum dia menganggukkan kepala untuk menerimanya tinggal di sini.

"Suamiku meninggal dibunuh dan aku tidak tahu di mana anakku." Dia menjawab dengan jujur dan membuat Elena kaget saat mendengarnya. "Dimana keluargamu juga nak? Kenapa aku tidak melihatnya sejak tadi?"

"Aku sendirian seperti ibu. Kita sama bu, orang tua juga kembaranku dibunuh sama orang." Elena mencoba menahan air matanya ketika dia mengatakannya. "Tapi, aku tidak tau siapa saja pelakunya."

Namun, yang tidak disangka wanita itu malah memeluk Elena seakan memberikan kehangatan untuknya. "Tenang saja, Nak. Pasti suatu saat mereka yang membunuhnya akan mendapatkan balasan. Aku juga selalu yakin seperti itu karena karma gak pernah salah sasaran."

Elena terdiam dalam pelukan hangat itu, merasa kenyamanan yang belum pernah dirasakannya. Seolah wanita itu menggantikan sosok ibu yang hilang.

"Iya, aku akan izinkan Ibu tinggal di sini bersama aku. Tapi, nama Ibu siapa sebelumnya?" Elena bertanya dengan lembut.

"Dela. Namaku Dela. Kamu bisa menganggapku sebagai ibumu juga. Aku senang karena kamu mau menolongku." Wanita itu tersenyum, penuh rasa syukur. "Kalau kamu rindu ibumu, peluk aku. Aku akan memperlakukanmu seperti anakku sendiri."

"Baiklah, ini sudah malam. Lebih baik Ibu tidur saja. Di sana kamar Ibu, dan ini kamarku. Jika ada sesuatu, ketuk pintu kamar saja. Oke, Bu?" Elena menjelaskan dengan lembut, dan Dela mengangguk.

Di dalam kamar, Elena melihat ke layar cctv untuk memantau pergerakan wanita yang baru saja dia tolong. Namun, tidak ada hal yang mencurigakan apapun. "Dia gila hingga mengarang semua cerita atau memang yang dia ceritakan nyata?"

Tetap saja Elena masih ragu dengan wanita itu. Entah siapa dia, mengapa dirinya memilih untuk menolongnya. Namun, jika memang yang wanita itu katakan adalah benar berarti antara dia dan dirinya mempunyai masalah yang sama yaitu sama-sama orang yang dicintai dan disayangi mati karena terbunuh.

Delano & ElenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang